Mark tersenyum smirk saat melihat wanita yang dia inginkan beberapa waktu yang lalu telah berada di depan matanya. Wanita yang menghantui tiap malamnya dan membuatnya begitu bergairah dan sangat menginginkannya."Apa yang kamu inginkan dariku?!" tanya wanita di depan Mark dengan lantang. Tak ada raut ketakutan di wajahnya. Bahkan wanita itu berani mengangkat wajahnya dan menatap kedua mata Mark dengan sangat berani. Mark merasa begitu tertantang dan bergairah hanya dengan saling bertatapan seperti itu. Bahkan tanpa sadar lelaki itu menjilat bibir bawahnya penuh minat.Wanita itu begitu jijik dengan tatapan yang diberikan padanya, terlebih wajah mesum yang diperlihatkan sang lelaki."Kamu tidak perlu tahu. Kamu sekarang milikku karena Brian telah memberikanmu padaku, sebagai ganti anak kesayangannya."Mark tertawa dengan sangat keras karena merasa telah menang dari Brian. Dia bisa menekan musuhnya itu sekarang dan mendapatkan apa yang lelaki itu miliki."Cuih!" Vio meludah ke arah sampi
"Enyah kamu bedebah!" teriak Vio disertai tamparan pada pipi lelaki di depannya. Vio benar-benar menggunakan seluruh tenaga yang dia punya saat menampar Mark hingga kepala lelaki itu sedikit tertoleh ke arah kanan.Rasa panas dam perih Mark rasakan saat ini. Akan tetapi, ada yang lebih menyakitkan yaitu hatinya. Baru sekali ini ada perempuan yang dengan berani melayangkan tamparan di pipinya. Harga diri lelaki itu seperti dijatuhkan hingga dasar terendah."Jangan berharap kamu bisa menyentuhku, bajingan!" Dada Vio naik turun saat mengatakannya. Wajahnya mengeras dengan gigi yang bergemerutuk. Dia sangat muak jika harus berdekatan dengan lelaki biadab di depannya. "Aku besumpah akan mencabikmu jika kamu berani menyentuhku!" Mendengar ancaman Vio, Mark menaikkan sebelah bibirnya ke atas. Dia lantas menolehkan kembali kepalanya hingga saat ini kedua matanya menatap tajam mata Vio. Dengan gerakan cepat, lengan Mark maju dan menekan leher Vio hingga membuat wanita itu merasa tercekik. Ked
"Mas. Nanti aku mau ke yayasan. Aku harus meyakinkan Sarah untuk mau menjadi saksi. Semua orang harus tahu kebejatan lelaki itu." Vio berjalan lebih cepat, berusaha mengimbangi langkah cepat Brian. Brian memang sudah memiliki cukup bukti untuk menjatuhkan Mark, tetapi jika Sarah mau speak up, pasti akan lebih memberatkan hukuman bagi lelaki itu. "Iya, Sayang. Aku akan terus mencari bukti agar Mark mendapat hukuman mati, minimal seumur hidup. Sudah terlalu banyak kejahatan yang dia perbuat. Selama ini tidak ada yang berani menyenggolnya, tapi saat ini aku bersumpah tidak akan ada orang yang bisa membantunya," tekad Brian.Brian mengenal Mark sebagai orang yang licik. Dia selalu menggunakan kelemahan orang-orang penting agar mendapatkan dukungan. Namun kali ini, Brian tidak akan membiarkan hal itu. Dia telah mengamankan semua bukti yang Mark punya dan kini telah berada di tangannya. "Brian. Papa pengen ngomong sama kamu." Baik Brian maupun Vio sama-sama kaget saat tiba-tiba saja Wija
"Mas Brian! Lihat! Anak kita sudah bisa naik sepeda!" Azzura menyeret Adrian menuju ke arah halaman. Matanya terlihat berbinar dan raut wajahnya pun memperlihatkan kebahagiaan.Adrian tersenyum miris sembari menatap Azzura dari samping. Ada sesak yang dia rasakan melihat wanita yang dia cintai seperti ini. Skizofrenia yang dialami Azzura telah berada di fase yang bisa melukai diri sendiri ataupun orang lain."Kyra! Hati-hati, nak! Nanti kamu jatuh!" Azzura masih melihat ke arah halaman kosong. Halaman yang dilihat Azzura hanyalah halaman kosong. Namun, dalam pikiran wanita itu, ada Kyra yang sedang mengendarai sepeda roda dua. Ingatan saat Kyra berusia lima tahun dan pertama kali bisa mengendarai sepeda roda dua hadiah ulang tahunnya yang kelima.Mungkin sekitar lima belas menit senyum Azzura mengembang, sebelum akhirnya raut wajah wanita itu berubah drastis. Matanya yang tadinya penuh binar kebahagiaan, menjadi tajam penuh kilat kebencian."Jangan ambil anakku!" Azzura berteriak semb
"Pa! Mama ke mana sih? Kenapa Kyra tidak boleh bertemu dengan Mama?" protes Kyra sesaat setelah mendudukkan bokong pada kursi. Keluarga Pradipta saat ini tengah sarapan. Brian duduk di kursi paling ujung, sedang Vio dan Kyra di sisi kanan dan kirinya. Vio melirik Brian untuk mengetahui bagaimana reaksi suaminya saat sang anak kembali bertanya tentang ibunya. Wanita itu merasa sedih sekaligus kasihan saat melihat Brian yang tidak pernah bisa menjawab pertanyaan Kyra tentang Azzura. "Ehm ... kita makan dulu saja, Sayang. Makanannya keburu dingin." Vio berusaha mengalihkan perhatian Kyra. Namun yang dia dapatkan sekarang adalah tatapan mata Kyra yang menyiratkan kebencian yang mendalam. "Kamu nggak usah sok perhatian deh! Kamu itu bukan mama aku! Jadi kamu nggak perlu manggil 'sayang' segala. Jijik tahu nggak sih!" "Kyra!" bentak Brian yang membuat Kyra langsung menoleh ke arah sang ayah. "Papa berani bentak aku?" tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Sudah, Mas. Aku nggak papa
Brian langsung membanting tas saat masuk ke dalam ruangan kerjanya. Akhir-akhir ini semua hal semakin tidak terkendali. Wijaya sudah mulai menghentikan dukungan bisnis pada perusahaannya secara perlahan, dan juga sikap Kyra yang semakin kurang ajar padanya dan juga Vio.Dengan sedikit kasar, Brian mendudukkan bokong pada kursi, tak lupa dia juga memijit kening yang menjadi sebuah refleks jika dirinya sedang banyak pikiran. Belum lagi Azzura yang masih belum diketahui keberadaannya.Mungkin sekitar lima belas menit lelaki itu dalam posisi seperti itu, dan berhenti saat dering nada ponsel mengagetkannya. Matanya memicing saat melihat siapa yang tengah menelepon."Halo! Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus. Brian begitu kesal dengan orang ini karena sudah berbulan-bulan, tetapi pekerjaannya tidak mendapatkan hasil."Jangan galak seperti itu, Bos." "Buat apa lemah lembut terhadap kamu? Mencari satu orang saja tidak becus," maki Brian. Orang yang meneleponnya adalah Vincet, anak b
"Vincent! Apakah kamu sudah memastikan untuk apa mertuaku datang ke Swiss?" tanya Brian saat Vincent menyetir mobil untuknya menuju bandara. Siang ini dia langsung membatalkan semua janji dan meminta Risa memesankan tiket ke Swiss. Dia yakin jika kepergian Wijaya kali ini ada hubungannya dengan Azzura."Seperti biasanya, Bos. Anak buah saya tidak bisa menembus pertahanan Pak Wijaya. Mereka hanya mengetahui tujuan Pak Wijaya, tetapi tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di dalam sana."Brian mengangguk paham. Memang sangat sulit mematai-matai mertuanya tersebut. Entah bagaimana Wijaya selalu bisa mengecoh anak buah Brian.Tidak ada pertanyaan lagi yang keluar dari bibir Brian setelahnya. Hatinya sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan jika bertemu dengan Azzura nanti? Bagaimana keadaan istrinya itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?Saat tiba di bandara, Vincent dengan sigap membawakan koper Brian. Lelaki itu sedikit kesulitan saat mengikuti langkah Brian yang lebih cep
Seperti disambar petir, itulah yang dirasakan Brian saat ini. Lutut lelaki itu tiba-tiba melemas seperti jeli dan membuat tubuhnya tiba-tiba luruh ke lantai. Bokongnya menyentuh lantai dengan siku yang menumpu pada kursi panjang di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dalam dan tak lama terlihatlah bahunya yang bergetar. Lelaki itu kembali menangis setelah mengetahui jika anak dalam kandungan Vio tidak bisa diselamatkan.Vio telah terlebih dahulu keguguran dan saat ini dokter melakukan tindakan kuretasi atas persetujuan Vio. Dia mengira jika Brian tidak akan datang karena tahu jika lelaki itu akan berangkat ke Swiss.Wanita di depannya salah tingkah karena tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tidak mungkin dia memeluk maupun menepuk punggung Brian karena dia hanya seorang karyawan. Namun, untungnya kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Brian lantas mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang terlanjur menetes. Brian bangkit dan langsung menuju ke ruang operasi. Walau bagaimanapu
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten