Brian melihat Vio sebagai Azzura, dia menjadi gelap mata. Percikan gairah timbul saat mencecap manis madu di bibir Vio. Gadis itu tidak bisa melawan, meski sebenarnya dia sangat ingin menendang lelaki itu saat ini. Tapi ini bukan pelecehan. Lelaki itu berhak atasnya.
"Azzura, kenapa kamu sama sekali tidak membalasku, Sayang?" Brian melepas pagutannya. Dia menatap wajah Vio sayu, tangannya mengelus lembut wajah Vio. Tapi, dalam mata Brian itu adalah Azzura, istrinya.
Vio memejam. Jika itu Brian ucapkan untuknya, mungkin Vio bakalan tersentuh dengan semua perlakuan Brian yang sangat manis. Tapi, Vio tahu untuk siapa kata sayang itu.
"Aku bukan Mbak Zura, Mas. Aku Vio," jujur Vio. Dia tidak mau Brian terus menganggapnya sebagai Azzura. Iru sangat tidak adil bagi Brian maupun dirinya.
"Bohong!" Brian menarik tangannya dari Vio. Dia memicing, menatap tajam ke arah wanita itu. "Kamu pasti bohong. Kam
"Damn! Kamu masih perawan! Kamu bukan Azzura!"Vio yang merasakan kesakitan di bagian intinya, lebih terluka saat Brian mengucapkan hal itu. Lelaki itu memang hanya melihat Azzura pada dirinya. Dan bodohnya Vio benar-benar melayang saat Brian memanjakannya.Vio menangis, merasakan perih di inti dan juga hatinya. Brian boleh tidak mencintainya, tetapi jika mencumbunya, setidaknya pandanglah dia sebagai dirinya. Bukan orang lain.Brian benar-benar marah, tetapi rasa nikmat yang dia rasakan membuatnya melupakan amarahnya. Dia kembali membuai Vio dengan gulungan kenikmatan dan kesakitan yang dia berikan bersamaan.Brian terus melanjutkan apa yang sudah dia mulai. Dia tidak bisa memungkiri jika milik Vio benar-benar nikmat. Brian bahkan tidak peduli jika di bawah sana Vio tengah menangis.Brian terus meracau, menyebut nama Azzura di setiap erangannya."Azzura!" pekik Brian saat dia telah mencapai pelepasannya. Lelaki itu ambruk di samping tubuh V
Vio merenung di dalam kamar. Dia menangis, meratapi nasibnya yang tidak karuan. Kesuciannya memang terenggut oleh suaminya sendiri, tetapi tidak dengan cara yang dia impikan, penuh cinta dan juga kelembutan. Semua terjadi karena sang suami melihatnya sebagai wanita lain. Meski itu Azzura, tetapi tetap menyakitkan. Dia merasa dirinya kini sangat kotor, dia hanya sabagai pelampiasan dan ganti atas kepergian Azzura. Tangis Vio terhenti kala mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Wanita itu segera mengusap pipinya yang telah basah oleh air mata. Dia tidak bisa membiarkan orang lain melihat tangisannya. Segera dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintu itu. Saat pintu terbuka, seorang gadis telah berdiri di depan sana dengan muka masam. "Tante Vio kenapa masih di kamar?" Gadis itu berdiri dengan bersedekap. Dia bertanya ketus pada wanita yang selisih 9 tahun lebih tua darinya itu. Dia masih sangat kesal saat mengingat Vio berbincang akrab dengan Adrian.
Kedua orang itu terus menggedor pintu mobil yang Vio dan Kyra tumpangi. Kyra yang telah mencoba menghubungi ayahnya, merasa kecewa karena panggilan darinya tidak kunjung diangkat."Pak lanjut jalan terus saja!" titah Vio pada sopir."Mana bisa, Mbak. Mobil mereka menghadang jalan." Semua orang menjadi panik sekarang. Tidak tahu harus bagaimana."Kalau begitu. Aku keluar dulu. Kalian tetap di dalam." Vio mengambil keputusan. Dia harus tahu apa mau dari kedua orang itu. Karena sama saja mereka akan terjebak di tempat itu. Mana jalanan sepi, tidak ada satu pun mobil yang melintas saat ini."Tapi, Mbak ...." Pak sopir merasa keberatan. Dia tidak mungkin membiarkan wanita yang dibawa majikannya mengalami hal buruk karena saat ini. Azzura pasti akan marah padanya."Bapak jagain Kyra saja. Aku nggak papa keluar dulu." Vio tersenyum, mencoba mengatakan jika tidak akan terjadi apa-apa dengannya. Bagaimana mungkin pak sopir tidak kuatir, Vio seorang wanita d
Aroma obat tercium di hidung Vio. Entah sudah berapa lama wanita itu tidak sadarkan diri, yang jelas saat ini, wanita itu sedang berusaha untuk membuka mata. Bayangan kejadian sebelum dia pingsan, langsung melintas di benaknya."Apa kalian sudah menemukan, Kyra?" terdengar suara bariton yang sangat dikenalnya. Dia terdengar sangat panik, bagaimana tidak jika anak kesayangannya diculik dan belum ditemukan. Vio berusaha untuk bangkit dari posisinya."Bagaimana dengan Kyra?" Vio meringis menahan sakit. Perutnya yang terkena tusukan masih belum pulih benar. Sebelah tangannya menyentuh perutnya sedang sebelahnya lagi dia gunakan untuk menumpukan tubuhnya.Brian yang mendengar suara lemah Vio, segera saja menghampiri wanita itu. Dia mematikan panggilan teleponnya .Meski sangat membencinya, tetapi dia sakit karena berusaha melindungi anaknya."Kamu jangan banyak bergerak!" Kini tangannya berusaha menopang tubuh Vio agar tidak ambruk. Sikap lelaki itu sudah tidak
Brian kembali ke rumah sakit. Meski dia tidak menyukai Vio, tetapi masih tersisa nurani di hati Brian untuk wanita itu. Bagaimanapun dia terluka karena menolong anaknya. Tidak mungkin dia mengabaikannya begitu saja."Kamu dari mana, Mas?" tanya Vio sesaat setelah melihat Brian masuk ke dalam kamar inapnya. Brian tadi meminta izin untuk menelepon dan hingga beberapa jam baru kembali. Saat Vio bertanya pada perawat katanya dia pergi dan menitipkan Vio padanya."Ada urusan," jawab Brian singkat. Dia tidak perlu memberitahukan semuanya pada Vio. Baginya, wanita itu bukan siapa-siapa."Soal Kyra?" Vio berharap dia mendapat berita baik tentang anak sambungnya itu. Dia sungguh khawatir. Orang-orang jahat itu bisa melukainya, tentu mereka juga bisa melukai Kyra. Bagaimana jika organ dalam bocah itu dijual? Vio bergidik ngeri kala membayangkannya."Iya," jawab Brian singkat."Udah ketemu?""Belum."Vio menghela napas panjang. "Aku harap
Brian tidak menyangka jika ibunya akan datang dengan mendadak. Dan kini dia harus melihat saat Brian berdua bersama dengan Vio. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, bahkan keringat dingin lolos begitu saja di pori-pori kulitnya. Apa yang harus dia katakan kini?"Mama ...," ucapnya tertahan di tenggorokan. Bahkan saat ini dia kesulitan untuk menelan ludahnya. Vio pun sama, dia tampak sangat ketakutan ketika tatapan tajam wanita paruh baya itu menusuk hingga ke jantungnya."Brian. Jelaskan pada Mama tentang semua ini." Amalia--ibu Brian-- merasa ada yang janggal dengan kedekatan Brian dengan gadis muda itu. Ini pertama kalinya Amalia bertemu dengan Vio, gadis cantik yang lebih terlihat seperti bule ketimbang orang pribumi.Akhirnya, kini ketiga orang itu tengah berada di ruang tamu. Mereka terdiam cukup lama. Vio sedari tadi hanya bisa menunduk tanpa bisa mengangkat wajahnya. Dia merasa takut dan juga malu. Apa yang akan dinilai orang lain tentang hubungan m
Brian membaringkan ibunya di ranjang miliknya. Dia segera memanggil dokter keluarga. Dia khawatir dengan yang terjadi dengan sang ibu. Semua hal yang dia katakan hari ini, Brian yakin sangat mempengaruhi ibunya."Apa tidak sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja, Mas?" Vio menatap khawatir ke arah ibu mertuanya itu. Tiga kejutan besar yang pastinya membuat jantung mertuanya tidak baik-baik saja. Dia pun pasti akan mengalami hal yang sama jika dalam sehari dapat kejutan bertubi-tubi.Brian mendesah berat. Dia bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Seolah dia tidak bisa berpikir dengan baik. "Kita tunggu dokter dulu. Mungkin sebentar lagi dokter akan datang." Lelaki berusia tida puluh lima tahun itu segera duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya. Dia tidak tega melihat ibunya dalam keadaan seperti itu.Tepat apa yang dikatakan oleh Brian, dokter datang tidak lama setelahnya. Brian segera beranjak, memberi tempat pada dokter untuk memeriksa ibunya.
Tidak mau mendengar omongan Amalia yang menyakitkan hati, Vio meninggalkan kediaman Brian. Dia kembali ke tempat di mana Kyra diculik. Dengan naik taksi, kini gadis bermata abu itu telah berada di sana. Vio mengamati sekeliling, siapa tahu ada CCTV di sana.Vio mendesah kecewa. Apa yang dia cari sama sekali tidak ada. Dia lantas menuju ke tempat di mana mobil yang penculik gunakan ditinggal. Tiba di pinggiran sungai, mata Vio kembali menyelidik. Dia berjalan mendekat ke arah mobil yang telah berdebu itu. Dia sangat yakin jika mobil itu yang membawa Kyra. Vio bahkan menghafal plat nomornya meski itu plat palsu.Sudah ada garis polisi di sana. Brian memang telah melaporkan hal ini ke pihak kepolisian. Tentu saja dia sangat panik karena anaknya diculik."Apa yang kamu lakukan di tempat ini?" Sebuah suara mengagetkan Vio yang tengah berkonsentrasi."Mas Brian!" pekik Vio kaget. Dia merasa aneh kenapa Brian juga berada di tempat ini? "Kenapa Mas Brian ada di s