Usai makan, kuminta anak-anakku untuk beristirahat meredakan kesedihan hati dan kemurungan yang mereka rasakan. Aku tahu tahun ini kami benar-benar berada dalam situasi yang dilema dan sedih. Anak-anak sedang berada di fase kesulitan menerima kenyataan tapi aku tahu mereka perlahan-lahan akan mengerti. Sulit memang, memaksa keadaan menjadi cepat berubah seperti ini. Dari rumah yang tadinya memiliki imam jadi tidak punya peneduh dan pengayom. satu-satunya tumpuan harapan hanya Heri tapi Herri memutuskan untuk berangkat ke luar negeri melanjutkan program beasiswa S2 yang merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Sebagai ibu yang baik aku tidak akan menghalangi keinginannya. Tapi jujur aku tidak mau dia pergi ke sana disebabkan bentuk pelarian atas kekecewaan dia kepada ayahnya.Aku masih belum membicarakan rencana jangka panjang tentang kelangsungan anak-anak dan juga rencana Heri, kami terlalu sibuk hingga akhir-akhir ini sering luput dalam kesibukan masing masing.*Menjela
"Ada apa kau ke sini Mas?" tanyaku dengan tatapan dingin."Aku ingin ....""Bukannya tadi kami sudah bersalaman dengan ayah? Untuk apa Ayah mengulang datang lagi?" tanya Felicia."Apa ayah merasa menyesal menyakiti kami, percuma, kami tidak akan memaafkan ayah!" Rena, putriku yang paling sakit hati dan dendam dengan ayahnya nampak tidak mampu menyembunyikan emosinya."Ayah datang ke sini Untuk mengantarkan THR lebaran kalian," ujarnya sambil merogoh saku."Apa sekarang Ayah ingin membeli harga diri kami agar kami mengalah dan menerima pernikahan ayah?" Tanya Rena. " Seberapa banyak uang itu?""Kok kalian jadi begini sama ayah?" tanya Mas Faisal yang berusaha tetap sabar dan tenang, tapi anak anak sudah terlanjur marah."Meski rumah ini adalah pemberian ayah, tapi sungguh kami tidak mau ayah datang lagi. Tolong jangan menyakiti Umi dan adik-adik saya dengan kehadiran ayah.""Ayah masih ada hak lho di sini. Masa Iddah ibu kalian masih tiga bulan lagi!""Tapi itu bukanlah alasan yang pa
"Oh, eh, be-begitu ya?" Entah kenapa sahabatku jadi panik dan gelagapan di hadapanku. Dia terlihat bersalah mengajakku bekerja sementara di sisi lain aku menggeleng di hadapannya agar dia tetap bersikap santai dan tenang-tenang saja."Alhamdulillah aku mendapatkan suami yang romantis dan mapan. Dia memperlakukanku dengan penuh cinta dan memberiku hadiah bertubi-tubi yang tidak pernah kuduga. Tak kusangka dia telah mencintaiku lebih lama dari perkiraanku," ucapnya dengan tawa berderai. Dia memang bicara kepada Puji tapi dia sesekali melirikku dengan maksud untuk menyindir dan menyakiti perasaan ini.Aku mulai bersikap acuh tak acuh juga, tidak perduli dengan semua ungkapan dan curhatan hatinya karena aku memilih untuk sibuk menyusun emas yang ada di display."Oh ya, aku suka cincin yang disusun oleh wanita itu. Coba bawa kemari satu cincin bermata ungu!" Entahnya sambil melirik diriku dengan tatapan yang arogan. Dia tidak menyebutku dengan nama atau apa tapi dia menyebutku dengan kata
"Sebagai wanita yang punya malu dan tahu kalau dirinya pelakor, dia tidak akan searogan dan sombong itu memamerkan aibnya di hadapan orang banyak!" Ujarku dengan nafas memburu, aku mulai emosi dan kesal sekali hingga tidak mampu mengendalikan diriku, saking meluapnya amarah, napasku memburu dan rasanya wajah ini melepuh oleh hawa panas. Aku mulai berada di puncak emosi dan tak takut pada apapun. aku terus memupuk kesabaran dan diam saja sejak tadi tapi wanita itu terus saja menguji pengendalian diriku. Aku sungguh muak dengannya. Beberapa orang mendekati wanita itu dan membantu Dia bangkit, menjauhkan dia dariku yang sedang full energi dan emosi. Mereka mendudukkan rima yang ter batuk-batuk dan memegangi perutnya di sebuah bangku panjang yang diperuntukkan untuk pelanggan."Aku akan melaporkan ke kantor polisi dan memberitahu Mas Faisal bahwa kau sudah jahat sekali.""Oh ya? Kau pikir aku akan gemetar, meski dia mantan suamiku tapi aku tahu persis dia tidak akan menyalahkanku! Co
"Ayah! Ayah ingin melihat seseorang yang sudah kehilangan akalnya!" tanya Felicia sambil maju dan menabrakkan diri ke tubuh ayahnya yang jauh lebih tinggi dari dirinya."Hei, kau! Jangan melawan ayah!"Brak!Mas Faisal langsung mendorong putriku hingga terhempas ke bufet yang meyokong televisi, putriku terbelalak diperlakukan dengan kasar karena selama ini sebagai anak bungsu Dia sangat dimanjakan dan dielukan oleh Mas Faisal. Memang selama ini Felicia adalah anak yang paling cerdas dan cantik di antara ketiga putra dan putriku. Mantan suamiku sangat menyayanginya dan tidak pernah sedikitpun memarahinya."Ayah!!!" Felicia berteriak dan tidak terima dengan perlakuan Mas Faisal sementara mantan suamiku sendiri terlihat terkejut sendiri dengan perbuatannya kepada putrinya.Mas Faisal yang terlihat menyesal berusaha untuk mendekat dan minta maaf namun putriku yang sudah terlanjur jijik kepada ayahnya langsung menepiskan tangan dan menjauh."Dengan kedatangan ayah ke rumah ini dan marah-
Kupeluk putriku dengan penuh perasaan lalu tetap berusaha untuk menenangkan dia. Rina dan Heri juga begitu prihatin dengan adiknya yang rela menjadikan dirinya sebagai tumbal di hadapan ayahnya meski itu tidak benar-benar terjadi."Ayah benar benar keterlaluan," gumam Rena."Iya, betul, aku kecewa pada tindakan ayah," ujar Heri sambil memandangku dengan sedih."Ayo bangun, mari kita bersihkan bekas bensin dari ruangan ini," ujarku sambil mengusap air mata dan membangunkan anakku yang masih berduka.Kuantar felicia ke kamarnya lalu kuminta ia mandi, kusiapkan pakaian di atas ranjang lalu aku pun beranjak membersihkan diri. Kedua anakku yang lain sibuk membereskan bekas bensin dan barang barang yang pecah. Aku tercenung dan terdiam melihat pemandangan rumah dari balkon lantai dua. Dulu, rumahku adalah surgaku, tempat terbaik kami untuk pulang dan menenangkan perasaan. Sekarang semuanya sudah beda, hawanya suram, sepi dan tidak lagi tentram. Perasaan yang ada selalu was was dan berkecamu
Kemudian semuanya berlanjut seperti normal, meski ada kendala saat aku kekurangan uang belanja atau anak-anak yang harus menekan keinginannya untuk membeli sesuatu tapi kami mulai belajar tentang kesederhanaan dan arti kebersamaan. Kami mulai hidup apa adanya dan menikmati makanan dengan bersyukur di penghujung hari.Satu kebiasaan yang tidak pernah hilang di rumah kami adalah selalu makan malam bersama karena di momen itu kami akan bercerita dan curhat juga meminta pendapat dan diskusi dengan anggota keluarga yang lain.Seperti Malam ini aku dan dan ketiga anakku yang baru selesai mandi duduk di meja makan sambil menikmati makanan kami. Aroma hidangan mengepul sedap dan menggugah selera sehingga membuat Rena dan Felicia begitu bersemangat makan. Heri anak sulungku yang tidak terlalu suka pedas hanya tersenyum melihat adiknya terus mendesis kepedasan."Makanya jangan rakus, cabe aja dimakan kayak gitu," ujar Heri."Enak tahu, kakak ga tahu aja rasanya ...""Aku memang tidak bisa mera
"Eh, euhm, se-sebaikmya saya masuk..." Aku ingin menghindari percakapan canggung itu karena merasa belum siap mental.Aku belum menyiapkan diriku untuk tertarik kepada seorang lelaki mengingat diri ini baru saja ditinggalkan oleh suami. Bukannya menolak untuk move on dan melangkah ke depan, aku hanya butuh waktu untuk menghilangkan luka yang ada di hatiku kemudian membuka lebaran baru dengan orang lain."Kenapa Mutia menjadi gugup dan menghindari saya?"Aduh, kini dia menyebut namaku dengan suara yang begitu lembut hingga aku benar-benar gemetar."Bu-bukan begitu, Mas. Ehm, sa-saya merasa tidak enak saja dengan orang yang ada di dalam karena kita berdua duduk di luar sini.""Bukannya ayahnya Mutia yang meminta saya untuk mengajak kamu duduk ke teras?""Be-benar juga, ta-tapi ..." Mendadak mulutku ganggu tenggorokanku tercekat dan aku yang biasanya bicara lantang dan tegas tiba-tiba tidak mampu mengatakan apa-apa. Entah karena aku terpukau oleh pesona mas Rusdi ataukah aura dirinya