"Wow, belum ada 24 jam aku mempekerjakan gadis itu, kalian sudah berada disini. Kalian punya informan yang cukup baik." Ucap Darren begitu membuka pintu ruangan kerjanya usai meeting dengan salah satu rekan bisnisnya.
Daffa dan Rendy yang sudah duduk di sofa ruangan Darren sejak tadi seketika berdiri melihat Darren memasuki ruangan dan dengan santai duduk di kursi kebesarannya.
"Kalian mau minum apa?" tawar Darren.
"Apa yang kau lakukan Darren?" protes Daffa.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian berdua lakukan disini?"
Rendy menghela napas mendekati Darren. "Apa maksudmu?"
"Apa?"
"Kau mempekerjakan Mikaela menjadi sekretarismu."
"Ayolah Rendy, aku hanya memberi dia pekerjaan, apa itu salah?"
"Tapi kenapa harus dia?"
"Tidak tahu, mungkin kami berjodoh." Darren mengangkat bahunya sambil menyeringai membolak balik dokumen yang sudah menumpuk di meja kerjanya sejak kemarin. "Apa kalian tidak merindukannya? Sudah tujuh tahun bukan kalian tidak bertemu dengannya?"
"Apa tujuanmu sebenarnya Darren?" Tanya Daffa yang akhirnya ikut mendekati Darren.
"Kau terlalu berpikiran buruk padaku Daff, bukankah kita saudara kembar? Kau tau? Tidak baik mencurigai saudaramu sendiri."
"Justru karena aku saudaramu."
Darren tidak peduli apa yang dikatakan Daffa, Ia lebih memilih bangkit dari kursinya dan mendekati lemari besar di sebelahnya untuk mengambil beberapa dokumen yang ia butuhkan.
"Lagipula kau ini pengantin baru, seharusnya kau pergi berbulan madu bersama istrimu bukan pergi kesini dan menanyakan hal kecil yang tidak penting. Atau kau rindu padanya?"
"Dimana Mikaela?"
"Aku akan mengirimkan dua tiket pesawat untukmu berbulan madu ke Thailand, pakailah villaku yang ada disana, aku harap kalian bersenang-senang dan memberikanku seorang keponakan."
"Dimana dia Darren?"
"Yang lucu."
Darren kembali duduk di kursinya.
Pintu ruangan Darren terbuka tiba-tiba. "Selamat siang pak, saya membawanya kesini."
Darren melirik sekilas ke arah pintu. Disana sekretarisnya, Lina sudah berdiri menatapnya dengan seorang gadis yang sejak tadi diributkan oleh kedua pria di ruangannya.
"Kau lupa peraturan di kantor ini Lina, kau lupa mengetuk pintunya, ini peringatan terakhir untukmu." Geram Darren. Ia menatap Mikaela yang wajahnya terlihat syok melihat Daffa dan Rendy sedang berada di ruangan itu.
"Maafkan saya pak, tadi.."
"Keluar sekarang."
Lina buru-buru keluar ruangan. Merasa bosnya tengah marah walau dengan nada yang sangat tenang mengusirnya, justru karena ketenangan bosnya itu yang membuat bulu kuduk Lina meremang, itulah hal yang menakutkan dari Darren.
Mikaela ikut membuntuti Lina untuk keluar ruangan sebelum suara Darren menghentikannya.
"Kau tetap disini."
Gadis itu mematung di tempat, dia melihat tangan Lina terkepal menyemangatinya lalu menutup pintu dengan sangat pelan.
Mikaela kembali berbalik arah sambil terus menunduk, tidak berani untuk menatap Daffa, Rendy maupun Darren. Ia bingung karena dirinya sama sekali belum memberitahukan Daffa ataupun Rendy bahwa ia sudah bekerja, parahnya lagi di perusahaan Darren.
"Mikaela." Panggil Daffa pelan. "Kenapa--"
"Kalian berdua keluar." Perintah Darren tiba-tiba.
Rendy menatap Darren terlihat ingin protes. Yang ditatap hanya melihat arloji ditangannya.
"Ini jam kerja, dia harus bekerja, karena aku menggajinya bukan untuk nostalgia, jika kalian berdua ingin reuni, sebaiknya tunggu sampai dia selesai bekerja."
Keduanya hanya menghela napas ketika Darren berjalan membukakan pintu untuk mengusir mereka secara halus. Daffa tahu, memang saat ini adalah jam kerja, daripada berdebat dengan Darren si keras kepala, Daffa memilih menepuk bahu Rendy dan mengiyakan apa yang dikatakan Darren.
"Aku tidak percaya kau melakukan ini padaku." ucap Rendy pasrah melewati Darren untuk keluar dari ruangan itu.
"Dan pemilik separuh perusahaan ini." timpal Daffa di belakang Rendy.
Darren hanya tersenyum menanggapi ucapan keduanya.
"Aku dan Rendy akan menunggumu dibawah." ujar Daffa sebelum Darren benar-benar menutup pintunya.
Mikaela tidak mengatakan sepatah katapun. Ia hanya bisa menunduk sambil mengaitkan kedua jari telunjuknya ketika mendengar suara pintu yang tertutup kembali.
Di ruangan ini, hanya berdua. Dia dengan Darren. Memikirkan itu saja membuatnya gugup setengah mati.
"Kemarilah." Darren memanggil Mikaela untuk mendekat ke arahnya yang sudah duduk di sofa sambil menyesap sampanyenya sementara Mikaela melamun.
Dengan ragu Mikaela mendekati Darren perlahan. "A..ada apa pak?" tanyanya canggung. Kalimat sekaligus pertanyaan pertama yang dilontarkan Mikaela setelah sekian lama. Seharusnya Mikaela memeluknya sambil mengatakan jika Mikaela merindukan Darren.
"Sejak dulu kau memiliki banyak pahlawan. Itu membuatku muak." Darren menggoyangkan gelasnya sambil mendongak menatap Mikaela.
Mikaela hanya terdiam, masih tanpa menatap Darren yang sudah bangkit dan berjalan ke arahnya. Darren berhenti tepat di depannya.
"Siapa namamu?"
"Mika..ela."
"Ah, ya itu, mulutku tidak sanggup untuk mengucapkan nama itu lagi."
Dada Mikaela terasa sesak mendengar Darren.
"Kau terlihat kotor sekali, coba ceritakan padaku, apa yang sudah terjadi, kenapa kau bisa berada di Paris huh?" Darren berjalan menjauhi Mikaela, mendekat ke jendela kaca yang menampakan pemandangan kota yang super sibuk.
Mikaela masih bertahan di posisinya, mendengar kata 'kotor' sudah benar-benar menguncangnya.
"Aku dengar ayahmu bangkrut, Darimana kau mendapat uang untuk pergi dan melanjutkan studimu ke Paris?"
"......"
"Apa kau menjual dirimu?"
"......"
Darren tertawa, kemudian menghisap sampanyenya lagi.
"Aku sangat yakin kau menjual dirimu. Berapa hargamu?"
"....."
"Aku akan membayar dua kali lipat untuk tidur denganmu." Darren kembali mendekati Mikaela, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Tangan sebelahnya masih memegang gelas kaca.
Dada Mikaela bergemuruh hebat, bagaimana bisa Darren mengatakan hal sekeji itu padanya. Tangannya mengepal ingin menangis rasanya, tapi ia tahan sekuat tenaga, ia tidak ingin menangis di depan Darren. Sungguh sangat tidak ingin.
"Tapi aku berfikir, pasti hargamu murah ya? Karena..yah.. kau terlihat..." Darren memperhatikan Mikaela dari bawah hingga atas. "Sangat tidak terurus."
"....."
"Aku memakluminya, setelah kau ditinggal ayahmu dan jatuh miskin, pasti kau tidak bisa membiayai perawatanmu."
"....."
Darren kembali meminum sampanyenya sampai habis lalu meletakkan gelas yang ia pegang ke meja dan kembali menatap Mikaela, kedua tanggannya sudah ia masukkan ke kantung celananya. Benar-benar kebiasaan yang tidak bisa Darren hilangkan sejak dulu.
"Berapa uang yang kau butuhkan, katakan saja."
"....."
"Aku akan membayar berapapun asal kau mau menjadi pelacurku, sebelum menikah rasanya aku ingin sedikit bermain-main dengan gadis murahan."
Mikaela menelan ludahnya berat, sebelum membuka mata dan menatap Darren tepat dimatanya.
"Maaf pak, ini jam kerja. Saya harus bekerja, karena anda menggaji saya bukan untuk nostalgia, jika anda ingin reuni tentang masa lalu saya, sebaiknya tunggu sampai saya selesai bekerja."
Setelah mengucapkan hal itu, tanpa menunggu balasan dari Darren, Mikaela keluar meninggalkan ruangan itu. Hatinya sudah tidak sanggup mendengar penghinaan yang Darren ucapkan padanya.
Mikaela mengusap air matanya begitu sampai ke toilet. Sakit. Hanya itu yang dapat ia rasakan sekarang. Ia mengambil tisu toilet sebanyak mungkin untuk membersihkan sisa butiran-butiran air yang mengalir dipipinya. Ia tidak ingin siapapun melihatnya menangis kecuali dua orang wanita yang baru saja memasuki toilet. Memandangnya dengan tatapan penasaran. Ia akan kembali pada Lina untuk mempelajari apa saja yang harus ia kerjakan nantinya jika Lina sudah keluar dari perusahaan ini.
Mikaela tidak dapat bertemu Tiwi, karena Tiwi bekerja dilantai yang berbeda dengan divisi yang berbeda. Padahal Mikaela ingin sekali pergi menemuinya dan menceritakan apa yang terjadi. Dan satu lagi yang membuatnya sakit kepala. Ia berhutang penjelasan kepada Daffa dan Rendy tentang bagaimana bisa ia bekerja di perusahaan Darren.
.
Waktu istirahat sudah tiba. Mikaela memutuskan untuk pergi menemui Tiwi sebelum pergi ke kantin untuk makan siang. Tiwi mengajaknya makan di cafe kecil tempat mereka bertemu kemarin.
Ponsel Mikaela berdering, telpon masuk dari Rendy. Ia sampai lupa jika Daffa dan Rendy sedang menunggunya, karena tadi Mikaela sangat sibuk mengerjakan laporan pertamanya, yang sangat ingin ia kerjakan dengan sempurna.
Setelah berbicara sedikit pada Rendy, Mikaela menutup kembali ponselnya.
"Siapa?" Tanya Tiwi penasaran mendengar pembicaraan Mikaela.
"Kak Rendy."
"Ada apa?"
"Dia sedang menungguku disini."
"What? Dia disini?"
"Ya, dengan kak Daffa."
"Kau benar-benar beruntung Mikaela, kau punya dua malaikat yang akan menyelesaikan masalahmu."
Mikaela memutar bola matanya malas. "Mereka adalah masalahku sekarang."
"Bukankah kau yang memberitahu mereka kalau kau sedang ada disini."
"Aku sama sekali belum memberitahu mereka."
"Jadi, siapa yang memberitahu mereka?"
"Mungkin Bi Salma."
Mikaela dan Tiwi berjalan sedikit cepat ke arah lobi gedung, Daffa dan Rendy sudah menunggu Mikaela disana.
"Hai kak Daffa, kak Rendy, apa kalian baik-baik saja?" Sapa Tiwi begitu melihat sosok Daffa dan Rendy yang berdiri memunggungi mereka.
Mendengar suara cempreng yang sedikit familiar itu membuat keduanya berbalik.
"Hei Tiwi, aku baik, bagaimana kabarmu?" jawab Daffa dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama.
"Bagaimana kalau kita berbicara di tempat lain. Aku sudah tidak sabar mendengar alasan seseorang." sindir Rendy.
"Makanan di cafe samping kantor ini cukup enak, walaupun tempatnya sederhana, tapi aku yakin kalian tidak akan sakit perut ataupun keracunan jika memakannya." ajak Tiwi.
Daffa tersenyum mengiyakan diikuti Rendy. Mereka tidak memerlukan kendaraan untuk sampai ke cafe itu.
Mereka memilih duduk di kursi bagian dalam yang sedikit tersembunyi, karena ingin mendapatkan privasi.
"Lumayan juga." Komen Rendy memperhatikan interior cafe yang banyak diisi oleh orang-orang dari kantor Darren.
Pelayan datang menghampiri mereka untuk mencatat pesanan. Daffa dan Rendy hanya memesan kopi hitam dan beberapa cake yang ditawarkan oleh sang pelayan, sedangkan Mikaela dan Tiwi memesan jus dan lunchbox andalan para karyawan kantor.
Setelah mencatat pesanan mereka pelayan wanita yang tersenyum memperhatikan Rendy itu akhirnya pergi dari hadapan mereka.
"Jadi, jelaskan padaku. Dan apa yang dia katakan padamu di dalam tadi?" tuntut Rendy setelahnya.
"Ceritanya panjang kak. Dia hanya memberitahu apa saja tugasku." bohong Mikaela.
"Aku memiliki banyak waktu untuk mendengarkan Mikaela." Daffa meletakkan tangannya di atas meja dan menatap Mikaela lekat.
Mikaela semakin salah tingkah ketika kedua pria dihadapannya menatap ke arahnya dengan pandangan siap akan meledak.
"Jangan marah padaku kak, aku tidak tau kenapa aku bisa bekerja dengannya, karena aku pikir pada awalnya aku bekerja dan melamar di perusahaan Mr. Leo, tetapi ternyata dia membawaku kesini, aku tidak tau kalau aku harus bekerja di perusahaan kak Darren." Mikaela mengatakan itu dengan sekali tarikan nafas.
"Mr. Leo?" Rendy memastikan.
"Kau mengenalnya?" tanya Daffa.
"Tentu saja, aku pernah bertemu dengannya dua kali." jawab Rendy. "Dia yang mengantarkanmu?"
Mikaela mengangguk. Ia memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Rendy dan Daffa.
Setelah mendengarnya, Rendy tampak berpikir. Begitupun Daffa.
"Keluarlah dari sana." Gumam Daffa menatap kosong ke arah air mineral di atas meja. "Aku yang akan membayar ganti rugi atas kontrakmu."
"Tidak kak." Mikaela menggeleng. "Aku sudah mengatakan aku tidak mau menerima apapun lagi darimu."
Mikaela lalu mengalihkan tatapannya ke Rendy. "Dan juga darimu kak."
"Tapi, kau bekerja dengan Darren, Mikaela, ini Darren." Daffa tetap berkeras hati memaksa Mikaela.
"Dia akan menggajiku dua kali lipat kak."
"Bekerjalah di perusahaanku, aku akan menggajimu lima kali lipat." tawar Rendy.
"Aku saja kalau begitu." timpal Tiwi cepat.
Rendy memelototinya, memberi kode supaya Tiwi diam karena mereka sedang membicarakan hal yang penting. Tiwi hanya bisa mencebik.
"Aku akan menghadapinya kak, kalian jangan berlebihan seakan-akan dia akan membunuhku, bagaimanapun kami pernah menjadi teman dekat dulu. Aku yakin aku akan baik-baik saja." ucap Mikaela tersenyum.
"Kau akan baik-baik saja Mikaela, tapi hatimu? Apa kau yakin akan baik-baik saja?"
"Kak Daffa, kau tau bukan bahwa aku bukan gadis lemah? Aku pernah terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam, dan aku bisa menghadapinya. Sekarang aku punya kalian, aku merasa lebih baik, aku pasti baik-baik saja."
"Baiklah, tetapi jika terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan tinggal diam." tukas Rendy.
"Kau benar-benar kakak yang baik. Tapi kau jangan berpikiran buruk, aku hanya bekerja kak. Dan aku lapar, ayo makan." Ajak Mikaela melihat makanan yang sudah dihidangkan di atas meja.
"Firasatku buruk.." gumam Daffa yang hanya dapat di dengar oleh Rendy karena Mikaela sudah asik mengobrol dengan Tiwi.
"Kau yakin tidak akan terjadi apapun?" Tanya Daffa pada Rendy setelah Mikaela dan Tiwi meninggalkan mereka."Aku tidak yakin, kau paling tau karakter Darren, dia pasti merencanakan sesuatu.""Hmm, kalau begitu apa yang harus kita lakukan?""Aku sudah memikirkan ini sejak tadi, sebaiknya kau pulang saja Daff, kau tau kan bagaimana istrimu?" Rendy menyilangkan tangan ke dadanya dan menatap Daffa serius. "Aku akan membeli apertemen disini, sekaligus untuk mengawasi proyek pembangunan gedung baru kita.""Apa kau yakin?""Tentu saja, serahkan padaku, sesekali datanglah kalau kau khawatir.""Aku pasti akan datang, kau tidak ingat kalau ak
Mikaela berjalan dengan tumpukan kertas ditangannya, ia harus mengkopi semua kertas-kertas itu ditengah jam kerja, tumpukan kertas yang merupakan pekerjaannya dan pekerjaan karyawan lain yang sudah merasa senior dan dengan seenaknya menyuruh-nyuruh Mikaela. Tidak heran, Mikaela sudah tahu beberapa karyawan memandangnya dengan tatapan tidak suka.Ia menghela napas berkali-kali dalam lift untuk turun ke lobi, di bawah berjejer mesin potokopi pada pojok sebelah kiri dekat pintu masuk. Seharusnya kantor itu meletakkan satu atau dua mesin potokopi di setiap lantai dan tidak mengumpulkannya dalam satu lantai seperti ini, hal itu lebih efisien dan untuk menghemat waktu karyawan agar tidak naik turun ruangan. Nanti Mikaela akan memprotesnya pada Darren. Ya, jika ia berani.Mikaela tertawa miris dalam hati, untuk menyapa Darren saja ia tidak ber
Darren membenarkan kancing lengan kemejanya dan segera memakai jas hitam yang ia sampirkan asal di sofa ruang kerjanya. Hari ini, ia ada janji untuk makan siang dengan rekan bisnis dan sekaligus membicarakan tentang kerja sama di antara mereka.Baru saja Darren akan melangkah pergi, ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk. Ia segera membacanya.Wajahnya mengeras melihat pesan yang ternyata adalah dari detektif yang ia bayar untuk menyelidiki Mikaela sewaktu ia berada di Paris beberapa hari yang lalu. Orang suruhannya itu mengatakan, bahwa ia sudah mendapat informasi penting dan sedang menuju kantor Darren.Selain untuk berbisnis dengan Leo, Darren juga penasaran kenapa Mikaela dapat pergi dan tinggal di Paris dengan kebangkrutannya tanpa Darren ketahui, padahal dulu Rendy sudah
"Kau tau apa yang terjadi kemarin kak? Pak Darren melempar ponselnya tepat di samping Mikaela hingga Ponsel itu hancur." seru Tiwi ketika ia dan Mikaela baru saja duduk di Dream cafe bersama Rendy."Benarkah?""Ya, Beruntung, ponsel itu tidak mengenai Mikaela, dia terlihat sangat marah."Wajah Rendy tampak mengeras."Aku sudah menduganya dia akan melakukan sesuatu padamu." Rendy beralih memandang Mikaela tajam setelah mendengar cerita Tiwi."Dia marah karena aku dan Tiwi bergosip sambil memakan coklat, itu wajar karena kami memang bersalah kak." aku Mikaela."Tapi kau akan terluka jika ponsel itu mengenaimu?" terli
"Astaga, Mikaela, ada apa dengan bibirmu?" tanya Salma begitu ia membukakan pintu untuk Mikaela.Mikaela mengerutkan keningnya, ia buru-buru mencari cermin kecil yang selalu ia bawa dalam tasnya, dan ternyata benar, bibir bawahnya pecah, sedikit lebam berwarna merah biru seperti luka gigitan. Terlalu banyak yang ia pikirkan hingga membuatnya tidak sadar Darren menciumnya terlalu kuat."Aku baru tahu bi, tadi sewaktu aku mengunyah makananku, tidak sengaja bibirku tergigit.""Kau terburu-buru sehingga tidak berhati-hati.""Ya bi, tapi tidak apa, ini tidak sakit sama sekali." Mikaela tersenyum memasukkan kembali cerminnya ke dalam tas. "Bibi masak apa hari ini? Aku lapar." lanjut Mikaela mengalihkan pembicaraan takut Salma akan lebih ban
Darren sedang mengerjakan beberapa paper work di laptopnya, ia memilih untuk mengerjakannya di apertemen daripada harus lembur di kantornya seperti biasa. Sekelebat bayangan air mata Mikaela terus berputar di otaknya, ia merasa marah sekaligus kasihan kepada gadis itu. Gadis yang dulu pernah menjadi orang terdekatnya. Gadis yang membuat hubungannya dengan Daffa semakin merenggang. Gadis yang sudah menghancurkan sebagian hatinya.Darren harus berulang kali memejamkan mata untuk melupakan kenangan buruk itu. Jika ia tidak datang ke kantor Leo, ia pasti sudah benar-benar melupakan Mikaela dan dendamnya karena sekarang ia telah memiliki Caroline. Tetapi Tuhan berkehendak lain dengan mempertemukan mereka kembali, seakan-akan memberi kesempatan untuknya, setelah dulu ia berusaha sekuat tenaga mencari gadis itu dan baru sekarang ia menemukannya. Ia harus membuat gadis itu benar-benar t
Kemacetan sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di kota Jakarta. Bunyi klakson bersahutan dimana-mana. Berharap pada sedikit celah jalan untuk sebuah kendaraan bergerak maju. Darren memijat pelipisnya, karena sudah satu jam lebih ia terjebak macet.Supir ayahnya menjemputnya di bandara tepat ketika ia sampai, tapi apa mau dikata, seharusnya ia tidak heran lagi dengan jalanan macet ini walaupun lebih dari setengah usianya ia habiskan di negeri orang.Darren menyenderkan punggung lelahnya, melihat ke arah luar yang hanya dipenuhi mobil di sebelah kanan dan kiri. Ia menyilangkan tangan ke depan dada dan memilih memejamkan mata.Karena tidak dapat tidur juga, ia membuka matanya kembali, mencari ponsel yang ada di dalam saku, dan menghubungi seseorang.
Satu Minggu sudah berlalu sejak Darren pergi ke Indonesia, tadi malam ia sudah sampai kembali ke apertemennya, dan mendapati Caroline menunggunya hingga tertidur di sofa.Hari ini, pagi-pagi sekali Darren harus datang ke kantornya untuk mengejar beberapa pekerjaannya yang terbengkalai. Ia terpaksa meninggalkan Caroline di apertemennya yang masih tertidur.Kaki panjang Darren yang sempat melangkah lebar-lebar ke arah ruangannya terhenti ketika melihat Mikaela sedang membereskan berkas-berkas yang ada di atas mejanya sambil bersenda gurau dengan Anna. Ini masih sangat pagi untuk merusak mood Darren. Kenapa gadis itu pagi-pagi sudah ada di kantornya?Pemandangan yang sangat tidak mengenakkan bagi Darren, melihat gadis itu tertawa lepas, sangat mengganggunya.
"Yang mana yang akan kau kenalkan padaku kak?"Dia bertanya padaku dengan wajah berbinarnya, membuat hatiku terasa sakit.Huh. Aku benar-benar merasa kasihan pada diriku sendiri. Aku tertawa padanya dan juga tertawa pada diriku sendiri.Menertawakan kebodohanku.Bagaimana bisa aku masih mencintainya hingga saat ini?
"Selamat atas pernikahanmu kak."Itu ucapan darinya saat mendengar kabar pernikahanku. Ucapan dari cinta pertamaku Mikaela.Aku termenung menatap hamparan pemandangan kota disepinya malam.Baru saja pesta pernikahanku usai dan menyisakan perasaan yang bercampur aduk didalam hatiku.Aku memutuskan untuk minum-minum dengan mengajak sahabatku, Rendy. Tapi ia justru meninggalkanku sendiri.
"Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Aku menutup ponselku begitu mengatakan hal yang akan benar-benar aku lakukan pada tunanganku itu jika ia tidak mendengarkan ucapanku.Mikaela Cindy. Gadis yang ntah sejak kapan membuatku gila.She driving me crazy.
Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Begitulah kira-kira ucapannya sebelum mematikan ponsel, menutup panggilan secara sepihak.Tunanganku yang sangat posesif dan egois. Dia Darren Revano Abrata.Sebulan yang lalu kami resmi bertunangan. Tentu saja kisahku tidak mudah seperti yang kalian bayangkan. Penuh air mata dan pengorbanan. Aku
"Aku tidak bisa menjemputnya, aku sedang membantu bi Salma menyiapkan pesanan, kau tahu ini project besar pertamanya dan supir ada bersama kami untuk membantu keperluan lain-lain, jadi hari ini kau yang menjemputnya ya?""Aku ada meeting siang ini.""Darrenku sayang, uangmu sudah sangat banyak, bisa kau batalkan saja meetingmu itu demi anakmu?"
Dering jam waker berbunyi nyaring memecah keheningan gelap suatu ruangan yang didominasi warna hitam dan putih.Mikaela menyingkirkan tangan besar yang menindih tubuhnya secara perlahan, dia bangkit dari ranjangnya sambil merentangkan satu tangan dan menguap, punggung tangan yang lain menutup mulutnya yang terbuka.Mikaela mematikan alarm jam tersebut, kemudian menengok buah hatinya yang sedang terlelap sambil tersenyum.
Ema menata perabot-perabot rumah tangga yang terkumpul acak dan menumpuk di salah satu ruangan yang lebar, itu adalah ruang tengah rumah baru Darren. Ia baru saja membeli rumah mewah tak jauh dari apertemennya yang dulu.Berkat usaha, dan kerjasamanya dengan Sandjaya, seseorang yang sudah tidak diragukan lagi dalam dunia bisnis. Kini bisnis Darren menjadi berkembang pesat dan perusahaan Sandjaya terselamatkan dari kebangkrutan juga berkat dirinya.Sungguh kerjasama yang menguntungkan.Dibantu be
"Apa?" Caroline terkejut setelah mendengar berita yang baru saja Daffa sampaikan.Mikaela dan Rendy kecelakaan? Bagaimana mungkin? Baru saja rencana mereka akan terwujud. Tapi....Caroline mengumpat dalam hati. Ia berpikir keras, memutar otaknya."Cepat tolong mereka."gusar Daffa tidak sabar di seberang.
Darren ingat ketika pertama kalinya ia mengatakan dengan jelas jika ia merindukan Mikaela...Setelahnya ia akan kembali ketus kepada gadis itu, bukan karena apa, tetapi karena Darren malu ia harus mengakui jika ia merindukan Mikaela.Ia ingat ketika pertama kali Daffa mengatakan apa yang membuatnya mencintai Mikaela...Dan secara terang-terangan Darren menantangnya, ia juga ingin memiliki Mikaela sama seperti Daffa.