"Jangan sampai hal ini bocor!" Dua orang laki-laki dengan setelan jas mahal berjalan di lorong rumah sakit dengan langkah lebar seolah ada hal penting yang ada di depan sana. "Baik, Tuan." Lelaki yang di belakang hanya bisa mengangguk saat lelaki yang di depannya berbicara. Dia tersentak dan langkahnya langsung terhenti saat lelaki yang di depannya tiba-tiba berhenti.Dia pun melihat ke arah depannya dan ikut menoleh ke arah di mana lelaki di depannya melihat. "Ada apa, Tuan?" tanyanya yang kebingungan karena tidak menemukan hal menarik di sana. Bukan juga melihat orang yang mereka kenal.Lelaki yang dipanggil 'Tuan' menggeleng lantas berkata, "Sepertinya aku melihat seseorang, tetapi ... sudahlah! Mungkin aku salah liat." Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya diikuti pria muda di belakangnya.Namun, baru beberapa langkah, ada seseorang yang memanggilnya. "Pak! Bapak Mark Sutopo!"Lelaki yang ternyata Mark Sutopo itu pun berhenti dan menoleh. Matanya memicing saat melihat lelaki
Bunyi suara ponsel berdering dengan sangat keras hingga membuat kedua manusia yang sedang bergelut dengan kehangatan segera membuka mata. Brian terjaga pertama dan langsung meraih ponsel yang ada di atas nakas. Matanya mengerjap beberapa kali saat melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi seperti ini?Sudah pasti bukan urusan pekerjaan karena Brian membedakan nomor untuk urusan bisnis dan pribadi. Dan yang berbunyi saat ini adalah ponsel yang untuk urusan pribadi.Matanya memicing saat melihat kontak sang mertua yang tertera di sana. Dia sampai mengerjap beberapa kali untuk memastikan jika saat ini bukan mimpi."Siapa, Mas?" tanya Vio sembari merenggangkan ototnya yang terasa kaku karena semalaman memeluk Brian. Brian menoleh ke arah Vio singkat meski setelahnya dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Vio. Lelaki itu mendudukkan diri. Berdehem beberapa kali baru setelahnya dia mengangkat panggilan itu."Halo, Pa."Vio yang tidak mendapat balasan ikut duduk dan membuka telinganya leb
Seketika cengkeraman tangan Brian mengendur. Bahkan dia tidak sadar saat Wijaya menepis tangannya. "Papa, tahu?" ucapnya terbata. "Apa maksud Papa?" Dari arah belakang Brian, sang ibu mertua terlihat begitu shock mendengar kenyataan yang dikatakan suaminya. Dia lantas menoleh ke arah Brian dan memukul lengannya. "Apa yang sudah kamu lakukan, Brian? Wanita ... wanita apa yang dimaksud Papa?" "Itu ...." Brian menelan kembali ucapannya. Dia sendiri bingung bagaimana menjelaskan semuanya. "Pergi kamu dari sini! Aku tidak mengakuimu lagi menjadi bagian keluarga ini. Segera ceraikan Azzura dan aku yang akan mengurus keluarga anakku!" tegas Wijaya yang langsung membuat jantung Brian rasanya berhenti berdetak. "Papa tidak bisa seperti itu! Saya tidak akan menceraikan Azzura. Lagi pula, Azzura yang meminta saya menikah lagi!" Brian berteriak hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Bukan dia yang menginginkan pernikahan keduanya ini. Wijaya tertawa keras, tetapi di matanya terlihat ki
"Pak. Tuan Mark Sutopo ingin bertemu." Brian mengernyitkan dahi saat Risa menyebut nama seseorang yang paling dia benci."Apa kita ada janji dengannya?" tanya Brian sambil kembali memegang pekerjaannya. Dia memeriksa laporan yang tadi dibawa oleh Risa."Tidak--""Kalau begitu, jangan persilakan dia masuk!" tegas Brian memotong ucapan Risa. Dia sedang tidak ingin diganggu, terlebih oleh seorang Mark.Brian terus menunduk, hingga tak menyadari jika Risa masih berdiri di hadapannya. Namun, beberapa saat berlalu, Brian merasa aneh karena tidak ada bunyi pintu terbuka. Brian pun lantas mendongak dan mendapati Risa tengah menatapnya dengan tatapan cemas. Bahkan terlihat gadis itu menggigit bibir bawahnya guna menutupi rasa panik yang dia rasakan."Ada apa lagi? Masih ada yang ingin kamu katakan?" Terlihat Risa semakin tegang saat kedua netranya bertatapan langsung dengan netra Brian. "Ehm ...." Risa menelan ludah kasar. "Ada yang ingin disampaikan Pak Mark tentang Nona Kyra." Raut datar B
Vio merasa aneh dengan sikap Brian yang setelah pulang dari kantor. Lelaki itu seolah ingin berbicara dengan Vio, tetapi lelaki itu malah bersikap salah tingkah yang membuat Vio bingung.Vio penasaran, tapi karena dia masih marah, dia hanya diam. Dia akan menunggu Brian mengatakan apa maksud sikap anehnya itu. Dia yang sedang memasak makan malam memilih fokus pada masakannya, bersikap seolah tidak ada Brian di sana.Brian merasa gelisah setelah pembicaraan dengan Mark siang tadi. Pikirannya ingin mencabik-cabik tubuh lelaki yang paling dia benci itu, tetapi keselamatan Kyra menahannya. Jika dia gegabah, Brian yakin Mark akan dengan mudah mencelakai anak satu-satunya itu.Mark memperlihatkan video yang membuat darahnya berdesir karena amarah. Anak kesayangannya yang telah hilang berhari-hari ternyata berada di tangan Mark. Dalam video itu, terlihat jika Kyra berada di sebuah ruangan dan tengah menangis tersedu. Brian sangat ingin menghampiri dan memeluknya. Namun apa daya, yang ada di
Mark tersenyum smirk saat melihat wanita yang dia inginkan beberapa waktu yang lalu telah berada di depan matanya. Wanita yang menghantui tiap malamnya dan membuatnya begitu bergairah dan sangat menginginkannya."Apa yang kamu inginkan dariku?!" tanya wanita di depan Mark dengan lantang. Tak ada raut ketakutan di wajahnya. Bahkan wanita itu berani mengangkat wajahnya dan menatap kedua mata Mark dengan sangat berani. Mark merasa begitu tertantang dan bergairah hanya dengan saling bertatapan seperti itu. Bahkan tanpa sadar lelaki itu menjilat bibir bawahnya penuh minat.Wanita itu begitu jijik dengan tatapan yang diberikan padanya, terlebih wajah mesum yang diperlihatkan sang lelaki."Kamu tidak perlu tahu. Kamu sekarang milikku karena Brian telah memberikanmu padaku, sebagai ganti anak kesayangannya."Mark tertawa dengan sangat keras karena merasa telah menang dari Brian. Dia bisa menekan musuhnya itu sekarang dan mendapatkan apa yang lelaki itu miliki."Cuih!" Vio meludah ke arah sampi
"Enyah kamu bedebah!" teriak Vio disertai tamparan pada pipi lelaki di depannya. Vio benar-benar menggunakan seluruh tenaga yang dia punya saat menampar Mark hingga kepala lelaki itu sedikit tertoleh ke arah kanan.Rasa panas dam perih Mark rasakan saat ini. Akan tetapi, ada yang lebih menyakitkan yaitu hatinya. Baru sekali ini ada perempuan yang dengan berani melayangkan tamparan di pipinya. Harga diri lelaki itu seperti dijatuhkan hingga dasar terendah."Jangan berharap kamu bisa menyentuhku, bajingan!" Dada Vio naik turun saat mengatakannya. Wajahnya mengeras dengan gigi yang bergemerutuk. Dia sangat muak jika harus berdekatan dengan lelaki biadab di depannya. "Aku besumpah akan mencabikmu jika kamu berani menyentuhku!" Mendengar ancaman Vio, Mark menaikkan sebelah bibirnya ke atas. Dia lantas menolehkan kembali kepalanya hingga saat ini kedua matanya menatap tajam mata Vio. Dengan gerakan cepat, lengan Mark maju dan menekan leher Vio hingga membuat wanita itu merasa tercekik. Ked
"Mas. Nanti aku mau ke yayasan. Aku harus meyakinkan Sarah untuk mau menjadi saksi. Semua orang harus tahu kebejatan lelaki itu." Vio berjalan lebih cepat, berusaha mengimbangi langkah cepat Brian. Brian memang sudah memiliki cukup bukti untuk menjatuhkan Mark, tetapi jika Sarah mau speak up, pasti akan lebih memberatkan hukuman bagi lelaki itu. "Iya, Sayang. Aku akan terus mencari bukti agar Mark mendapat hukuman mati, minimal seumur hidup. Sudah terlalu banyak kejahatan yang dia perbuat. Selama ini tidak ada yang berani menyenggolnya, tapi saat ini aku bersumpah tidak akan ada orang yang bisa membantunya," tekad Brian.Brian mengenal Mark sebagai orang yang licik. Dia selalu menggunakan kelemahan orang-orang penting agar mendapatkan dukungan. Namun kali ini, Brian tidak akan membiarkan hal itu. Dia telah mengamankan semua bukti yang Mark punya dan kini telah berada di tangannya. "Brian. Papa pengen ngomong sama kamu." Baik Brian maupun Vio sama-sama kaget saat tiba-tiba saja Wija
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten