Kedua Security itu segera menundukan badan, memberi hormat kepada wanita tersebut kemudian membukakan jalan agar segera berlalu. Mereka merasa bersalah dan hampir saja melakukan kesalahan kepada tamu. Serli kebingungan dengan sikap kedua security di depannya. “Apa yang kalian lakukan?” “Dia memang tamu di acara ini, Nona.”“Tamu? Apa kalian yakin? Mungkin saja undangannya palsu,” sergah Serli masih tidak puas karena Dila dibiarkan melenggang begitu saja. “Sebaiknya anda tidak ceroboh dan bersikap sewenang-wenang terhadap tamu di sini.”“Apa! Hei, berani sekali kalian menasehatiku seperti itu. Apa kalian tidak tau siapa aku, hah?”Kedua security itu berlalu, meninggalkan Serli untuk melanjutkan tugas mereka. Serli kembali menuju toilet. Perasaan kesalnya semakin memuncak, kedua security menasehatinya seakan mencemooh, selain itu dendamnya juga belum terbalaskan kepada Dila. Tadinya ia merasa seakan mendapatkan sebuah kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada wanita itu. ***“
“Mereka baik-baik saja dan sangat terawat dalam pengasuhanku,” jawab Dila dengan sarkastis.Herjunot semakin yakin ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja terjadi di antara mereka. Ibu Santi tidak tahu harus mengatakan apalagi mendengar jawaban Dila.“Oh ya, Mas. Aku harus pergi dulu. Terima kasih atas semua jamuannya di acara anda. Saya sangat tersanjung atas undangannya.” Dila pamit untuk segera pergi.“Tidak perlu mengatakan seperti itu. Okay, mari aku temani sampai ke loby. Kalau begitu, kita pulang bareng aja, bagaimana?” Lelaki berbadan tegap tersebut menawarkan bantuan ke Dila. Mereka berjalan bersama hingga ke lobby, sambil mengobrol.“Terima kasih, Mas, atas tawarannya. Lain waktu aja. Kebetulan supir saya sudah menunggu di mobil.”“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa!” “Sampai jumpa kembali.”Ia masih berdiri menatap Dila yang telah memasuki mobil, hingga menghilang dari pandangannya. Herjunot berbelok menuju mobilnya. Namun kemudian, ia menghentikan langkah kakinya dan
“Kau pikir, kau siapa berani mengatur-atur hidupku? Dengar, sebaiknya kau pergi sekarang juga. Aku muak melihatmu setiap saat muncul tanpa permisi.” Radit cukup kesal dengan wanita di depannya. Wanita itu sangat keras hati dan dingin. Ia tidak pernah melihat wanita itu bersikap demikian padanya. Dulu, Dila sangat ramah dan pengertian, tapi semua telah berubah. “Oh, ya, aku hampir lupa ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Aku tidak ingin mendengar ucapanmu itu. Silakan pergi sekarang juga atau kau ingin aku meneriakimu di sini?” ancam Dila dengan tatapan tajam. Radit seketika menoleh sekeliling. Beberapa warga telah beraktivitas di pagi hari. Ia bisa bayangkan bagaimana tetangga akan melihatnya dan memperlakukannya jika Dila meneriakinya. Ia menggerutu di dalam hati berulang kali. Dila tidak mudah ia taklukkan seperti dulu. Padahal sudah berbagai cara ia lakukan agar wanita itu luluh, dengan cara lembut dan paksaan pun tetap saja tidak berhasil. Wanita itu memiliki pendirian yang kua
Herjunot masih menoleh ke Radit dan menunggu jawaban lelaki itu. Radit tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Ia benar-benar bingung. Ingin melarikan diri pun sepertinya tidak mungkin. Apalagi yang menanyainya bosnya sendiri. “Iya, Bos. Kami mengenalnya ….”“Mmm ….” Herjunot masih menatap Radit, menunggu jawaban lain.Radit sedikit salah tingkah. Ia pun segera meraih ponsel di dalam saku celananya. Ia seolah menerima panggilan telepon. “Halo, Iya, Yang. Sebentar lagi. Baru saja selesai, nih.” Ia memasukkan kembali ponsel miliknya. “Maaf, Bos. Saya harus pergi.”Herjunot merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Ia pun keluar dari toilet menuju tempat duduknya. Sebenarnya, Ia sudah menyadari kedatangan Radit dan istrinya. Suara mereka sangat jelas dan terdengar di telinganya ketika keduanya bersenda gurau di belakangnya. Saat itu ia masih asyik bercerita dengan Dila. “Maaf membuatmu menunggu lama.”“Gak apa, Mas.” Mereka kembali melanjutkan obrolan dan diskusi y
Bab 34Radit masih menatap dari kejauhan kedua insan tersebut. Apalagi melihat Herjunot menahan lengan Dila, belum lagi mengingat kedua tangan yang bergandengan tadi di depan lift, lengkap sudah penderitaan, luka, dan sakit hati yang dialaminya. Sementara itu, Dila masih termenung di dalam taksi. Dia masih memikirkan ucapan lelaki dengan perawakan tinggi dan atletis tadi. Ia hanyut dalam lamunannya hingga taksi berhenti di depan rumah. “Terima kasih.” Menyerahkan bill kemudian keluar dari taksi.“Sama-sama, Nona.” Suasana rumah sudah semakin hening karena penghuninya telah beristirahat. Sebelum berganti pakaian dan akan tidur, Dila mengecek kedua putrinya. Mereka telah tidur dan ditemani ibunya. Dila sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat mengerti dengan keadaan dan men-support semua kegiatannya. Ibu dan bapaknya tidak pernah complain dengan semua aktivitasnya. Bapaknya hanya pernah berpesan untuk selalu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan aktivitas yang dijalani. ***
Bab 35Dila menunduk sebentar kemudian mengangguk sebagai isyarat bahwa dia menerima permintaan lelaki di depannya. Seketika guratan senyum di bibir lelaki berparas tampan itu mengembang. Perasaan bahagia yang menyelimutinya tidak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, ya.”“Oh, ya. Aku harus kembali ke butik. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan.”“Okay, mari aku temani.” Herjunot mengulurkan tangannya. Dila menyambut uluran tangan itu, kemudian berdiri. Mereka pun berjalan bersama. “Tanganmu, Mas. Gak enak dilihat oleh beberapa karyawanmu di sini.” Tangan Herjunot masih menggenggam tangan Dila erat.“Bukankah kita sudah jadian?”“Tapi, kita belum halal, Mas.”“Oh, jadi itu yang kamu maksud! Apa aku harus halalkan sekarang juga agar aku leluasa …?”“Ih, dasar gak sabaran! Ternyata kamu dari dulu tidak berubah.”“Ya, aku tidak akan berubah untuk seseorang yang telah lama mengambil separuh jiwa ini.”Pipi Dila menjadi merah merona. Ia tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang te
Bab 36Setelah mengecek ponselnya, Herjunot meletakkan kembali benda pipih miliknya itu ke dalam saku celana. Seketika matanya memicing ketika melihat seseorang di dalam taksi. Ia seperti mengenal wanita tersebut. Dahinya sedikit berkerut, mengingat sosok yang ada di dalam mobil taksi tersebut. “Silakan jalan, Mas,” perintah Dila kepada supir taksi di depannya. “Baik, Nona.” Supir tersebut segera melajukan mobil. Pikiran Dila masih berkecamuk penuh tanya. Namun, ia membuang semua prasangka buruk, mungkin saja klien atau mitra dari perusahaan lain.“Apakah wanita di dalam mobil tadi Dila?” gumam lelaki tersebut, sambil menatap mobil yang telah melaju.“Siapa, Jun? siapa yang kamu lihat?”” tanya wanita di sampingnya. Ia juga menoleh ke mobil yang dilirik oleh Herjunot.“Tidak. Tidak ada.”“Kamu kenapa? Semenjak aku datang pagi tadi, kamu terlihat tidak ceria. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu atau kedatanganku membuatmu tidak bahagia?”“Bukan itu … tidak ada yang perlu dibahas
“Siapa yang kamu maksud?”“Dia telah lama menunggu anda, Bos.”Herjunot segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Hatinya bertanya-tanya siapa yang dimaksud oleh David. Ia sedikit khawatir jika tamu yang dimaksud adalah Dila. Lelaki itu pun masuk.David memilih pergi dan mengajak Celine bercerita, hingga mereka menjauh dari ruangan tersebut. Ia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh bosnya tersebut. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan itulah mengapa dia tidak ingin ikut campur tentang masalah bosnya. Sebenarnya, Celine ingin sekali masuk karena penasaran juga siapa wanita itu dan kenapa Herjunot terlihat panik ketika mendengar tamu yang menunggu. Namun, David menghalaunya sehingga memutuskan menunggu saja. Lagi pula, David sudah mengatakan padanya bahwa ada urusan penting dengan mitra dan Bosnya belum ingin diganggu, sehingga mengikuti saran David.Herjunot menjadi salah tingkah dan menjadi kaku tatkala melihat wanita yang telah lama duduk di dalam ruangan tersebut. “Di-la … sudah