Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 22Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya Bian mengatakan juga pada umi dan abahnya Mbak Fatim kalau dia adalah suamiku. Sedangkan Saga hanya diam saja, saat Bian ngotot melakukannya. Padahal, aku berharap agar Saga akan melarang Bian mengatakan hal tersebut. Aku berharap, Saga memberi kamar lain pada Bian. Tapi pria itu malah menyetujui keinginan Bian begitu saja. Setelah isya dan makan malam, aku masih berniat untuk melihat aktivitas anak-anak di sini. Kali ini ditemani oleh Bian karena Saga mengatakan jika dia ada urusan. Di atas jam delapan malam, Mbak Fatin bilang anak-anak melakukan kegiatan mandiri. Rata-rata mereka menambah hafalan atau mengulang kembali hafalan, seperti itu yang dikatakan oleh wanita itu tadi. Terlihat olehku, anak-anak itu memegang Alquran sambil menghafalkannya. Menikmati pemandangan seperti ini membuatku begitu bahagia. Ditambah lagi suasananya memang sangat nyaman, aku begitu menikmatinya. Berjalan di malam hari deng
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 23Pria yang sudah sekian lama menjadi suamiku itu berkendara dengan tenang. Tak terlalu pelan tidak juga ngebut. Tangan kirinya masih menggenggam tanganku dan memberi sentuhan lembut. Sesekali menatapku saat aku menatapnya seperti orang kebingungan. Aku benar-benar tak percaya pria di sampingku ini adalah orang yang sama, yang menikahiku enam tahun yang lalu. Bahkan aku sampai komat-kamit membaca doa dan ayat apa saja untuk memastikan kalau dia bukan makhluk yang menyerupai Bian saja. Namun seberapa banyak aku membaca semua surat pendek yang ada dalam hafalanku, tetap saja pria itu tak berubah. Dia tetap Bian. Bian membantuku membuka pintu mobil saat kami sampai di hotel setelah lama berkendara. Dia masih diam tanpa kata, hanya bahasa tubuhnya yang berbicara. Hotel dua lantai menjadi tempat menginap Bian. Pria itu langsung membawaku pergi ke kamarnya. "Ayo masuk," ajak Bian saat aku tertegun saja di depan pintu kamar. Aku masih tak mengerti dengan
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 24Aku masih tak bisa mencerna kata-kata Bian barusan, bagaimana maksudnya memberi perhatian sama seperti pada Mbak Ivanka. "Na, kenapa diam saja?" tanya Bian. "Aku nggak ngerti harus jawab apa. Bagaimana bisa kamu membagi perhatianmu. Mbak Ivanka memangnya tidak apa-apa?""Serahkan semua padaku. Kalau sekarang bisa, lain waktu akupun akan bisa. Akan aku buktikan padamu ucapku ini.""Aku nggak bisa jadi istri simpanan, Bi.""Aku nggak mau anakku diasuh oleh orang lain. Diasuh olehmu sendiri atau mungkin dengan suami barumu."Lagi-lagi Bian menyebut suami baru. Kenapa dia ini sebenarnya. Aku tak pernah dekat dengan pria manapun, kenapa dia begitu khawatir tentang suami baruku nantinya. "Ivanka tak mau mengasuh anak ini." Bian berkata seraya mengusap perutku. Dia memang tak melepaskan pelukannya dan aku diam menikmatinya. Kami berbicara seperti ini sejak tadi. Jadi itu alasannya pria ini memintaku merawatnya. Mbak Ivanka ternyata tak menginginkan ana
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 25"Mak, biasanya Saga kemana kalau tidak ada dimana-mana?" Aku kembali ke dapur dan bertanya kepada Emak, karena Saga tak kunjung menjawab telepon dariku dan akupun tak menemukannya dimanapun. "Memangnya sudah dicari di semua tempat?" Emak balik bertanya. "Belum semua sih, Mak. Hanya tempat-tempat yang kemarin kami kunjungi.""Coba cari di ruang olahraga, biasanya dia latihan di sana. Itu loh yang ninju-ninju bantal guling."Bantal, guling? Aku malah jadi kepikiran kamar kalau begini. "Latihan fisik kata dia," terang Emak lagi, karena aku kebingungan mencerna penjelasannya. "Oh, itu. Dimana Mak tempatnya?" "Ruangannya dekat lapangan olah raga, pintu warna coklat.""Oh iya, Mak. Saya tahu. Ya udah saya cari ke sana dulu ya."Aku berpamitan dan kembali keluar dari ruang dapur. Pergi ke arah lapangan dan mencari ruang tempat olahraga seperti yang dikatakan oleh Emak tadi. Suasana memang cukup tenang aku mendengar suara pukulan berulang-ulang dari
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 26"Ga, temani aku makan," pintaku pagi ini. Sudah lama sekali sejak kami kembali dari yayasan, Saga tak pernah sama sekali makan denganku. Dia selalu menolaknya. Jika aku minta makanan, dia akan selalu mencarikannya seperti biasanya. Tapi tak pernah sama sekali mau diajak makan seperti dulu. Saga seperti sengaja menjaga jarak dariku. "Maaf, Sha, aku lagi tak ingin sarapan. Tadi udah makan buah pagi-pagi." Lagi-lagi Saga menolaknya. "Kamu kenapa sih?" "Kenapa, ada yang salah?" Saga balik bertanya. "Kamu kaya sengaja menjauhiku."Saga tertawa. "Bagaimana aku bisa menjauhi orang yang harus aku jaga."Aku mendengkus kesal, bukan itu maksudnya. "Aku ada salah sama kamu?"Lagi-lagi Saga tertawa. "Bagaimana bos bisa salah pada anak buah."Makin gemas rasanya dengan semua jawaban Saga. "Aku bukan bosmu, Ga. Bian yang gaji kamu.""Kamu istri Pak Bian, artinya bosku juga. "Sagara ....""Iya, Sha.""Aku tak mau makan jika kamu tak ikut makan kali ini." Ak
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 27Malam ini Mama tidur di kamarku, setelah puluhan purnama kami bisa kembali tidur bersama. Hari ini, aku benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda. Seharian bercengkrama dengan Mama, makan malam bersama dan diakhiri dengan tidur di kamar yang sama. Tentang obrolan tadi siang, aku masih tak memiliki jawaban. Awalnya aku begitu ingin pergi dari keluarga ini, tapi setelah Mama kembali membujukku kenapa aku jadi bimbang. "Ma, apa Mas Bian suka tidur dengan Mama dulu saat masih kecil?" Aku bertanya sambil menunggu rasa kantuk menyapa. "Tidak, sejak usia dua tahun, Bian benar-benar tidur sendiri. Papanya tak mengijinkan untuk ditemani. Katanya anak laki-laki harus kuat, dan mandiri."Aku mengangguk kepala samar, pantas saja Bian iri padaku. Dulu saat di rumah, Mama kadang kala masih sempat untuk tidur denganku. Apa karena ini juga Papa tak sayang padaku. Karena Mama terlalu perhatian padaku."Lalu Cenna, apakah anak itu juga mandiri seperti Mas Bian?"
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 28"Aku hanya sudah terbiasa denganmu, lima tahun bukan waktu yang singkat. Bagaimana bisa kita berpisah begitu saja." Aku beretorika. Menutupi rasa entah apa namanya. Aku hanya tak ingin berpisah dengan Saga. Bagiku dia adalah seorang yang sangat berharga. Aku merasa nyaman, berharga dan dilindungi saat bersama dia. Kalau saja aku belum menikah dengan Bian, andai saja kami bertemu lebih cepat. Jika aku bisa memilih, mungkin lebih baik aku dititipkan di yayasan tempat Saga tumbuh dewasa. Ah, apa yang aku pikirkan ini. Padahal aku sudah mau berdamai, berniat untuk menghadapi ujian ini dengan baik. Tapi kenapa malah berandai-andai."Bisa, semua atasan dan bawahan akan berpisah pada akhirnya," balas Saga dengan santainya. Saga benar-benar manusia robot, dia tak pernah menampakkan perasaannya. Atau hanya aku saja yang tidak peka. Entahlah. Pria di depanku ini selalu misterius buatku. Bukan hanya dia, tapi juga Bian. Aku ini benar-benar wanita yang tak p
"Apa maksudnya, Mbak?" Aku bertanya dengan kebingungan. Dinikahkan dengan pria pilihan dia, bagimana bisa. Bian tak bilang seperti itu. Dia bahkan tidak rela jika aku menikah dengan pria lain apalagi anak ini anak perempuan. Kenapa pria itu berbicara tak sama antara padaku dan pada istri pertamanya."Upss, suamiku tak bilang padamu rupanya. Pantas saja kamu begitu bahagia dan mau saja melayaninya. Padahal kurasa perhatiannya padamu ini hanya bentuk usaha untuk mengurangi rasa bersalahnya."Aku makin tidak mengerti dengan ucapannya. "Tapi karena udah terlanjur tahu, aku kasih tahu sekalian. Kami berniat menikahkan kamu dengan pria lain setelah berpisah dengan Bian. Aku tak mau kamu menganggu keluarga kami.""Kami?" Aku mengulang kata itu. Penasaran dengan kata kami yang diucapkan oleh Mbak Ivanka Siapa saja yang memiliki niatan seperti itu. "Iya kami semua keluarga angkatmu itu tahu.""Mama tau juga.""Tahu, tentu saja.""Dan dia setuju?" Aku seakan tak percaya. Mama tak mungkin me
POV Nala Aku menunggu Bian berganti pakaian sambil duduk di sisi ranjang seperti biasanya. Bian berganti pakaian di ruangan khusus yang ada di kamarnya. Nanti dia akan keluar dari sana setelah rapi dan kami akan pergi bersama ke ruang makan untuk sarapan. Sejak tinggal di sini, aku selalu melakukan hal seperti ini. Pura-pura ke kamar Bian, menantinya berganti pakaian, seolah semalam aku tidur bersamanya. Ini kulakukan demi Cenna, aku kucing-kucingan dengan anak itu. Bertingkah seolah aku dan Daddy-nya tidur di kamar yang sama. Kami bertingkah layaknya suami istri pada umumnya. Sesungguhnya ini sangat merepotkan. Namun, demi Cenna akan kulakukan apa saja. Aku dengar bocah itu pernah masuk rumah sakit hanya gara-gara terlalu banyak pikiran. Apalagi kini Cenna semakin dewasa semakin tahu segalanya. Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman, setelah mendapat ancaman dari Bian di ruang keluarga. Malam tadi, aku hanya bisa mengangguk dan tak berkata apa-apa. Mungkin dari mulutnya keluar k
POV BianPonselku benar-benar berdering saat tengah berkendara, aku harap itu benar-benar telepon dari Ardi yang namanya sudah kuganti dengan nama Ivanka. Nala mengambil ponsel tersebut, dengan ekor mata, aku bisa melihat jika dia terkejut saat melihat layar ponselku dan aku semakin yakin itu adalah Ardi yang menelepon. "Siapa?" Aku pura-pura bertanya. "Mbak Ivanka," jawab Nala, dia terlihat tak bersemangat menyebut nama itu. "Oh." Pura-pura tak peduli saja, aku sudah bilang pada Ardi untuk menelpon setidaknya dua sampai tiga kali, agar terlihat begitu penting dan butuh. "Ini, kamu gak mau angkat?" tanya Nala."Biarin saja."Panggilan telepon kubiarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Dan seperti yang aku minta, ponsel itu kembali berdering."Dia masih menelpon lagi," ucap Nala sambil memperlihatkan layar ponsel padaku "Terima saja, mungkin penting. kamu bisa menepi," sambungnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menepi. Jangan sampai Ardi tak mau menelpon lagi dan
POV Bian."Mau kemana?" tanyaku, saat melihat Nala terlihat rapi dan keluar dari kamarnya.Aku sendiri juga baru keluar dari kamar, hari ini aku tidak bekerja karena hari Minggu. Aku tak pernah tahu rutinitas Nala di rumah, ini. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Tentu saja, siapa aku hingga dia harus membuat laporan hendak kemana dan mau apa. "Mau ke toko bunga," jawab Nala. "Toko bunga?" tanyaku memastikan. "Iya."Toko bunga Nala masih berada di tempat yang sama dengan kantor Ardi. Nala bilang lebih baik di sana daripada pindah lagi, karena kalau pindah seperti memulai dari awal, mencari pelanggan baru begitu katanya. Mendengar kata toko bunga aku langsung meraih tangan Nala dan membawanya masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku berdebat dengan wanita ini, terutama Cenna. Dia selalu waspada kalau sedikit saja aku dan Nala berdebat, sepertinya dia masih ingat hari-hari dimana aku banyak menghabiskan waktu berdebat dengan Ivanka hingga akhirnya k
"Sampai kapan seperti ini?" tanyaku kesal. Tentu dengan bisikan juga."Sampai Cenna pergi," balas Bian."Memangnya dia masih di sana mengawasi kita," tanyaku. "Iya."Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dipeluk olehnya. Jika sudah berhubungan dengan Cenna, rasanya aku tak bisa membedakan salah dan benar. Tatapan matanya yang terluka itu selalu membuatku luluh. Dia sepertiku jika sedang bersedih."Kamu biasa begini dengan Mbak Ivanka?" "Kenapa, kamu cemburu?" Bian balik bertanya."Bukan begitu, bagaimana bisa kau umbar kemesraan di depan anakmu.""Biar dia tahu, bagaimana memperlakukan seorang wanita, seorang istri. Jangan kira aku tidak menjelaskan mana yang boleh dan mana yang tidak." Aku terdiam, kurasa Bian berusaha memberi contoh pada putranya bagaimana dia memperlakukan perempuan. Pasti Bian lembut dan manis pada Mbak Ivanka. Jauh beda denganku kala itu, hanya setelah aku hamil Hafizah saja dia bersikap baik padaku. Lalu kenapa dia bercerai dengan Mbak Ivanka jika keh
Papa menatap padaku, entah apa makna tatapan itu. Meminta jawaban dari pertanyaan Bian? "Kamu serius ingin menikah lagi dengan Nala, apa alasannya?" tanya Papa pada Bian setelah mengalihkan pandangannya dariku."Sepertinya Bian jatuh cinta pada Nala, Pa. Jadi Bian yakin dan serius," balas mantan suamiku itu.Eh, kenapa dia bilang begitu. Jatuh cinta di usia setua ini. Maksudnya, sudah punya dua anak, tentu saja sudah tua. Lalu kenapa dia bilang jatuh cinta, bikin malu saja."Papa tak bisa menjawabnya, meskipun Papa adalah papamu, tapi tidak akan memihak pada siapapun. Semua papa serahkan pada Nala karena ini menyangkut kehidupannya. Bukan begitu, Ma?" Papa bertanya kepada Mama di ujung kalimatnya."Mama setuju dengan Papa. Selama ini, Nala selalu melakukan apa yang kami minta dan katakan. Kali ini biar dia melakukan dan memilih apa yang dia inginkan," sahut Mama sambil menatap padaku."Tapi sebelum menjawab, kamu perlu tahu sesuatu, Na," ucap Papa sambil menatap padaku. Aku merasa j
"Bi, apa-apaan sih kamu ini," seruku tak suka. Bagaimana bisa dia melakukan ini, pria ini semakin sesuka hatinya saja padaku."Papa bilang apa?" tanyanya sambil menatap padaku. "Tanya begitu doang haruskah seperti ini, memasukkanku ke dalam kamar. Kamu bisa tanya nanti, dimana kek, bukan masuk ke ruangan tertutup begini," sungutku.Aku jadi ingat perkataan Papa, bagaimana jika kami lupa diri kalau keseringan masuk ke ruangan hanya berdua saja. "Aku penasaran, katakan sekarang," pinta Bian. "Papa gak bilang apa-apa, cuma bilang selamat datang," balasku singkat."Lama sekali." Bian terlihat tidak percaya."Memangnya harus secepat apa? Udah ah, aku mau keluar, mau makan. Lapar!" Aku berlalu menuju ke arah pintu."Aaaaa, satu lagi. Papa bilang, aku harus hati-hati padaku," ucapku saat aku sudah membuka pintu. "Apa maksudnya?" tanya Bian. Aku tak menjawab, memilih langsung pergi dengan setengah berlari, meninggalkan pria yang kurasa makin hari makin aneh saja. ***"Mbak, dipanggil I
"Santai aja, ngapain harus takut. Papa hanya ingin bicara denganmu karena kangen," ucap Bian saat melihat kegelisahanku."Ngawur kamu, Bi.""BTW, kayaknya lebih enak di panggil Mas deh," sela Bian. "Tau ah, sana aku mau pergi. Keburu papa kelamaan nungguin." Aku kembali berusaha keluar kolam Bian kembali meraih pergelangan tanganku. "Bi ....""Na, untuk sekarang ini jangan takut apapun. Ada aku, jika Papa mengatakan hal yang menyakiti hatimu, kita bisa pergi dari sini. Kita bawa anak-anak bersama kita. Ayo kita bangun keluarga baru yang sesungguhnya." Bian berkata sambil membingkai wajahku.Untuk beberapa saat, aku kembali tengelam dalam tatapan dan kata-katanya. "Aku tak mau kabur dari siapapun lagi, aku akan hadapi semuanya," ucapku sambil mengurai tangannya dari wajahku. "Jika kamu ingin membangun keluarga denganku, minta ijinlah pada Papa. Mungkin Papa bukan orang tua kandungku, mungkin Papa tak pernah menuntun dan memegang tanganku, tapi lewat kerja keras tangannya aku bisa
Aku segera pergi ke kolam renang saat sudah selesai dengan beres-beres kamar. Dari kejauhan kulihat ada Mama sedang duduk memperhatikan Bian dan dua anaknya. Aku bisa melihat Hafizah begitu senang dan menikmati bermain air bersama kakak dan juga daddynya. Aku memang tak pernah mengajaknya berenang, hanya pernah sekali waktu pergi ke baby spa saja. "Sudah sarapan?" tanya Mama."Belum, Ma, belum ingin," balasku. "Lihatlah mereka begitu bahagia. Mama akan lebih bahagia jika kamu mau menikah lagi dengan Bian. Jika kamu menikah dengannya, kamu bisa merawat anak-anak tanpa ada batasan. Apakah menikah dengan Bian bukan menjadi salah satu hal yang akan membuatmu bahagia?" Mama berkata panjang lebar diakhiri dengan pertanyaan. "Maaf, Ma. Nala masih belum bisa menjawab pertanyaan Mama. Saat ini, Nala belum yakin dengan perasaan Bian maupun perasaan Nala sendiri," balasku apa adanya. Apakah Bian ingin menikah denganku hanya karena anak-anak atau karena ingin dan ada perasaan padaku. Aku tak
"Berhentilah meracau dan tidurlah," kataku sembari menarik tanganku dari genggamannya."Aku tidak meracau, Na. Aku serius dengan semua perkataanku," tutur Bian sambil menatap padaku. Aku langsung membuang pandangan, tak mau jatuh dalam pesona matanya yang selalu menghujam jantungku."Tidurlah, Bi. Biar Hafizah juga tidur, aku tak mau terlalu lama di sini. Takut dikira kita ngapa-ngapain. Aku pasti yang salah kalau keluar dari kamarmu malam-malam begini.""Makanya, ayo menikah. Tidak akan ada yang peduli kita mau ngapain juga di dalam kamar kalau suami istri. Nikah, nikah, apa isi kepalanya cuma pernikahan. "Kamu pikir semudah itu kembali menikah?""Apa susahnya?""Kamu bilang apa susahnya. Apa yang kamu lakukan padaku, kau anggap tidak berdampak apa-apa padaku?" tanyaku dengan emosi tertahan. Bisa-bisa Hafizah tidak tidur-tidur jika kami terus berdebat."Tapi aku sudah berusaha membayarnya dengan berbuat baik padamu. Mengikuti semua maumu, termasuk bercerai. Aku sebenarnya tak ingi