“Aduh, lepaskan! Kau hampir saja membuatku terjatuh,” bentak Dila sambil menatap kesal.Lelaki itu semakin berani dan tidak memedulikan akibat dari perlakuannya terhadap wanita di sampingnya. “Kau tidak menghargai pelanggan yang datang ke kedaimu. Bisakah kau lupakan dulu masalah kita. Aku hanya ingin bersantai sambil meminum kopi di sini.”“Tapi, masalahnya kedai akan tutup. Kami tidak beroperasi di malam hari. Apa kau tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan?”Dila sudah tak bisa lagi menahan amarahnya, karena lelaki itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja diucapkannya. Radit bersikap santai saja seakan tidak ada yang terjadi. “Kalau gitu, aku ingin menemui putriku. Ke mana Syifa dan Nisya? Abang udah lama gak ketemu dengan mereka, apalagi Nisya. Bagaimana rupanya sekarang?” Radit tiba-tiba saja teringat dengan putrinya yang bungsu. Hampir sekitar empat atau lima bulanan, dia belum bertemu dengan putrinya tersebut. Dia sangat merindukan mereka berdua, apalagi yang
“Bu-kan … bukan seperti itu maksud Ibu, Dit.” Radit menoleh ke belakang. “Trus, apa maksudnya semua yang Ibu katakan tadi?” “Hu-huhu, sepertinya Ibu sudah tidak berguna lagi di rumah ini. Putra yang ibu banggakan membentakku. Huhuhu ….” Bu Santi terisak. Ia tidak menyangka bahwa putranya membentak dirinya. “Ibu memintamu untuk kebaikanmu juga.” Radit membalikkan badan, melirik ke arah ibunya. Ia menyesal telah berkata keras ke ibunya. Ia tidak menyangka saja, ibunya tidak bisa berkata yang baik, malah memintanya untuk bercerai. Ia masih kesal dengan ucapan tersebut. Namun, dia juga menyesal membuat ibunya menangis. Benar-benar dilema. “Arrghh! Bukan terpuruk, tetapi justru membuatku hancur.” Ia mengacak rambutnya dan pergi dari kamar ibunya. Pantas saja ibunya mengatakan penting dan tidak ingin berbincang-bincang di luar, ternyata yang ingin diucapkannya agar tidak didengar oleh Serli. Radit pun masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar.“Gila! Wanita tua itu ternyata berbahay
Kedua Security itu segera menundukan badan, memberi hormat kepada wanita tersebut kemudian membukakan jalan agar segera berlalu. Mereka merasa bersalah dan hampir saja melakukan kesalahan kepada tamu. Serli kebingungan dengan sikap kedua security di depannya. “Apa yang kalian lakukan?” “Dia memang tamu di acara ini, Nona.”“Tamu? Apa kalian yakin? Mungkin saja undangannya palsu,” sergah Serli masih tidak puas karena Dila dibiarkan melenggang begitu saja. “Sebaiknya anda tidak ceroboh dan bersikap sewenang-wenang terhadap tamu di sini.”“Apa! Hei, berani sekali kalian menasehatiku seperti itu. Apa kalian tidak tau siapa aku, hah?”Kedua security itu berlalu, meninggalkan Serli untuk melanjutkan tugas mereka. Serli kembali menuju toilet. Perasaan kesalnya semakin memuncak, kedua security menasehatinya seakan mencemooh, selain itu dendamnya juga belum terbalaskan kepada Dila. Tadinya ia merasa seakan mendapatkan sebuah kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada wanita itu. ***“
“Mereka baik-baik saja dan sangat terawat dalam pengasuhanku,” jawab Dila dengan sarkastis.Herjunot semakin yakin ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja terjadi di antara mereka. Ibu Santi tidak tahu harus mengatakan apalagi mendengar jawaban Dila.“Oh ya, Mas. Aku harus pergi dulu. Terima kasih atas semua jamuannya di acara anda. Saya sangat tersanjung atas undangannya.” Dila pamit untuk segera pergi.“Tidak perlu mengatakan seperti itu. Okay, mari aku temani sampai ke loby. Kalau begitu, kita pulang bareng aja, bagaimana?” Lelaki berbadan tegap tersebut menawarkan bantuan ke Dila. Mereka berjalan bersama hingga ke lobby, sambil mengobrol.“Terima kasih, Mas, atas tawarannya. Lain waktu aja. Kebetulan supir saya sudah menunggu di mobil.”“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa!” “Sampai jumpa kembali.”Ia masih berdiri menatap Dila yang telah memasuki mobil, hingga menghilang dari pandangannya. Herjunot berbelok menuju mobilnya. Namun kemudian, ia menghentikan langkah kakinya dan
“Kau pikir, kau siapa berani mengatur-atur hidupku? Dengar, sebaiknya kau pergi sekarang juga. Aku muak melihatmu setiap saat muncul tanpa permisi.” Radit cukup kesal dengan wanita di depannya. Wanita itu sangat keras hati dan dingin. Ia tidak pernah melihat wanita itu bersikap demikian padanya. Dulu, Dila sangat ramah dan pengertian, tapi semua telah berubah. “Oh, ya, aku hampir lupa ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Aku tidak ingin mendengar ucapanmu itu. Silakan pergi sekarang juga atau kau ingin aku meneriakimu di sini?” ancam Dila dengan tatapan tajam. Radit seketika menoleh sekeliling. Beberapa warga telah beraktivitas di pagi hari. Ia bisa bayangkan bagaimana tetangga akan melihatnya dan memperlakukannya jika Dila meneriakinya. Ia menggerutu di dalam hati berulang kali. Dila tidak mudah ia taklukkan seperti dulu. Padahal sudah berbagai cara ia lakukan agar wanita itu luluh, dengan cara lembut dan paksaan pun tetap saja tidak berhasil. Wanita itu memiliki pendirian yang kua
Herjunot masih menoleh ke Radit dan menunggu jawaban lelaki itu. Radit tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Ia benar-benar bingung. Ingin melarikan diri pun sepertinya tidak mungkin. Apalagi yang menanyainya bosnya sendiri. “Iya, Bos. Kami mengenalnya ….”“Mmm ….” Herjunot masih menatap Radit, menunggu jawaban lain.Radit sedikit salah tingkah. Ia pun segera meraih ponsel di dalam saku celananya. Ia seolah menerima panggilan telepon. “Halo, Iya, Yang. Sebentar lagi. Baru saja selesai, nih.” Ia memasukkan kembali ponsel miliknya. “Maaf, Bos. Saya harus pergi.”Herjunot merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Ia pun keluar dari toilet menuju tempat duduknya. Sebenarnya, Ia sudah menyadari kedatangan Radit dan istrinya. Suara mereka sangat jelas dan terdengar di telinganya ketika keduanya bersenda gurau di belakangnya. Saat itu ia masih asyik bercerita dengan Dila. “Maaf membuatmu menunggu lama.”“Gak apa, Mas.” Mereka kembali melanjutkan obrolan dan diskusi y
Bab 34Radit masih menatap dari kejauhan kedua insan tersebut. Apalagi melihat Herjunot menahan lengan Dila, belum lagi mengingat kedua tangan yang bergandengan tadi di depan lift, lengkap sudah penderitaan, luka, dan sakit hati yang dialaminya. Sementara itu, Dila masih termenung di dalam taksi. Dia masih memikirkan ucapan lelaki dengan perawakan tinggi dan atletis tadi. Ia hanyut dalam lamunannya hingga taksi berhenti di depan rumah. “Terima kasih.” Menyerahkan bill kemudian keluar dari taksi.“Sama-sama, Nona.” Suasana rumah sudah semakin hening karena penghuninya telah beristirahat. Sebelum berganti pakaian dan akan tidur, Dila mengecek kedua putrinya. Mereka telah tidur dan ditemani ibunya. Dila sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat mengerti dengan keadaan dan men-support semua kegiatannya. Ibu dan bapaknya tidak pernah complain dengan semua aktivitasnya. Bapaknya hanya pernah berpesan untuk selalu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan aktivitas yang dijalani. ***
Bab 35Dila menunduk sebentar kemudian mengangguk sebagai isyarat bahwa dia menerima permintaan lelaki di depannya. Seketika guratan senyum di bibir lelaki berparas tampan itu mengembang. Perasaan bahagia yang menyelimutinya tidak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, ya.”“Oh, ya. Aku harus kembali ke butik. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan.”“Okay, mari aku temani.” Herjunot mengulurkan tangannya. Dila menyambut uluran tangan itu, kemudian berdiri. Mereka pun berjalan bersama. “Tanganmu, Mas. Gak enak dilihat oleh beberapa karyawanmu di sini.” Tangan Herjunot masih menggenggam tangan Dila erat.“Bukankah kita sudah jadian?”“Tapi, kita belum halal, Mas.”“Oh, jadi itu yang kamu maksud! Apa aku harus halalkan sekarang juga agar aku leluasa …?”“Ih, dasar gak sabaran! Ternyata kamu dari dulu tidak berubah.”“Ya, aku tidak akan berubah untuk seseorang yang telah lama mengambil separuh jiwa ini.”Pipi Dila menjadi merah merona. Ia tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang te