Vio sedari tadi berusaha menghubungi Brian, tetapi lelaki itu sama sekali tidak menggubris panggilannya. Hal itu tentu saja membuat Vio semakin kepikiran. Dia pun lantas mencoba untuk menghubungi Azzura, tetapi nomor wanita itu malah tidak bisa dihubungi."Mbak Zura ke mana sih?" Wanita itu bediri panik di depan pintu apartemen. Sesekali dia berjalan mondar-mandir seolah berharap Brian agar segera kembali.Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Vio memutuskan untuk datang ke kediaman Brian dan Azzura. Dia harus memberi tahu Azzura tentang Brian yang pergi dalam kondisi marah.Dengan naik taksi, Vio tiba juga di rumah besar yang pernah dia tinggali. Meski hanya singkat, tetapi ada banyak kenangan di sana.Karena semua pekerja di sana sudah mengetahui tentang Vio, maka tidak susah bagi wanita itu untuk masuk ke dalam. Saat berpapasan dengan salah satu pelayan, Vio pun menanyakan tentang Azzura. Dan dari sana dia jadi mengetahui tentang pertengkaran Brian dan Azzura. Dia juga mendengar k
"Pa! Papa!""Kyra!"Dua bodyguard langsung menangkap Kyra dan membawa masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat gadis itu berontak. Brian yang berusaha melepaskan diri dari beberapa orang, tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terkunci dan sama sekali tidak bisa melepaskan diri. Brian terus berteriak memanggil sang anak yang telah menghilang di balik pintu. Brian heran, kenapa untuk ketemu anaknya sendiri, sesusah itu? Perasaan ini bukan kisah cinta Romeo dan Juliet, kenapa malah lebih rumit dari itu?Pengawal membawa Brian keluar dari rumah itu. Pelayan yang berpapasan dengannya hanya mampu menunduk dan seolah tak melihat apa-apa. Mereka juga kasihan dengan Brian, tetapi mereka tidak bisa melawan perintah Anthony Wijaya."Argh ...!" Brian menendang ban mobil miliknya yang telah berada di luar gedung dengan keras. Amarahnya sama sekali belum reda. Lelaki itu menjambak rambutnya ke belakang, merasa frustrasi dengan keadaannya saat ini. Sang istri pergi dengan lelaki lain, kin
Brian berangkat ke kantor dengan perasaan yang lebih baik. Meski dia belum bisa membawa Kyra pulang, tetapi dia yakin Kyra akan baik-baik saja bersama kakeknya. Tidak mungkin Wijaya akan mencelakai sang cucu kesayangan."Jam sebelas ada pertemuan dengan perwakilan dari PT Mekar Mulia. Jam satu nanti ada pertemuan dengan pemegang saham. Jam ...." Risa membacakan jadwal Brian untuk hari ini. Laki-laki itu hanya menyimak dengan pandangan kosong. Entahlah. Raganya memang di sini, tetapi pikirannya entah di mana.Setelah selesai, Risa melirik sejenak ke arah Brian, merasa aneh dengan sikap atasannya yang tidak seperti biasanya."Bapak sakit?" tanya Risa."Memang aku terlihat sakit?" Bukannya menjawab, Brian malah ganti bertanya pada sang sekretaris."Bapak kelihatan pucat. Mau saya buatkan jadwal bertemu dengan dokter?"Brian menggeleng. "Aku nggak papa." Dia mengibaskan tangan di depan wajah. "Sudah! kamu lanjut kerja! Jangan lupa persiapkan materi untuk pertemuan dengan pemegang saham."
"Jangan sampai hal ini bocor!" Dua orang laki-laki dengan setelan jas mahal berjalan di lorong rumah sakit dengan langkah lebar seolah ada hal penting yang ada di depan sana. "Baik, Tuan." Lelaki yang di belakang hanya bisa mengangguk saat lelaki yang di depannya berbicara. Dia tersentak dan langkahnya langsung terhenti saat lelaki yang di depannya tiba-tiba berhenti.Dia pun melihat ke arah depannya dan ikut menoleh ke arah di mana lelaki di depannya melihat. "Ada apa, Tuan?" tanyanya yang kebingungan karena tidak menemukan hal menarik di sana. Bukan juga melihat orang yang mereka kenal.Lelaki yang dipanggil 'Tuan' menggeleng lantas berkata, "Sepertinya aku melihat seseorang, tetapi ... sudahlah! Mungkin aku salah liat." Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya diikuti pria muda di belakangnya.Namun, baru beberapa langkah, ada seseorang yang memanggilnya. "Pak! Bapak Mark Sutopo!"Lelaki yang ternyata Mark Sutopo itu pun berhenti dan menoleh. Matanya memicing saat melihat lelaki
Bunyi suara ponsel berdering dengan sangat keras hingga membuat kedua manusia yang sedang bergelut dengan kehangatan segera membuka mata. Brian terjaga pertama dan langsung meraih ponsel yang ada di atas nakas. Matanya mengerjap beberapa kali saat melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi seperti ini?Sudah pasti bukan urusan pekerjaan karena Brian membedakan nomor untuk urusan bisnis dan pribadi. Dan yang berbunyi saat ini adalah ponsel yang untuk urusan pribadi.Matanya memicing saat melihat kontak sang mertua yang tertera di sana. Dia sampai mengerjap beberapa kali untuk memastikan jika saat ini bukan mimpi."Siapa, Mas?" tanya Vio sembari merenggangkan ototnya yang terasa kaku karena semalaman memeluk Brian. Brian menoleh ke arah Vio singkat meski setelahnya dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Vio. Lelaki itu mendudukkan diri. Berdehem beberapa kali baru setelahnya dia mengangkat panggilan itu."Halo, Pa."Vio yang tidak mendapat balasan ikut duduk dan membuka telinganya leb
Seketika cengkeraman tangan Brian mengendur. Bahkan dia tidak sadar saat Wijaya menepis tangannya. "Papa, tahu?" ucapnya terbata. "Apa maksud Papa?" Dari arah belakang Brian, sang ibu mertua terlihat begitu shock mendengar kenyataan yang dikatakan suaminya. Dia lantas menoleh ke arah Brian dan memukul lengannya. "Apa yang sudah kamu lakukan, Brian? Wanita ... wanita apa yang dimaksud Papa?" "Itu ...." Brian menelan kembali ucapannya. Dia sendiri bingung bagaimana menjelaskan semuanya. "Pergi kamu dari sini! Aku tidak mengakuimu lagi menjadi bagian keluarga ini. Segera ceraikan Azzura dan aku yang akan mengurus keluarga anakku!" tegas Wijaya yang langsung membuat jantung Brian rasanya berhenti berdetak. "Papa tidak bisa seperti itu! Saya tidak akan menceraikan Azzura. Lagi pula, Azzura yang meminta saya menikah lagi!" Brian berteriak hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Bukan dia yang menginginkan pernikahan keduanya ini. Wijaya tertawa keras, tetapi di matanya terlihat ki
"Pak. Tuan Mark Sutopo ingin bertemu." Brian mengernyitkan dahi saat Risa menyebut nama seseorang yang paling dia benci."Apa kita ada janji dengannya?" tanya Brian sambil kembali memegang pekerjaannya. Dia memeriksa laporan yang tadi dibawa oleh Risa."Tidak--""Kalau begitu, jangan persilakan dia masuk!" tegas Brian memotong ucapan Risa. Dia sedang tidak ingin diganggu, terlebih oleh seorang Mark.Brian terus menunduk, hingga tak menyadari jika Risa masih berdiri di hadapannya. Namun, beberapa saat berlalu, Brian merasa aneh karena tidak ada bunyi pintu terbuka. Brian pun lantas mendongak dan mendapati Risa tengah menatapnya dengan tatapan cemas. Bahkan terlihat gadis itu menggigit bibir bawahnya guna menutupi rasa panik yang dia rasakan."Ada apa lagi? Masih ada yang ingin kamu katakan?" Terlihat Risa semakin tegang saat kedua netranya bertatapan langsung dengan netra Brian. "Ehm ...." Risa menelan ludah kasar. "Ada yang ingin disampaikan Pak Mark tentang Nona Kyra." Raut datar B
Vio merasa aneh dengan sikap Brian yang setelah pulang dari kantor. Lelaki itu seolah ingin berbicara dengan Vio, tetapi lelaki itu malah bersikap salah tingkah yang membuat Vio bingung.Vio penasaran, tapi karena dia masih marah, dia hanya diam. Dia akan menunggu Brian mengatakan apa maksud sikap anehnya itu. Dia yang sedang memasak makan malam memilih fokus pada masakannya, bersikap seolah tidak ada Brian di sana.Brian merasa gelisah setelah pembicaraan dengan Mark siang tadi. Pikirannya ingin mencabik-cabik tubuh lelaki yang paling dia benci itu, tetapi keselamatan Kyra menahannya. Jika dia gegabah, Brian yakin Mark akan dengan mudah mencelakai anak satu-satunya itu.Mark memperlihatkan video yang membuat darahnya berdesir karena amarah. Anak kesayangannya yang telah hilang berhari-hari ternyata berada di tangan Mark. Dalam video itu, terlihat jika Kyra berada di sebuah ruangan dan tengah menangis tersedu. Brian sangat ingin menghampiri dan memeluknya. Namun apa daya, yang ada di