Herjunot masih menoleh ke Radit dan menunggu jawaban lelaki itu. Radit tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Ia benar-benar bingung. Ingin melarikan diri pun sepertinya tidak mungkin. Apalagi yang menanyainya bosnya sendiri. “Iya, Bos. Kami mengenalnya ….”“Mmm ….” Herjunot masih menatap Radit, menunggu jawaban lain.Radit sedikit salah tingkah. Ia pun segera meraih ponsel di dalam saku celananya. Ia seolah menerima panggilan telepon. “Halo, Iya, Yang. Sebentar lagi. Baru saja selesai, nih.” Ia memasukkan kembali ponsel miliknya. “Maaf, Bos. Saya harus pergi.”Herjunot merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Ia pun keluar dari toilet menuju tempat duduknya. Sebenarnya, Ia sudah menyadari kedatangan Radit dan istrinya. Suara mereka sangat jelas dan terdengar di telinganya ketika keduanya bersenda gurau di belakangnya. Saat itu ia masih asyik bercerita dengan Dila. “Maaf membuatmu menunggu lama.”“Gak apa, Mas.” Mereka kembali melanjutkan obrolan dan diskusi y
Bab 34Radit masih menatap dari kejauhan kedua insan tersebut. Apalagi melihat Herjunot menahan lengan Dila, belum lagi mengingat kedua tangan yang bergandengan tadi di depan lift, lengkap sudah penderitaan, luka, dan sakit hati yang dialaminya. Sementara itu, Dila masih termenung di dalam taksi. Dia masih memikirkan ucapan lelaki dengan perawakan tinggi dan atletis tadi. Ia hanyut dalam lamunannya hingga taksi berhenti di depan rumah. “Terima kasih.” Menyerahkan bill kemudian keluar dari taksi.“Sama-sama, Nona.” Suasana rumah sudah semakin hening karena penghuninya telah beristirahat. Sebelum berganti pakaian dan akan tidur, Dila mengecek kedua putrinya. Mereka telah tidur dan ditemani ibunya. Dila sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat mengerti dengan keadaan dan men-support semua kegiatannya. Ibu dan bapaknya tidak pernah complain dengan semua aktivitasnya. Bapaknya hanya pernah berpesan untuk selalu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan aktivitas yang dijalani. ***
Bab 35Dila menunduk sebentar kemudian mengangguk sebagai isyarat bahwa dia menerima permintaan lelaki di depannya. Seketika guratan senyum di bibir lelaki berparas tampan itu mengembang. Perasaan bahagia yang menyelimutinya tidak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, ya.”“Oh, ya. Aku harus kembali ke butik. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan.”“Okay, mari aku temani.” Herjunot mengulurkan tangannya. Dila menyambut uluran tangan itu, kemudian berdiri. Mereka pun berjalan bersama. “Tanganmu, Mas. Gak enak dilihat oleh beberapa karyawanmu di sini.” Tangan Herjunot masih menggenggam tangan Dila erat.“Bukankah kita sudah jadian?”“Tapi, kita belum halal, Mas.”“Oh, jadi itu yang kamu maksud! Apa aku harus halalkan sekarang juga agar aku leluasa …?”“Ih, dasar gak sabaran! Ternyata kamu dari dulu tidak berubah.”“Ya, aku tidak akan berubah untuk seseorang yang telah lama mengambil separuh jiwa ini.”Pipi Dila menjadi merah merona. Ia tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang te
Bab 36Setelah mengecek ponselnya, Herjunot meletakkan kembali benda pipih miliknya itu ke dalam saku celana. Seketika matanya memicing ketika melihat seseorang di dalam taksi. Ia seperti mengenal wanita tersebut. Dahinya sedikit berkerut, mengingat sosok yang ada di dalam mobil taksi tersebut. “Silakan jalan, Mas,” perintah Dila kepada supir taksi di depannya. “Baik, Nona.” Supir tersebut segera melajukan mobil. Pikiran Dila masih berkecamuk penuh tanya. Namun, ia membuang semua prasangka buruk, mungkin saja klien atau mitra dari perusahaan lain.“Apakah wanita di dalam mobil tadi Dila?” gumam lelaki tersebut, sambil menatap mobil yang telah melaju.“Siapa, Jun? siapa yang kamu lihat?”” tanya wanita di sampingnya. Ia juga menoleh ke mobil yang dilirik oleh Herjunot.“Tidak. Tidak ada.”“Kamu kenapa? Semenjak aku datang pagi tadi, kamu terlihat tidak ceria. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu atau kedatanganku membuatmu tidak bahagia?”“Bukan itu … tidak ada yang perlu dibahas
“Siapa yang kamu maksud?”“Dia telah lama menunggu anda, Bos.”Herjunot segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Hatinya bertanya-tanya siapa yang dimaksud oleh David. Ia sedikit khawatir jika tamu yang dimaksud adalah Dila. Lelaki itu pun masuk.David memilih pergi dan mengajak Celine bercerita, hingga mereka menjauh dari ruangan tersebut. Ia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh bosnya tersebut. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan itulah mengapa dia tidak ingin ikut campur tentang masalah bosnya. Sebenarnya, Celine ingin sekali masuk karena penasaran juga siapa wanita itu dan kenapa Herjunot terlihat panik ketika mendengar tamu yang menunggu. Namun, David menghalaunya sehingga memutuskan menunggu saja. Lagi pula, David sudah mengatakan padanya bahwa ada urusan penting dengan mitra dan Bosnya belum ingin diganggu, sehingga mengikuti saran David.Herjunot menjadi salah tingkah dan menjadi kaku tatkala melihat wanita yang telah lama duduk di dalam ruangan tersebut. “Di-la … sudah
Dila mengingat-ingat nama tamu yang ingin menemuinya. Ia mulai sadar siapa wanita yang ingin menemuinya tersebut. Nama tersebut yang disebut oleh Herjunot ketika dia berada di dalam ruangan. Ia masih bertanya-tanya apa yang diinginkan wanita itu untuk menemuinya.Beberapa menit berlalu, seorang wanita masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu. Dila mempersilakannya masuk. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya Dila sambil menatapnya dengan ekspresi penuh tanya di benaknya. “Ya, aku membutuhkan bantuanmu,” ujar Celine ketika dia baru saja masuk di ruangan Dila. “Bantuan apa itu? Aku bersedia jika tidak memberatkanku.”“Tolong jauhi calon suamiku. Kami sudah lama tunangan. Aku sangat mencitainya, dia juga sangat mencintaiku. Kami saling mencintai, walaupun sempat berpisah,” ucap wanita itu tanpa basa-basi. Calon suami yang dia maksud adalah Herjunot, pemimpin perusahaan Textile Indo Global.Celine pun menceritakan semua awal mula pertemuan dan perjalinan cintanya bersama Herjunot saat
“Jun, orang tua kita sedang membahas hari pertunangan kita. Mari masuk!” Celine menghampiri mereka. Kedua matanya menatap tak suka ke wanita di samping lelaki pujaannya sebagai isyarat agar wanita itu pergi. Dila tak percaya mendengar ucapan tersebut. Ia melepaskan tangan ingin sekali pergi dari tempat tersebut. Namun, keadaannya tidak memungkinkan lagi. Herjunot menyadari sesuatu dan segera menggenggam tangan Dila dengan sangat erat. Ia khawatir wanita itu kecewa lagi untuk kesekian kali dan akan pergi. Ia tidak menyangka keadaannya akan menjadi seperti yang mereka alami saat itu. Terlalu rumit kisah yang harus dia jalani. “Pertunangan? Siapa yang mengizinkan semua ini? Apakah kalian sudah memberitahuku sebelumnya?”“Juno, duduklah dulu, Nak,” pinta Tsania Kazol, ibu Herjunot dengan pelan. Situasinya sangat tidak baik. Namun, tidak ada pilihan selain harus menenangkan putranya. “Ayah, Ibu, kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya padaku?” Lelaki itu menoleh kepada kedua orang
Herjunot merasa pusing dan kepalanya sangat berat. Ia mencoba menahan sedikit rasa sakit yang dialaminya agar masih tersadar. Semakin ia bertahan, semakin kuat rasa sakit dan berat itu menguasainya. Ia berusaha bangkit dari tempat duduknya dan segera keluar dari ruang makan. Ia sempat meraih ponsel di saku celananya. Kakinya tidak mampu menahan bobot tubuhnya yang sangat berat sehingga ia pun terjatuh di atas lantai bersamaan dengan ponsel yang ada di genggamannya.Sebuah bunyi sepatu berjalan mendekati ruang yang ia tempati. Telinganya masih bekerja, mendengar bunyi langkah kaki tersebut. Suara seorang wanita mendekatinya, tetapi tidak terlalu jelas di telinganya apa yang diucapkan oleh wanita tersebut. Tidak berselang lama, Ia merasakan tubuhnya ditarik dan digeser. “Huf, tubuhmu berat juga.” Wanita itu nampak kelelahan sambil menghela napas. Wanita yang berada di samping lelaki yang terbaring itu menyunggingkan senyum sambil mencibir. “Setidaknya, aku bisa merasakan dan mencumb