“Jun, orang tua kita sedang membahas hari pertunangan kita. Mari masuk!” Celine menghampiri mereka. Kedua matanya menatap tak suka ke wanita di samping lelaki pujaannya sebagai isyarat agar wanita itu pergi. Dila tak percaya mendengar ucapan tersebut. Ia melepaskan tangan ingin sekali pergi dari tempat tersebut. Namun, keadaannya tidak memungkinkan lagi. Herjunot menyadari sesuatu dan segera menggenggam tangan Dila dengan sangat erat. Ia khawatir wanita itu kecewa lagi untuk kesekian kali dan akan pergi. Ia tidak menyangka keadaannya akan menjadi seperti yang mereka alami saat itu. Terlalu rumit kisah yang harus dia jalani. “Pertunangan? Siapa yang mengizinkan semua ini? Apakah kalian sudah memberitahuku sebelumnya?”“Juno, duduklah dulu, Nak,” pinta Tsania Kazol, ibu Herjunot dengan pelan. Situasinya sangat tidak baik. Namun, tidak ada pilihan selain harus menenangkan putranya. “Ayah, Ibu, kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya padaku?” Lelaki itu menoleh kepada kedua orang
Herjunot merasa pusing dan kepalanya sangat berat. Ia mencoba menahan sedikit rasa sakit yang dialaminya agar masih tersadar. Semakin ia bertahan, semakin kuat rasa sakit dan berat itu menguasainya. Ia berusaha bangkit dari tempat duduknya dan segera keluar dari ruang makan. Ia sempat meraih ponsel di saku celananya. Kakinya tidak mampu menahan bobot tubuhnya yang sangat berat sehingga ia pun terjatuh di atas lantai bersamaan dengan ponsel yang ada di genggamannya.Sebuah bunyi sepatu berjalan mendekati ruang yang ia tempati. Telinganya masih bekerja, mendengar bunyi langkah kaki tersebut. Suara seorang wanita mendekatinya, tetapi tidak terlalu jelas di telinganya apa yang diucapkan oleh wanita tersebut. Tidak berselang lama, Ia merasakan tubuhnya ditarik dan digeser. “Huf, tubuhmu berat juga.” Wanita itu nampak kelelahan sambil menghela napas. Wanita yang berada di samping lelaki yang terbaring itu menyunggingkan senyum sambil mencibir. “Setidaknya, aku bisa merasakan dan mencumb
Bab 41“Aku diperintahkan oleh Herjunot untk menghubungi anda. Herjunot sedang tidak bisa beraktivitas karena kecelakaan kecil.” “Kecelakaan kecil … maksudnya?” Dila masih menunggu pernyataan berikutnya dari lelaki di depannya.“Dia sedang dirawat di rumahnya saat ini.”“Aku turut sedih mendengarnya, tapi ngomong-ngomong apa yang sebenarnya ingin anda sampaikan?” Wanita itu masih bertanya-tanya atas kedatangannya di ruang lelaki tersebut.David pun menyampaikan maksudnya menghubungi wanita itu datang menemuinya. Ia membahas mengenai kerjasama mereka. Mereka berharap wanita itu tidak mundur. Banyak hal yang harus dia jelaskan dan luruskan kepada wanita tersebut. Ia hanya menyampaikan permintaan Pimpinannya. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu dan memberi salam. Kebetulan pintu ruang kerja David tidak tertutup sehingga orang tersebut dapat dilihat dengan jelas dari dalam ruangan. “Permisi, Pak David. Mohon maaf telah mengganggu pembicaraan kalian.” Raut wajah lelaki itu terlihat gusar
Bab 42Air mata bahagia mengalir dari kedua kelopak matanya, juga perasaan khawatir menghampirinya. Kedua perasaan tersebut menjadi campur aduk. Dila tidak menyangka Herjunot akan serius melakukan hal ini untuknya. Ia teringat kedua putrinya. Ia masih bertanya-tanya dengan keputusan Herjunot melamarnya. “Bahkan, kau belum tahu aku telah memiliki dua buah hati ….” Ucapan Dila seakan tercekat, ada getir pahit yang keluar dari kerongkongannya. “Aku paham dengan kekhawatiranmu. Aku telah mengetahuinya, Dil. Aku akan menerima mereka sebagai kedua putriku dan menerima keadaanmu apa adanya. Aku menyangimu dari dulu dan perasaan itu belum hilang sampai saat ini.” Jawaban lelaki di depannya tegas dan tanpa keraguan. Hati Dila seketika tersentuh.“Kau sudah mengetahuinya? Tapi, kedua orang tuamu ….”“Ya, maukah kau berjuang bersama dan meyakinkan mereka juga?” pinta Herjunot penuh harap. Sorotan matanya penuh makna. Dila mengangguk kemudian meraih sebuah cincin pemberian lelaki di depannya.
Bab 43Mendengar kabar Dila sedang dirawat di rumah sakit, seketika Herjunot meningggalkan pekerjaannya. Ia meminta David mengurusi sementara. Raut wajahnya penuh kekhawatiran. Ia tidak menyangka Dila akan mendapatkan perlakuan jahat dari pelanggan di kedainya sendiri. Perjalanan menuju rumah sakit, Herjunot sangat gelisah di dalam mobil. Ia berharap telah sampai di tempat tujuan. Rasanya mobil yang mengantarkannya sangat lambat melaju di jalan raya. “Bagaimana keadaan Dila, Sus?” tanya lelaki dengan postur tinggi tersebut ke seorang perawat.“Masih dalam penanganan, Pak. Akan kami kabari nanti jika sudah selesai,” ujar salah seorang perawat yang baru keluar dari ruang perawatan pasien. “Okay. Terima kasih, Suster.”Herjunot kembali duduk dan bergabung bersama yang lain. Ia menemani calon ibu mertuanya menunggu di luar ruang perawatan. Ibu Maria lumayan lama menunggu di depan ruang perawatan. Pasalnya, Tiara telah kembali bekerja, hanya supir Dila yang masih mununggu juga. Bu Mar
Bab 44Keduanya sudah menjelaskan bahwa tidak mengenal orang yang menyuruh mereka. Herjunot memutuskan membawa kedua wanita itu ke kantor polisi untuk diinterogasi lebih lanjut dan menerima konsekuensi dari perbuatan mereka. Ia tidak mau memberi belas kasihan kepada mereka. Perbuatan mereka menyebakan orang yang sangat disayanginya harus menderita luka bakar.“Bawa mereka sekarang juga!”“Baik, Tuan.”Herjunot kembali ke perusahaan dan melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Mobil pun melaju mengantarnya ke tujuan. Ia bersandar ke jok mobil sambil memikirkan kondisi yang dialaminya bersama Dila belakangan ini secara beruntun. Pikirannya semakin diisi dengan penuh tanda tanya. Lelaki berbadan tegap itu mengembuskan napas berat.Ia tidak ingin semua hal itu terus mengganggunya, ia bertekad akan mengusut tuntas semua ini. Tidak lama kemudian, mobil memasuki pelataran parkir. Sebelum keluar mobil, Herjunot memerintahkan supirnya. “Nato ….”“Iya, Tuan.”“Tolong cari seorang security unt
Serly seketika terkejut. Ia bingung bagaimana mungkin mereka bisa mengetahuinya dan masuk dengan mudah tanpa ada perlawanan. “Wah, kamu punya nyali juga ke sini. Baguslah, kau ada di sini dan bisa menyaksikan dengan mudah bagaimana aku melakukannya. Muso, perintahkan kedua temanmu untuk menghabisi mereka!” perintah Serli dengan congkak.Serli heran dan menatap ke Muso, lelaki dengan hampir semua tato di tubuhnya itu tidak bergerak sedikit pun. “Muso, apa yang kau lihat? Habisi mereka sekarang atau kau mau tidak menerima sedikit pun bayaranmu?”Lelaki yang diteriaki itu pun masih tidak menyahut dan juga bergerak, hanya menatap ke wanita yang memerintahnya. “Hei, kau wajah yang menjijikan dan anak buahmu, cepat habisi mereka ….” Serly semakin panik. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Herjunot hanya tersenyum sambil melipat kedua tangannya. Ia pun mendekat. “Kau ternyata terlalu lugu dan bodoh. Mereka, suruhanmu ini telah berpindah bos padaku,” ucap Herjunot dengan menyunggingkan s
Bab 46“Apa maksudmu?” Herjunot menatap serius ke seseorang yang telah memasuki ruang di mana keduanya harus bertemu. Ia cukup terkejut.“Loh, kamu siapa?” tanya Serly bingung. Matanya melirik kembali ke pintu berharap ada seseorang lagi yang masuk. “Aku diminta untuk menemui anda.” Lelaki tersebut masuk kemudian duduk di tempat yang kosong.Serly sangat kecewa karena yang datang bukan wanita yang dimaksud. Ia tidak menyangka wanita itu cukup cerdik juga. Ia bingung bagaimana harus memulai, bertemu dengan lelaki di dalam restoran tersebut. Ia sangat tidak nyaman.“Jadi, apa ada sesuatu yang telah dia titipkan padamu untukku?”“Ya, tentu. Ini untukmu!”Serly mengernyitkan kening karena sesuatu yang diberikan padanya bukan amplop tebal, melainkan sebuah kertas yang dilipat. Ia mengambil kertas tersebut dan membukanya. [Jangan berani kau mempermainkanku! Kau pikir aku bodoh? Kau tidak berhasil ‘kan menyiramnya? Aku masih melihatnya beraktivitas] Seketika jantung Serly memompa sangat
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni