“Kau pikir, kau siapa berani mengatur-atur hidupku? Dengar, sebaiknya kau pergi sekarang juga. Aku muak melihatmu setiap saat muncul tanpa permisi.” Radit cukup kesal dengan wanita di depannya. Wanita itu sangat keras hati dan dingin. Ia tidak pernah melihat wanita itu bersikap demikian padanya. Dulu, Dila sangat ramah dan pengertian, tapi semua telah berubah. “Oh, ya, aku hampir lupa ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Aku tidak ingin mendengar ucapanmu itu. Silakan pergi sekarang juga atau kau ingin aku meneriakimu di sini?” ancam Dila dengan tatapan tajam. Radit seketika menoleh sekeliling. Beberapa warga telah beraktivitas di pagi hari. Ia bisa bayangkan bagaimana tetangga akan melihatnya dan memperlakukannya jika Dila meneriakinya. Ia menggerutu di dalam hati berulang kali. Dila tidak mudah ia taklukkan seperti dulu. Padahal sudah berbagai cara ia lakukan agar wanita itu luluh, dengan cara lembut dan paksaan pun tetap saja tidak berhasil. Wanita itu memiliki pendirian yang kua
Herjunot masih menoleh ke Radit dan menunggu jawaban lelaki itu. Radit tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Ia benar-benar bingung. Ingin melarikan diri pun sepertinya tidak mungkin. Apalagi yang menanyainya bosnya sendiri. “Iya, Bos. Kami mengenalnya ….”“Mmm ….” Herjunot masih menatap Radit, menunggu jawaban lain.Radit sedikit salah tingkah. Ia pun segera meraih ponsel di dalam saku celananya. Ia seolah menerima panggilan telepon. “Halo, Iya, Yang. Sebentar lagi. Baru saja selesai, nih.” Ia memasukkan kembali ponsel miliknya. “Maaf, Bos. Saya harus pergi.”Herjunot merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Ia pun keluar dari toilet menuju tempat duduknya. Sebenarnya, Ia sudah menyadari kedatangan Radit dan istrinya. Suara mereka sangat jelas dan terdengar di telinganya ketika keduanya bersenda gurau di belakangnya. Saat itu ia masih asyik bercerita dengan Dila. “Maaf membuatmu menunggu lama.”“Gak apa, Mas.” Mereka kembali melanjutkan obrolan dan diskusi y
Bab 34Radit masih menatap dari kejauhan kedua insan tersebut. Apalagi melihat Herjunot menahan lengan Dila, belum lagi mengingat kedua tangan yang bergandengan tadi di depan lift, lengkap sudah penderitaan, luka, dan sakit hati yang dialaminya. Sementara itu, Dila masih termenung di dalam taksi. Dia masih memikirkan ucapan lelaki dengan perawakan tinggi dan atletis tadi. Ia hanyut dalam lamunannya hingga taksi berhenti di depan rumah. “Terima kasih.” Menyerahkan bill kemudian keluar dari taksi.“Sama-sama, Nona.” Suasana rumah sudah semakin hening karena penghuninya telah beristirahat. Sebelum berganti pakaian dan akan tidur, Dila mengecek kedua putrinya. Mereka telah tidur dan ditemani ibunya. Dila sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat mengerti dengan keadaan dan men-support semua kegiatannya. Ibu dan bapaknya tidak pernah complain dengan semua aktivitasnya. Bapaknya hanya pernah berpesan untuk selalu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan aktivitas yang dijalani. ***
Bab 35Dila menunduk sebentar kemudian mengangguk sebagai isyarat bahwa dia menerima permintaan lelaki di depannya. Seketika guratan senyum di bibir lelaki berparas tampan itu mengembang. Perasaan bahagia yang menyelimutinya tidak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, ya.”“Oh, ya. Aku harus kembali ke butik. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan.”“Okay, mari aku temani.” Herjunot mengulurkan tangannya. Dila menyambut uluran tangan itu, kemudian berdiri. Mereka pun berjalan bersama. “Tanganmu, Mas. Gak enak dilihat oleh beberapa karyawanmu di sini.” Tangan Herjunot masih menggenggam tangan Dila erat.“Bukankah kita sudah jadian?”“Tapi, kita belum halal, Mas.”“Oh, jadi itu yang kamu maksud! Apa aku harus halalkan sekarang juga agar aku leluasa …?”“Ih, dasar gak sabaran! Ternyata kamu dari dulu tidak berubah.”“Ya, aku tidak akan berubah untuk seseorang yang telah lama mengambil separuh jiwa ini.”Pipi Dila menjadi merah merona. Ia tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang te
Bab 36Setelah mengecek ponselnya, Herjunot meletakkan kembali benda pipih miliknya itu ke dalam saku celana. Seketika matanya memicing ketika melihat seseorang di dalam taksi. Ia seperti mengenal wanita tersebut. Dahinya sedikit berkerut, mengingat sosok yang ada di dalam mobil taksi tersebut. “Silakan jalan, Mas,” perintah Dila kepada supir taksi di depannya. “Baik, Nona.” Supir tersebut segera melajukan mobil. Pikiran Dila masih berkecamuk penuh tanya. Namun, ia membuang semua prasangka buruk, mungkin saja klien atau mitra dari perusahaan lain.“Apakah wanita di dalam mobil tadi Dila?” gumam lelaki tersebut, sambil menatap mobil yang telah melaju.“Siapa, Jun? siapa yang kamu lihat?”” tanya wanita di sampingnya. Ia juga menoleh ke mobil yang dilirik oleh Herjunot.“Tidak. Tidak ada.”“Kamu kenapa? Semenjak aku datang pagi tadi, kamu terlihat tidak ceria. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu atau kedatanganku membuatmu tidak bahagia?”“Bukan itu … tidak ada yang perlu dibahas
“Siapa yang kamu maksud?”“Dia telah lama menunggu anda, Bos.”Herjunot segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Hatinya bertanya-tanya siapa yang dimaksud oleh David. Ia sedikit khawatir jika tamu yang dimaksud adalah Dila. Lelaki itu pun masuk.David memilih pergi dan mengajak Celine bercerita, hingga mereka menjauh dari ruangan tersebut. Ia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh bosnya tersebut. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan itulah mengapa dia tidak ingin ikut campur tentang masalah bosnya. Sebenarnya, Celine ingin sekali masuk karena penasaran juga siapa wanita itu dan kenapa Herjunot terlihat panik ketika mendengar tamu yang menunggu. Namun, David menghalaunya sehingga memutuskan menunggu saja. Lagi pula, David sudah mengatakan padanya bahwa ada urusan penting dengan mitra dan Bosnya belum ingin diganggu, sehingga mengikuti saran David.Herjunot menjadi salah tingkah dan menjadi kaku tatkala melihat wanita yang telah lama duduk di dalam ruangan tersebut. “Di-la … sudah
Dila mengingat-ingat nama tamu yang ingin menemuinya. Ia mulai sadar siapa wanita yang ingin menemuinya tersebut. Nama tersebut yang disebut oleh Herjunot ketika dia berada di dalam ruangan. Ia masih bertanya-tanya apa yang diinginkan wanita itu untuk menemuinya.Beberapa menit berlalu, seorang wanita masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu. Dila mempersilakannya masuk. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya Dila sambil menatapnya dengan ekspresi penuh tanya di benaknya. “Ya, aku membutuhkan bantuanmu,” ujar Celine ketika dia baru saja masuk di ruangan Dila. “Bantuan apa itu? Aku bersedia jika tidak memberatkanku.”“Tolong jauhi calon suamiku. Kami sudah lama tunangan. Aku sangat mencitainya, dia juga sangat mencintaiku. Kami saling mencintai, walaupun sempat berpisah,” ucap wanita itu tanpa basa-basi. Calon suami yang dia maksud adalah Herjunot, pemimpin perusahaan Textile Indo Global.Celine pun menceritakan semua awal mula pertemuan dan perjalinan cintanya bersama Herjunot saat
“Jun, orang tua kita sedang membahas hari pertunangan kita. Mari masuk!” Celine menghampiri mereka. Kedua matanya menatap tak suka ke wanita di samping lelaki pujaannya sebagai isyarat agar wanita itu pergi. Dila tak percaya mendengar ucapan tersebut. Ia melepaskan tangan ingin sekali pergi dari tempat tersebut. Namun, keadaannya tidak memungkinkan lagi. Herjunot menyadari sesuatu dan segera menggenggam tangan Dila dengan sangat erat. Ia khawatir wanita itu kecewa lagi untuk kesekian kali dan akan pergi. Ia tidak menyangka keadaannya akan menjadi seperti yang mereka alami saat itu. Terlalu rumit kisah yang harus dia jalani. “Pertunangan? Siapa yang mengizinkan semua ini? Apakah kalian sudah memberitahuku sebelumnya?”“Juno, duduklah dulu, Nak,” pinta Tsania Kazol, ibu Herjunot dengan pelan. Situasinya sangat tidak baik. Namun, tidak ada pilihan selain harus menenangkan putranya. “Ayah, Ibu, kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya padaku?” Lelaki itu menoleh kepada kedua orang
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni