Setelah belasan jam lamanya perjalanan, antara sadar dan jetlag Mikaela akhirnya tau dimana dia menginjakan kakinya sekarang. Ia berdiri di tempat yang paling ingin ia hindari.
Bagai kutukan, seharusnya ia bertanya dahulu sebelumnya dimana ia akan bekerja. Karena terlanjur tergiur dengan fasilitas dan gaji yang dijanjikan oleh Leo, dengan gegabah Mikaela menandatangani kontrak kerja selama setahun.
Dan disinilah dia sekarang. Berdiri di gedung megah D.E Corp. Mikaela tahu benar gedung ini adalah milik ayah Darren yang sekarang sudah diambil alih oleh putranya itu.
Ingin rasanya Mikaela lari dari tempat itu, tetapi langkah kakinya memberat ketika ingat bahwa ia sudah terlambat untuk melarikan diri. Bi Salma sudah diantar ke apertemen barunya yang sudah disiapkan oleh Leo, sedangkan Mikaela langsung dibawa ke tempat dimana ia akan bekerja selama setahun nanti.
Yang membuatnya sedikit lega adalah, setidaknya dia akan bekerja di tempat yang sama dengan salah satu sahabat lamanya, Tiwi. Walaupun Tiwi belum mengetahui kalau Mikaela akan bekerja ditempatnya, karena Mikaela merahasiakan hal itu dari semua orang yang penting untuknya.
Mikaela memutuskan tidak memberi tahu siapapun sebelum dia benar-benar resmi bekerja, karena rencananya ia akan memberikan kejutan setelah bekerja di perusahaan besar kepada orang-orang terdekatnya kecuali Bi Salma yang memang menjadi orang pertama yang mendengar bahwa Mikaela sudah diterima bekerja, tetapi yang terkejut sekarang adalah dirinya sendiri.
Kaki Mikaela gemetar ketika Leo membawanya untuk menemui seseorang yang menempati jabatan tertinggi di gedung itu. Seperti menunggu detik-detik hukuman mati, Mikaela tahu siapa yang akan dia hadapi sebentar lagi. Darren.
Bagaimana bisa nasib kembali membawanya kepada pria itu. Pria yang hingga saat ini masih selalu memenuhi pikiran Mikaela. Memenuhi tiap sudut hatinya, tiap hembus napasnya dan tiap doanya.
"Kau terlihat sangat gugup." ucap Leo ketika mereka memasuki lift untuk menuju ke lantai atas, tepatnya lantai dimana mungkin jantung Mikaela akan berhenti berdetak.
"Sedikit."
"Apa kau sakit? Wajahmu pucat."
"Aku baik-baik saja Mr. Leo."
"Baiklah kalau begitu."
Lift yang membawa mereka berhenti, Mikaela menelan ludah ketika Leo mempersilakannya keluar terlebih dahulu. Mereka disambut oleh seorang wanita sexy yang sangat cantik.
Mata nakal Leo terlihat menjelajah ke tubuh wanita itu dan Mikaela tau, dia hanya berdecak sambil mengurusi ketegangannya sendiri saat wanita itu membawanya dan Leo ke satu-satunya ruangan yang ada dilantai itu.
Aura dingin sudah terasa di kulit Mikaela, benar-benar seperti akan menerima hukuman gantung. Padahal Mikaela hanya akan bekerja selama setahun saja, ya itu harapan Mikaela.
Wanita itu mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam, sedangkan Leo dan Mikaela masih menunggu diluar ruangan.
Begitu wanita itu kembali dan mempersilakan Leo masuk Mikaela mematung ditempat. Benar-benar rasanya Mikaela ingin menghilang saat itu juga.
Mereka masuk ke dalam ruangan yang terasa amat dingin bagi Mikaela. Bahkan Ia tidak ingin menegakan kepala sekedar untuk menatap sekelilingnya, udara disekitar sudah cukup mencekiknya. Mikaela dapat merasakan tatapan tajam dari pemilik mata paling tajam di dunia ini; menurutnya. Mata hitam pekat milik Darren. Mata yang paling ia rindukan sekaligus ia takuti.
"Hi Mr. Darren, How are you?" Tanya Leo berbasa-basi.
Mendengar nama Darren, tubuh Mikaela menegang, tidak dapat bergerak lagi, bibirnya terasa kelu, untuk menggerakkan bola matanya saja sangat susah.
Beberapa detik berlalu, tidak ada balasan dari orang yang ditanya semakin membuat Mikaela merasa tidak nyaman.
"Aku sudah membawakan orang pilihanku, dialah yang terbaik dari yang paling baik." Leo mulai berakting.
"Siapa gadis ini?"
Suara berat Darren membuat kerinduan Mikaela meluap, dia benar-benar merindukan pria itu. Tapi mungkin Darren sudah tidak mengenalinya lagi, bahkan Darren saja bertanya siapa dia, atau mungkin Darren Belum melihat wajah Mikaela yang sedari tadi hanya memandangi karpet yang ia injak?
"Dialah yang akan menjadi sekretarismu." jawab Leo, tanpa dipersilakan, dia sudah duduk dengan manisnya di sofa ruangan itu. Sedangkan Mikaela tetap berdiri tegak, menunduk, tidak tau dimana posisi Darren berdiri sekarang.
"Yang benar saja? Gadis kampungan ini?"
Mikaela sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan Darren, apa dia benar-benar belum melihat bahwa yang dihadapannya sekarang adalah Mikaela.
Mikaela tidak berharap lebih pada Darren, karena pria itu akan menikah, setidaknya setelah sekian lama tidak bertemu, dia ingin hubungannya dengan Darren baik-baik saja seperti layaknya teman.
"Hei, dia cantik."
Mikaela harus berterima kasih pada Leo karena sudah membelanya.
"Kau tau Mr. Leo, yang aku butuhkan adalah seseorang yang pintar dalam bekerja dan memiliki sopan santun."
Terdengar suara ketukan sepatu mendekati Mikaela. Langkah tegap yang hanya dengan mendengarnya saja akan membuat kaki Mikaela melemas.
"Dan kau lihat gadis ini, aku sedang bicara padanya, bagaimana bisa dia hanya menundukkan kepalanya tanpa menatap calon bosnya? Sungguh sangat tidak sopan." Ucap Darren kejam berhenti tepat di depan Mikaela.
Gadis itu menatap sepatu hitam mengkilat Darren. Kepalanya perlahan terangkat, sangat pelan. Saat pandangannya lurus ke depan, yang dia lihat hanya dada bidang pria itu yang terbalut kemeja mahal yang lengan yang digulung sampai ke siku.
Sedikit ragu Mikaela untuk mengangkat kepalanya lebih ke atas. Ketika pandangannya tepat di mata Darren, Mikaela hampir menangis dibuatnya, betapa dia sangat rindu pada pria yang menatapnya penuh dengan kebencian itu, Mikaela dapat merasakannya.
Darren menyeringai, menatap Mikaela dari ujung kaki ke ujung rambut.
"Bukankah dia cantik?" tanya Leo sambil menyesap sampanye yang dibawakan wanita yang akhirnya Mikaela tau adalah sekretaris Darren.
"Seleramu sangat rendah Mr. Leo."
Darren tidak mengalihkan tatapannya dari Mikaela yang terkesiap dan tetap mematung ditempatnya mendengar ucapan Darren.
"Benarkah?" Leo masih berakting.
Darren melangkah pergi dari hadapan Mikaela dan mendekati Leo. Pria itu mengambil gelas kacanya dan menuangkan sedikit sampanye dalam gelas itu dan menyodorkan ke arah Leo, mengajaknya bersulang.
"Tapi karena kau sudah jauh-jauh membawanya kesini, baiklah aku akan menerimanya bekerja."
.
Mikaela keluar ruangan dengan lemas, mengingat bagaimana sikap Darren yang tidak bersahabat kepadanya. Ia segera menghidupkan ponsel yang sejak tadi ia matikan.
Beberapa pesan masuk ke ponselnya. Dari Rendy, Daffa, Bi Salma serta sahabatnya.
Hal yang pertama kali Mikaela pikirkan adalah menghubungi Tiwi dan mengabaikan semua pesan yang masuk. Ia ingin menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu.
Leo menyuruhnya pulang terlebih dahulu untuk istirahat karena ia harus sudah mulai bekerja keesokan harinya. Tetapi bagaimana Mikaela dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman kalau keadaannya seperti ini? Ia butuh seseorang untuk menenangkan hatinya dan Tiwi adalah orang yang tepat untuknya. Selain Tiwi sahabat baiknya, Tiwi adalah orang yang paling mungkin dapat ia temui sekarang.
Mikaela menunggu hingga hampir dua jam lebih di cafe dekat kantor Darren, sampai akhirnya Tiwi dengan tergopoh-gopoh berlari menghampiri dan memeluknya. Waktu menunjukan pukul dua belas lebih tujuh menit, jam istirahat makan siang bagi Tiwi.
"Mikaela, I miss you so much." Tiwi memeluk Mikaela erat, begitupun Mikaela.
"Miss you too."
"Aku sangat terkejut kau ada disini." Tiwi mengajak Mikaela duduk kembali.
Mikaela celingukan, seperti mencari sesuatu.
"Tenang saja, Darren tidak mungkin mau datang ke Cafe kecil seperti ini."
Tiwi yang sebelumnya sudah mendengar banyak cerita tentang Darren mengerti apa yang dimaksud Mikaela.
"Kau tau? kau akan sangat terkejut mendengar ceritaku."
"Ada apa? Kau terlihat sangat pucat."
"Aku akan bekerja di tempatmu."
Kalimat itu sukses menghentikan aktivitas Tiwi yang sedang memilih-milih makanan.
"Apa aku tidak salah dengar?"
Mikaela menggeleng pelan.
"Kau tau kan, perusahaan itu milik Darren sekarang."
"Tentu saja."
"Lalu? Apa kau sudah gila? Kau sudah siap bertemu dengannya? Kau tau kan dia sudah bertunangan?"
"Aku tau semuanya, kau tau itu, aku tidak punya pilihan lain sekarang. Aku sudah menandatangi kontrak kerja."
"Bagaimana bisa?"
Mikaela menceritakan kejadian sejak ia melamar kerja hingga ia dipanggil Leo untuk wawancara yang ternyata hanya untuk mencarikan Darren seorang sekretaris.
"Jadi, Mr. Leo mengancammu akan menuntut ratusan juta kalau kau tidak ingin bekerja?"
"Ku pikir dia tidak bercanda, itu kesalahanku karena aku dengan tergesa-gesa menandatangani kontrak." Mikaela mulai putus asa.
"Tapi menurutku itu sangat berlebihan, aku tau bagaimana Mr. Leo, dia sangat suka bercanda, mungkin itu hanya guyonannya."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Kau sudah bertemu dengan Darren?"
Mikaela mengangguk.
"Lalu? Apa yang dia katakan?"
"Dia menerimaku bekerja. Tapi.."
"Tapi apa?"
"Kau tau, aku berpikir dia sangat membenciku."
"Aku tau, jika kak Daffa tidak merekomendasikan aku untuk bekerja di perusahaan ini, dia tidak akan mempekerjakanku, karena aku adalah sahabatmu."
"Maafkan aku."
"Sudahlah, itu bukan salahmu. Lalu, apa yang akan kau lakukan? Aku tidak pernah mendengar kalau sekretaris Darren akan mengundurkan diri, tapi setelah kedatanganmu ku pikir wanita itu akan dipindah atau dia akan mengundurkan diri, karena setahuku dia sangat pandai dan cekatan dalam bekerja."
"Aku masih bingung."
"Kau sudah memberitahu kak Daffa atau kak Rendy?"
"Aku belum memberitahu mereka."
"Aku harap mereka akan membantumu."
"Sepertinya aku tidak akan memberitahu mereka dulu, aku tidak ingin terus menerus merepotkan mereka, lagipula kak Daffa sudah mempunyai istri."
"Mikaela..."
"Aku akan mencobanya, aku akan bekerja sebaik mungkin, aku tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah membantuku."
"Apa kau yakin?"
"Bukankah kau ada di sampingku?"
"Tentu saja aku akan selalu ada untukmu kapanpun kau memerlukanku, tapi tidak sekarang. Kau tau aku lapar, dan jam makan siang ku hanya satu jam."
Mikaela terkekeh, sedikit terhibur dengan kehadiran Tiwi, mereka segera memesan makanan, karena Tiwi tidak punya banyak waktu dan Mikaela juga harus segera pulang ke apartemen barunya untuk beristirahat.
Ia sangat lelah, lelah karena perjalanan yang cukup jauh, lelah karena harus berhadapan kembali dengan seseorang dari masa lalunya.
"Sebaiknya kau harus benar-benar mempersiapkan dirimu besok. Karena peraturan di kantor sangat ketat." ujar Tiwi di sela-sela kunyahannya.
"Aku tau."
"Persiapkan hatimu juga."
Mikaela mengerutkan dahinya.
"Karena tunangan Darren sering datang ke kantor untuk mengantar makan siang, atau sekedar mampir."
Gerakan tangan Mikaela terhenti saat memotong daging dipiringnya, ia tidak terkejut dengan ucapan Tiwi, sudah sewajarnya, Mikaela juga akan melakukan hal yang sama jika dia adalah seorang tunangan dari pria super sibuk seperti Darren.
"Seperti sekarang." Lanjut Tiwi. "Lihatnya ke belakangmu."
Mikaela memutar kepalanya ke belakang seperti apa yang Tiwi katakan.
"Wanita cantik yang berbaju biru, berambut panjang, yang tinggi bak model dengan tubuh yang membuat semua wanita di kantor iri. Dia adalah tunangan Darren."
Mikaela memperhatikan wanita itu dengan seksama, dengan gayanya yang anggun dan elegan, dia tidak malu membawa sebuah rantang cantik berwarna biru cerah. Dia tersenyum ramah kepada semua orang yang berpapasan dan menegurnya.
"Dia lebih cantik dari yang ku lihat di foto." Komentar Mikaela pelan kembali memandang Tiwi.
Sebelumnya Mikaela memang sudah pernah melihat tunangan Darren dari internet, dan ternyata di luar bayangan Mikaela, wanita itu berkali-kali lebih cantik aslinya daripada yang sebelumnya pernah Mikaela lihat.
"Apa kau baik-baik saja?" Tiwi sedikit khawatir dan menghentikan makannya.
"Tentu saja, berikan aku alamat tempat tinggalmu, aku tinggal di apertemen dekat sini."
"Benarkah?"
"Ya, aku dengan Bi Salma."
"Baiklah, aku akan mengirim alamatku, nanti sepulang kerja aku akan mampir ke apartemenmu, aku ingin bertemu dengan Bi Salma."
Mikaela tersenyum, dia bersyukur masih ada Tiwi disampingnya sekarang. Jadi dia tidak terlihat sangat menyedihkan, melihat bagaimana tidak sebandingnya dia dengan tunangan Darren. Bagai langit dengan bumi.
"Wow, belum ada 24 jam aku mempekerjakan gadis itu, kalian sudah berada disini. Kalian punya informan yang cukup baik." Ucap Darren begitu membuka pintu ruangan kerjanya usai meeting dengan salah satu rekan bisnisnya.Daffa dan Rendy yang sudah duduk di sofa ruangan Darren sejak tadi seketika berdiri melihat Darren memasuki ruangan dan dengan santai duduk di kursi kebesarannya."Kalian mau minum apa?" tawar Darren."Apa yang kau lakukan Darren?" protes Daffa."Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian berdua lakukan disini?"Rendy menghela napas mendekati Darren. "Apa maksudmu?""Apa?"
"Kau yakin tidak akan terjadi apapun?" Tanya Daffa pada Rendy setelah Mikaela dan Tiwi meninggalkan mereka."Aku tidak yakin, kau paling tau karakter Darren, dia pasti merencanakan sesuatu.""Hmm, kalau begitu apa yang harus kita lakukan?""Aku sudah memikirkan ini sejak tadi, sebaiknya kau pulang saja Daff, kau tau kan bagaimana istrimu?" Rendy menyilangkan tangan ke dadanya dan menatap Daffa serius. "Aku akan membeli apertemen disini, sekaligus untuk mengawasi proyek pembangunan gedung baru kita.""Apa kau yakin?""Tentu saja, serahkan padaku, sesekali datanglah kalau kau khawatir.""Aku pasti akan datang, kau tidak ingat kalau ak
Mikaela berjalan dengan tumpukan kertas ditangannya, ia harus mengkopi semua kertas-kertas itu ditengah jam kerja, tumpukan kertas yang merupakan pekerjaannya dan pekerjaan karyawan lain yang sudah merasa senior dan dengan seenaknya menyuruh-nyuruh Mikaela. Tidak heran, Mikaela sudah tahu beberapa karyawan memandangnya dengan tatapan tidak suka.Ia menghela napas berkali-kali dalam lift untuk turun ke lobi, di bawah berjejer mesin potokopi pada pojok sebelah kiri dekat pintu masuk. Seharusnya kantor itu meletakkan satu atau dua mesin potokopi di setiap lantai dan tidak mengumpulkannya dalam satu lantai seperti ini, hal itu lebih efisien dan untuk menghemat waktu karyawan agar tidak naik turun ruangan. Nanti Mikaela akan memprotesnya pada Darren. Ya, jika ia berani.Mikaela tertawa miris dalam hati, untuk menyapa Darren saja ia tidak ber
Darren membenarkan kancing lengan kemejanya dan segera memakai jas hitam yang ia sampirkan asal di sofa ruang kerjanya. Hari ini, ia ada janji untuk makan siang dengan rekan bisnis dan sekaligus membicarakan tentang kerja sama di antara mereka.Baru saja Darren akan melangkah pergi, ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk. Ia segera membacanya.Wajahnya mengeras melihat pesan yang ternyata adalah dari detektif yang ia bayar untuk menyelidiki Mikaela sewaktu ia berada di Paris beberapa hari yang lalu. Orang suruhannya itu mengatakan, bahwa ia sudah mendapat informasi penting dan sedang menuju kantor Darren.Selain untuk berbisnis dengan Leo, Darren juga penasaran kenapa Mikaela dapat pergi dan tinggal di Paris dengan kebangkrutannya tanpa Darren ketahui, padahal dulu Rendy sudah
"Kau tau apa yang terjadi kemarin kak? Pak Darren melempar ponselnya tepat di samping Mikaela hingga Ponsel itu hancur." seru Tiwi ketika ia dan Mikaela baru saja duduk di Dream cafe bersama Rendy."Benarkah?""Ya, Beruntung, ponsel itu tidak mengenai Mikaela, dia terlihat sangat marah."Wajah Rendy tampak mengeras."Aku sudah menduganya dia akan melakukan sesuatu padamu." Rendy beralih memandang Mikaela tajam setelah mendengar cerita Tiwi."Dia marah karena aku dan Tiwi bergosip sambil memakan coklat, itu wajar karena kami memang bersalah kak." aku Mikaela."Tapi kau akan terluka jika ponsel itu mengenaimu?" terli
"Astaga, Mikaela, ada apa dengan bibirmu?" tanya Salma begitu ia membukakan pintu untuk Mikaela.Mikaela mengerutkan keningnya, ia buru-buru mencari cermin kecil yang selalu ia bawa dalam tasnya, dan ternyata benar, bibir bawahnya pecah, sedikit lebam berwarna merah biru seperti luka gigitan. Terlalu banyak yang ia pikirkan hingga membuatnya tidak sadar Darren menciumnya terlalu kuat."Aku baru tahu bi, tadi sewaktu aku mengunyah makananku, tidak sengaja bibirku tergigit.""Kau terburu-buru sehingga tidak berhati-hati.""Ya bi, tapi tidak apa, ini tidak sakit sama sekali." Mikaela tersenyum memasukkan kembali cerminnya ke dalam tas. "Bibi masak apa hari ini? Aku lapar." lanjut Mikaela mengalihkan pembicaraan takut Salma akan lebih ban
Darren sedang mengerjakan beberapa paper work di laptopnya, ia memilih untuk mengerjakannya di apertemen daripada harus lembur di kantornya seperti biasa. Sekelebat bayangan air mata Mikaela terus berputar di otaknya, ia merasa marah sekaligus kasihan kepada gadis itu. Gadis yang dulu pernah menjadi orang terdekatnya. Gadis yang membuat hubungannya dengan Daffa semakin merenggang. Gadis yang sudah menghancurkan sebagian hatinya.Darren harus berulang kali memejamkan mata untuk melupakan kenangan buruk itu. Jika ia tidak datang ke kantor Leo, ia pasti sudah benar-benar melupakan Mikaela dan dendamnya karena sekarang ia telah memiliki Caroline. Tetapi Tuhan berkehendak lain dengan mempertemukan mereka kembali, seakan-akan memberi kesempatan untuknya, setelah dulu ia berusaha sekuat tenaga mencari gadis itu dan baru sekarang ia menemukannya. Ia harus membuat gadis itu benar-benar t
Kemacetan sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di kota Jakarta. Bunyi klakson bersahutan dimana-mana. Berharap pada sedikit celah jalan untuk sebuah kendaraan bergerak maju. Darren memijat pelipisnya, karena sudah satu jam lebih ia terjebak macet.Supir ayahnya menjemputnya di bandara tepat ketika ia sampai, tapi apa mau dikata, seharusnya ia tidak heran lagi dengan jalanan macet ini walaupun lebih dari setengah usianya ia habiskan di negeri orang.Darren menyenderkan punggung lelahnya, melihat ke arah luar yang hanya dipenuhi mobil di sebelah kanan dan kiri. Ia menyilangkan tangan ke depan dada dan memilih memejamkan mata.Karena tidak dapat tidur juga, ia membuka matanya kembali, mencari ponsel yang ada di dalam saku, dan menghubungi seseorang.
"Yang mana yang akan kau kenalkan padaku kak?"Dia bertanya padaku dengan wajah berbinarnya, membuat hatiku terasa sakit.Huh. Aku benar-benar merasa kasihan pada diriku sendiri. Aku tertawa padanya dan juga tertawa pada diriku sendiri.Menertawakan kebodohanku.Bagaimana bisa aku masih mencintainya hingga saat ini?
"Selamat atas pernikahanmu kak."Itu ucapan darinya saat mendengar kabar pernikahanku. Ucapan dari cinta pertamaku Mikaela.Aku termenung menatap hamparan pemandangan kota disepinya malam.Baru saja pesta pernikahanku usai dan menyisakan perasaan yang bercampur aduk didalam hatiku.Aku memutuskan untuk minum-minum dengan mengajak sahabatku, Rendy. Tapi ia justru meninggalkanku sendiri.
"Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Aku menutup ponselku begitu mengatakan hal yang akan benar-benar aku lakukan pada tunanganku itu jika ia tidak mendengarkan ucapanku.Mikaela Cindy. Gadis yang ntah sejak kapan membuatku gila.She driving me crazy.
Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Begitulah kira-kira ucapannya sebelum mematikan ponsel, menutup panggilan secara sepihak.Tunanganku yang sangat posesif dan egois. Dia Darren Revano Abrata.Sebulan yang lalu kami resmi bertunangan. Tentu saja kisahku tidak mudah seperti yang kalian bayangkan. Penuh air mata dan pengorbanan. Aku
"Aku tidak bisa menjemputnya, aku sedang membantu bi Salma menyiapkan pesanan, kau tahu ini project besar pertamanya dan supir ada bersama kami untuk membantu keperluan lain-lain, jadi hari ini kau yang menjemputnya ya?""Aku ada meeting siang ini.""Darrenku sayang, uangmu sudah sangat banyak, bisa kau batalkan saja meetingmu itu demi anakmu?"
Dering jam waker berbunyi nyaring memecah keheningan gelap suatu ruangan yang didominasi warna hitam dan putih.Mikaela menyingkirkan tangan besar yang menindih tubuhnya secara perlahan, dia bangkit dari ranjangnya sambil merentangkan satu tangan dan menguap, punggung tangan yang lain menutup mulutnya yang terbuka.Mikaela mematikan alarm jam tersebut, kemudian menengok buah hatinya yang sedang terlelap sambil tersenyum.
Ema menata perabot-perabot rumah tangga yang terkumpul acak dan menumpuk di salah satu ruangan yang lebar, itu adalah ruang tengah rumah baru Darren. Ia baru saja membeli rumah mewah tak jauh dari apertemennya yang dulu.Berkat usaha, dan kerjasamanya dengan Sandjaya, seseorang yang sudah tidak diragukan lagi dalam dunia bisnis. Kini bisnis Darren menjadi berkembang pesat dan perusahaan Sandjaya terselamatkan dari kebangkrutan juga berkat dirinya.Sungguh kerjasama yang menguntungkan.Dibantu be
"Apa?" Caroline terkejut setelah mendengar berita yang baru saja Daffa sampaikan.Mikaela dan Rendy kecelakaan? Bagaimana mungkin? Baru saja rencana mereka akan terwujud. Tapi....Caroline mengumpat dalam hati. Ia berpikir keras, memutar otaknya."Cepat tolong mereka."gusar Daffa tidak sabar di seberang.
Darren ingat ketika pertama kalinya ia mengatakan dengan jelas jika ia merindukan Mikaela...Setelahnya ia akan kembali ketus kepada gadis itu, bukan karena apa, tetapi karena Darren malu ia harus mengakui jika ia merindukan Mikaela.Ia ingat ketika pertama kali Daffa mengatakan apa yang membuatnya mencintai Mikaela...Dan secara terang-terangan Darren menantangnya, ia juga ingin memiliki Mikaela sama seperti Daffa.