"Pak. Tuan Mark Sutopo ingin bertemu." Brian mengernyitkan dahi saat Risa menyebut nama seseorang yang paling dia benci."Apa kita ada janji dengannya?" tanya Brian sambil kembali memegang pekerjaannya. Dia memeriksa laporan yang tadi dibawa oleh Risa."Tidak--""Kalau begitu, jangan persilakan dia masuk!" tegas Brian memotong ucapan Risa. Dia sedang tidak ingin diganggu, terlebih oleh seorang Mark.Brian terus menunduk, hingga tak menyadari jika Risa masih berdiri di hadapannya. Namun, beberapa saat berlalu, Brian merasa aneh karena tidak ada bunyi pintu terbuka. Brian pun lantas mendongak dan mendapati Risa tengah menatapnya dengan tatapan cemas. Bahkan terlihat gadis itu menggigit bibir bawahnya guna menutupi rasa panik yang dia rasakan."Ada apa lagi? Masih ada yang ingin kamu katakan?" Terlihat Risa semakin tegang saat kedua netranya bertatapan langsung dengan netra Brian. "Ehm ...." Risa menelan ludah kasar. "Ada yang ingin disampaikan Pak Mark tentang Nona Kyra." Raut datar B
Vio merasa aneh dengan sikap Brian yang setelah pulang dari kantor. Lelaki itu seolah ingin berbicara dengan Vio, tetapi lelaki itu malah bersikap salah tingkah yang membuat Vio bingung.Vio penasaran, tapi karena dia masih marah, dia hanya diam. Dia akan menunggu Brian mengatakan apa maksud sikap anehnya itu. Dia yang sedang memasak makan malam memilih fokus pada masakannya, bersikap seolah tidak ada Brian di sana.Brian merasa gelisah setelah pembicaraan dengan Mark siang tadi. Pikirannya ingin mencabik-cabik tubuh lelaki yang paling dia benci itu, tetapi keselamatan Kyra menahannya. Jika dia gegabah, Brian yakin Mark akan dengan mudah mencelakai anak satu-satunya itu.Mark memperlihatkan video yang membuat darahnya berdesir karena amarah. Anak kesayangannya yang telah hilang berhari-hari ternyata berada di tangan Mark. Dalam video itu, terlihat jika Kyra berada di sebuah ruangan dan tengah menangis tersedu. Brian sangat ingin menghampiri dan memeluknya. Namun apa daya, yang ada di
Mark tersenyum smirk saat melihat wanita yang dia inginkan beberapa waktu yang lalu telah berada di depan matanya. Wanita yang menghantui tiap malamnya dan membuatnya begitu bergairah dan sangat menginginkannya."Apa yang kamu inginkan dariku?!" tanya wanita di depan Mark dengan lantang. Tak ada raut ketakutan di wajahnya. Bahkan wanita itu berani mengangkat wajahnya dan menatap kedua mata Mark dengan sangat berani. Mark merasa begitu tertantang dan bergairah hanya dengan saling bertatapan seperti itu. Bahkan tanpa sadar lelaki itu menjilat bibir bawahnya penuh minat.Wanita itu begitu jijik dengan tatapan yang diberikan padanya, terlebih wajah mesum yang diperlihatkan sang lelaki."Kamu tidak perlu tahu. Kamu sekarang milikku karena Brian telah memberikanmu padaku, sebagai ganti anak kesayangannya."Mark tertawa dengan sangat keras karena merasa telah menang dari Brian. Dia bisa menekan musuhnya itu sekarang dan mendapatkan apa yang lelaki itu miliki."Cuih!" Vio meludah ke arah sampi
"Enyah kamu bedebah!" teriak Vio disertai tamparan pada pipi lelaki di depannya. Vio benar-benar menggunakan seluruh tenaga yang dia punya saat menampar Mark hingga kepala lelaki itu sedikit tertoleh ke arah kanan.Rasa panas dam perih Mark rasakan saat ini. Akan tetapi, ada yang lebih menyakitkan yaitu hatinya. Baru sekali ini ada perempuan yang dengan berani melayangkan tamparan di pipinya. Harga diri lelaki itu seperti dijatuhkan hingga dasar terendah."Jangan berharap kamu bisa menyentuhku, bajingan!" Dada Vio naik turun saat mengatakannya. Wajahnya mengeras dengan gigi yang bergemerutuk. Dia sangat muak jika harus berdekatan dengan lelaki biadab di depannya. "Aku besumpah akan mencabikmu jika kamu berani menyentuhku!" Mendengar ancaman Vio, Mark menaikkan sebelah bibirnya ke atas. Dia lantas menolehkan kembali kepalanya hingga saat ini kedua matanya menatap tajam mata Vio. Dengan gerakan cepat, lengan Mark maju dan menekan leher Vio hingga membuat wanita itu merasa tercekik. Ked
"Mas. Nanti aku mau ke yayasan. Aku harus meyakinkan Sarah untuk mau menjadi saksi. Semua orang harus tahu kebejatan lelaki itu." Vio berjalan lebih cepat, berusaha mengimbangi langkah cepat Brian. Brian memang sudah memiliki cukup bukti untuk menjatuhkan Mark, tetapi jika Sarah mau speak up, pasti akan lebih memberatkan hukuman bagi lelaki itu. "Iya, Sayang. Aku akan terus mencari bukti agar Mark mendapat hukuman mati, minimal seumur hidup. Sudah terlalu banyak kejahatan yang dia perbuat. Selama ini tidak ada yang berani menyenggolnya, tapi saat ini aku bersumpah tidak akan ada orang yang bisa membantunya," tekad Brian.Brian mengenal Mark sebagai orang yang licik. Dia selalu menggunakan kelemahan orang-orang penting agar mendapatkan dukungan. Namun kali ini, Brian tidak akan membiarkan hal itu. Dia telah mengamankan semua bukti yang Mark punya dan kini telah berada di tangannya. "Brian. Papa pengen ngomong sama kamu." Baik Brian maupun Vio sama-sama kaget saat tiba-tiba saja Wija
"Mas Brian! Lihat! Anak kita sudah bisa naik sepeda!" Azzura menyeret Adrian menuju ke arah halaman. Matanya terlihat berbinar dan raut wajahnya pun memperlihatkan kebahagiaan.Adrian tersenyum miris sembari menatap Azzura dari samping. Ada sesak yang dia rasakan melihat wanita yang dia cintai seperti ini. Skizofrenia yang dialami Azzura telah berada di fase yang bisa melukai diri sendiri ataupun orang lain."Kyra! Hati-hati, nak! Nanti kamu jatuh!" Azzura masih melihat ke arah halaman kosong. Halaman yang dilihat Azzura hanyalah halaman kosong. Namun, dalam pikiran wanita itu, ada Kyra yang sedang mengendarai sepeda roda dua. Ingatan saat Kyra berusia lima tahun dan pertama kali bisa mengendarai sepeda roda dua hadiah ulang tahunnya yang kelima.Mungkin sekitar lima belas menit senyum Azzura mengembang, sebelum akhirnya raut wajah wanita itu berubah drastis. Matanya yang tadinya penuh binar kebahagiaan, menjadi tajam penuh kilat kebencian."Jangan ambil anakku!" Azzura berteriak semb
"Pa! Mama ke mana sih? Kenapa Kyra tidak boleh bertemu dengan Mama?" protes Kyra sesaat setelah mendudukkan bokong pada kursi. Keluarga Pradipta saat ini tengah sarapan. Brian duduk di kursi paling ujung, sedang Vio dan Kyra di sisi kanan dan kirinya. Vio melirik Brian untuk mengetahui bagaimana reaksi suaminya saat sang anak kembali bertanya tentang ibunya. Wanita itu merasa sedih sekaligus kasihan saat melihat Brian yang tidak pernah bisa menjawab pertanyaan Kyra tentang Azzura. "Ehm ... kita makan dulu saja, Sayang. Makanannya keburu dingin." Vio berusaha mengalihkan perhatian Kyra. Namun yang dia dapatkan sekarang adalah tatapan mata Kyra yang menyiratkan kebencian yang mendalam. "Kamu nggak usah sok perhatian deh! Kamu itu bukan mama aku! Jadi kamu nggak perlu manggil 'sayang' segala. Jijik tahu nggak sih!" "Kyra!" bentak Brian yang membuat Kyra langsung menoleh ke arah sang ayah. "Papa berani bentak aku?" tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Sudah, Mas. Aku nggak papa
Brian langsung membanting tas saat masuk ke dalam ruangan kerjanya. Akhir-akhir ini semua hal semakin tidak terkendali. Wijaya sudah mulai menghentikan dukungan bisnis pada perusahaannya secara perlahan, dan juga sikap Kyra yang semakin kurang ajar padanya dan juga Vio.Dengan sedikit kasar, Brian mendudukkan bokong pada kursi, tak lupa dia juga memijit kening yang menjadi sebuah refleks jika dirinya sedang banyak pikiran. Belum lagi Azzura yang masih belum diketahui keberadaannya.Mungkin sekitar lima belas menit lelaki itu dalam posisi seperti itu, dan berhenti saat dering nada ponsel mengagetkannya. Matanya memicing saat melihat siapa yang tengah menelepon."Halo! Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus. Brian begitu kesal dengan orang ini karena sudah berbulan-bulan, tetapi pekerjaannya tidak mendapatkan hasil."Jangan galak seperti itu, Bos." "Buat apa lemah lembut terhadap kamu? Mencari satu orang saja tidak becus," maki Brian. Orang yang meneleponnya adalah Vincet, anak b