Singapore, 08:19 PM
Darren terbangun dalam keadaan shirtless di apertemennya, bukan karena dia tidur dengan wanita, Darren tidak pernah membawa wanita manapun ke ranjangnya, termasuk Caroline, kekasih sekaligus calon istrinya.
Dulu memang Darren sering tidur dengan wanita yang dia temui di bar, itupun karena dia terbawa pergaulan dengan anak-anak rekan bisnis ayahnya. Pergaulan yang cukup liar, ke bar sudah jadi aktivitasnya sehari-hari, minum alkohol walau tidak sampai mabuk tapi cukup membuat Darren lepas kendali, one night stand, dia sering melakukan itu. Tetapi semua sudah dia tinggalkan semenjak menjalin hubungan dengan Caroline.
Jika boleh jujur, Caroline sangat pandai dalam urusan ranjang. Dan Darren cukup puas akan hal itu, makanya dia tidak mencari kepuasan di luar sana. Sebelum berhubungan dengan Darren, Caroline sudah pernah menjalin hubungan dengan seorang dokter di rumah sakit dimana dia bekerja selama empat tahun. Lebih lama daripada usia hubungan mereka. Mungkin karena pengalaman itulah Caroline sangat pandai dalam memuaskan pria. Caroline bercerita pada Darren apapun yang terjadi padanya sebelum menjalin hubungan dengan Darren.
Darren tidak peduli apapun masa lalu Caroline, yang Darren tau, Caroline adalah wanita baik-baik dari keluarga baik-baik, yang terpenting dialah wanita yang menjaga Daffa dan menangani Daffa ketika Daffa sakit hingga sekarang Daffa sudah sembuh total. Walaupun dulu Darren sempat sangsi bahwa wanita itu mampu menangani Daffa, tetapi Caroline lah yang paling berjasa dalam pengobatan saudara kembarnya itu dan Caroline mampu membuat Darren merasa nyaman berada disisinya.
Darren melihat jam weker di atas meja samping ranjang.
"Shit." umpatnya sambil mengacak-acak rambut yang sudah berantakan itu, membuat wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar rahang itu semakin tampan. Hari ini dia sudah berjanji akan mengantar Caroline ke rumah sakit tempatnya bekerja, tapi karena jetlag setelah pulang dari Paris, Darren bangun kesiangan.
Dia mengambil ponselnya dan kembali merebahkan tubuh kekarnya di ranjang king size miliknya, sambil menekan nomor Caroline.
"Selamat pagi sayang." Sapa seseorang lembut di seberang telpon.
"Maafkan aku, pagi ini.."
"Tidak apa-apa sayang, kau pasti lelah, beristirahatlah, aku sudah membuatkan sarapan untukmu, kau tinggal memanaskannya saja."
Darren tersenyum menanggapi tunangannya yang sangat perhatian itu.
"Kau pulang jam berapa?"
"Sore."
"Telpon aku, aku akan menjemputnya."
"Baiklah, aku sibuk sekarang, bangun dan mandilah."
"Baik nyonya Darren."
Terdengar suara Caroline tertawa, Darren kemudian menutup telpon, kembali memeluk bantal dan membalikkan badannya. Dia masih malas keluar dari kamar tidur luasnya itu.
Apartemen Darren sangat luas, dia tinggal sendiri disana, sesekali Caroline datang untuk menginap, tentunya bukan dikamar utama, karena hanya Darren yang boleh menempati kamar itu. Caroline sudah memiliki akses tersendiri untuk masuk apartemen Darren. Selama seminggu tiga kali, ada seorang pembantu datang ke apartemen Darren untuk berberes-beres, Darren hanya menyuruhnya datang tiga kali saja dalam seminggu karena Darren tidak suka privasinya diganggu, lagipula dia jarang sekali tinggal di apertemennya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor, dan setiap malam pulang, itupun jarang karena biasanya dia akan tidur di kantor.
Apartemen hanya tempat untuk melepas lelah baginya. Terkadang tempat untuk bersantai, menonton film seharian dengan Caroline ketika mereka sama-sama libur.
Ibu dan ayah Darren, Ema dan Brata memilih menetap kembali di Indonesia, Brata mengurus perusahaan mereka yang di Indonesia, sedangkan Darren mengurus perusahaan yang ada di Singapura karena sedang maju pesat. Daffa yang sudah menikah pun memilih tinggal di Indonesia, karena dia harus mengurus perusahaan milik istrinya.
Terkadang Daffa akan datang ke Singapura untuk membantunya. Daffa dan Rendy bekerja sama untuk membangun gedung baru perusahaan Rendy yang bekerja sama dengan perusahaan istri Daffa. Lokasinya tidak jauh dari kantor Darren. Jadi mereka akan sering berkunjung ke Singapura.
Darren teringat kembali kejadian empat hari yang lalu, ketika dia diminta temannya, Leo, datang ke Paris.
Tanpa direncanakan, akhirnya dia menemukan gadis itu, setelah tujuh tahun tidak bertemu dan tidak mendapat kabar dari gadis itu, ternyata sangat mudah untuk menemukannya.
Darren memejamkan mata, meremas bantal mengingat kejadian tujuh tahun yang lalu. Kejadian yang membuat hatinya mati dan beku.
"Aku akan membuatmu merasakan rasa sakit yang lebih besar daripada apa yang aku rasakan." gumam Darren membuka matanya.
Yang ada di mata Darren hanyalah tatapan penuh kebencian, tidak ada kelembutan sama sekali disana.
.
Jantung Mikaela berdebar dan keringat dingin keluar dari dahi dan tangannya. Sekarang dia sudah berdiri di gedung salah satu perusahan besar dikotanya.
Antara percaya dan tidak percaya, tadi pagi dia mendapat telpon untuk mengikuti interview di perusahaan itu. Dan sekarang yang Mikaela lihat tidak ada satu orangpun datang kecuali dirinya. Betapa beruntungnya dia, dari sekian ratus orang yang mendaftar untuk posisi sekretaris hanya dia sajalah yang dihubungi oleh pihak perusahaan. Padahal dia hanya iseng saja mengirim surat lamaran itu.
Mikaela masih menunggu di ruang tunggu karena masih belum dipersilahkan untuk bertemu HRD mereka. Berulang kali Mikaela menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya.
"Aku pasti bisa, aku pasti bisa." Mikaela mencoba menyemangati diri sendiri.
Dia mengingat ucapan temannya yang mengatakan gaji di perusahaan itu sangat besar jika dia berhasil lolos dan diterima bekerja. Hal itu membuatnya lebih bersemangat. Dia dapat mencicil hutangnya pada Rendy.
Tas yang ada ditangannya sekarang adalah salah satunya. Hadiah yang dia terima dari Rendy, tas mahal seharga puluhan juta dengan sepatu yang tak kalah mahalnya, bagaimana bisa Rendy memberinya hadiah semahal itu hanya untuk ulangtahunnya? Dan walau hati Mikaela tidak enak, dia tetap memakainya juga untuk interview hari ini karena terlalu antusias. Mikaela bertanya-tanya, kenapa Rendy selalu tau apa yang Mikaela butuhkan?
"Nona Mikaela."
Seseorang memanggilnya dengan ramah.
"Pak Leo sudah menunggu nona di ruangannya. Mari saya antar." wanita itu tersenyum lembut, membuat Mikaela sedikit tenang.
Akhirnya dia akan bertemu dengan seseorang yang akan mewawancarai nya, ntah apa yang akan dia katakan nanti, baru kali ini Mikaela mengikuti interview di perusahaan besar. Sebelumnya dia hanya bekerja paruh waktu di cafe dan toko buku.
Mikaela berjalan mengikuti wanita yang berjalan dengan anggun di depannya. Mikaela mengikat rambut panjangnya, memakai kemeja cream dengan rok pensil sepanjang lutut, dia sudah membuka mantelnya sejak tadi, udara diluar terasa sangat dingin.
"Silahkan nona."
Wanita itu membukakan pintu salah satu ruangan dan menyuruh Mikaela masuk ke dalam kemudian dia keluar menutup pintu kembali, meninggalkan Mikaela dengan seorang pria yang membelakanginya di ruangan yang sangat mewah dan besar itu.
Mikaela terkagum-kagum, ruangan HRD saja bisa semewah ini.
Dengan langkah yang pasti, dan meningkatkan percaya dirinya Mikaela melangkah mendekati pria itu.
"Permisi pak." Sapa Mikaela.
Pria itu menengok. Memperhatikan penampilan Mikaela dari ujung kakinya hingga ujung kepalanya, membuat Mikaela sedikit risih ditatap seperti itu.
Pria itu menyeringai. "Leo, namaku Leo. Mereka biasa memanggilku Mr. Leo."
"Baik, pak Mr. Leo."
"Pak atau Mister?"
"Mr. Leo."
Mikaela menunduk, pria itu berjalan dan duduk di kursi kebesarannya. "Duduklah."
Mendengar pria itu mempersilakannya duduk, Mikaela segera duduk di kursi tepat di depan pria itu.
Dia melirik ke atas meja dan mendapati tulisan 'CEO' tertulis besar di papan kaca mewah. Ternyata Mikaela berhadapan langsung dengan CEO perusahaan itu. Jantung Mikaela makin berdebar.
"Santai saja, tidak usah gugup."
"Terima kasih Mr. Leo."
"Jadi kenapa kau melamar di perusahaan ku?"
"Sebelumnya terimakasih sudah memberi kesempatan untukku, aku ingin mendapat pekerjaan dan memperbaiki kehidupanku, jadi aku melamar di perusahaan anda, karena perusahaan anda sangat hebat."
"Kau pintar sekali memuji."
Mikaela tersenyum.
"Tapi lebih baik jika kau mengatakan karena pemilik perusahaan ini sangat tampan dan aku ingin memilikinya." Ucap Leo menggoda.
Mikaela harus bersabar menghadapi pria kaya, tampan yang sangat percaya diri itu.
"Maaf Mr. Leo, aku sama sekali tidak punya pikiran seperti itu."
"Senyummu sangat indah."
"Terima kasih."
"Baiklah, karena senyummu sangat menawan, kau aku terima bekerja."
Apa? Semudah itu untuk masuk perusahaan sebesar ini? Mikaela hampir tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria itu, bahkan dia belum diwawancara sama sekali, hanya satu pertanyaan dan sebuah senyuman berhasil membuat Mikaela diterima bekerja? Dia tidak bermimpi bukan?
"Apa anda serius?" tanya Mikaela tidak percaya.
"Aku memang suka bercanda, tapi kali ini aku serius, kau diterima bekerja."
Mikaela hampir melompat kegirangan, jika dia tidak berhadapan dengan CEO ini, pasti dia sudah melompat-lompat seperti anak kecil.
"Tapi, kau tidak akan bekerja di perusahaan ini."
Senyum Mikaela pudar. "Maksud anda?"
"Sebenarnya aku hanya mencarikan sekretaris untuk temanku, karena dia mendengar banyak lulusan hebat disini, jadi dia memintaku untuk mencari salah satu gadis hebat itu."
"Anda belum melihat hasil kerjaku, bagaimana anda bisa tau aku akan bekerja dengan sangat baik?"
"Dari senyumanmu dan tatapan matamu."
"Anda bercanda"
Mr. Leo tertawa. "Kau tidak tau siapa aku? Kau pikir sebelum aku memanggilmu aku tidak mencari tau dulu tentangmu?"
"Maksud anda?"
"Aku sudah tau kau adalah lulusan terbaik tahun ini, dan aku sudah memilihmu, jadi bersyukurlah."
"Apa ini bukan mimpi?"
"Tentu saja bukan, nilaimu yang paling baik diantara pelamar lainnya."
Tentu saja Leo hanya berbohong. Dia memilih Mikaela karena janjinya pada Darren, dan tentu saja dengan beribu alasan agar Mikaela tidak mencurigainya.
"Terima kasih Mr. Leo, jadi dimana saya harus bekerja?"
"Kau akan bekerja di Singapura, karena perusahaannya ada disana."
Tidak. Singapura adalah negara yang paling tidak ingin Mikaela kunjungi. Ada Darren disana. Lagipula Singapura sangat jauh, dia tidak mungkin meninggalkan bi Salma sendirian disini.
"Maaf Mr. Leo, aku sangat senang anda memilihku, tetapi dengan kerendahan hati sepertinya aku menolak tawaran anda."
"Why?"
"Aku tidak bisa pergi kesana, aku punya seseorang disini."
"Kekasih?"
"Bukan, tapi orang yang sangat berharga untukku, dia yang mengasuhku sejak kecil."
"Ah, kalau begitu bawa saja dia ikut bersamamu."
"Tidak mungkin, aku tidak cukup kaya untuk itu. Aku sudah bersyukur tinggal di apertemen kecilku bersamanya. Maafkan aku, mungkin aku belum cocok untuk bekerja disana."
Mikaela bangkit dari kursinya, ingin berpamitan dan pergi dari ruangan itu.
"Aku akan siapkan apertemen untukmu dan pengasuhmu, tiket penerbangan dan makan aku akan berikan selain dari gajimu."
"Sorry?"
"Dan kau akan mendapatkan gaji dua kali lipat. Apa kau bersedia?"
Mikaela ragu, mendapat tawaran sebaik itu mana mungkin ia dapat menolaknya. Apertemen gratis, makan sudah ditanggung dan gaji dua kali lipat. Hanya orang bodoh saja yang akan menolaknya. Demi kehidupan yang lebih layak, demi bi Salma, Mikaela akhirnya menerima tawaran itu.
"Baiklah, aku bersedia. Jadi kapan aku mulai berkerja?"
Leo tersenyum seperti memenangkan sebuah taruhan. "Persiapkan dirimu, kau akan berangkat besok, aku yang akan menemanimu kesana."
"Besok? Apakah itu tidak terlalu mendadak?"
"Waktu adalah uang, jadi jangan buang-buang waktumu nona."
.
Ponsel Darren berdering di saku jasnya, dia sedang berada di ruangan kerja miliknya yang didominasi warna hitam dan cream. Ruangan super luas dengan sofa, lemari es, meja kebanggaannya yang besar, lemari berjejer rapi dan sebuah ruangan kamar tidur khusus yang dibangun Darren ketika dia lembur atau merasa lelah. Kantor sudah seperti rumah keduanya.
Darren mengangkat telpon itu.
"Bagaimana?" Tidak berbasa basi Darren langsung menanyakan hal yang dia tunggu-tunggu ketika tau bahwa Leo lah yang menelponnya.
"Wow, sabar, kau tidak ingin menanyakan kabarku terlebih dahulu?"
Darren mengeram, membuat Leo terkekeh.
"Baiklah, baiklah, dia sangat cantik."
"Aku tidak menanyakan hal itu."
"Dan juga sexy, kau tau tubuhnya sangat--"
"Leo." Panggil Darren dengan penekanan. Leo makin terkekeh.
"Dia menyetujuinya."
"Apa?"
"Kau pura-pura tuli heh? Dia menyetujuinya."
Darren menyeringai penuh kemenangan. Akhirnya apa yang dia inginkan akan terlaksana. Membuat Mikaela sengsara, permainan yang cukup menarik.
"Awalnya dia tidak mau, tapi aku mengatakan akan memfasilitasinya dengan apertemen, makan, dan gaji dua kali lipat."
"......"
"Apa kau tidak keberatan?"
"......"
"Hei tuan Darren, apa kau mendengarkanku?"
"Iya, aku dengar."
"Apa kau tidak keberatan dengan apa yang aku janjikan padanya?"
"Tentu saja tidak. Terima kasih Mr. Leo, kembalilah bekerja atau perusahaanmu akan bangkrut."
Leo tertawa. "Jadi itu doamu padaku setelah aku membantumu?"
"Itu bukan doa, itu hanya saran."
"Saran yang bagus. Aku akan mengantarkannya padamu besok."
"Kau sudah mengatakan padanya dimana dia akan bekerja."
"Belum, besok akan aku katakan."
"Tidak perlu, aku yang akan memberi dia kejutan." Darren tersenyum sinis membayangkan apa yang akan terjadi besok.
"Baiklah, aku harus meeting sekarang. See you soon in Singapore."
Darren memutuskan telponnya.
Bahkan jika harus membayarnya seratus kali lipat pun Darren tidak akan keberatan, jika itu bisa membuat gadis itu menderita di hadapannya.
Setelah belasan jam lamanya perjalanan, antara sadar dan jetlag Mikaela akhirnya tau dimana dia menginjakan kakinya sekarang. Ia berdiri di tempat yang paling ingin ia hindari.Bagai kutukan, seharusnya ia bertanya dahulu sebelumnya dimana ia akan bekerja. Karena terlanjur tergiur dengan fasilitas dan gaji yang dijanjikan oleh Leo, dengan gegabah Mikaela menandatangani kontrak kerja selama setahun.Dan disinilah dia sekarang. Berdiri di gedung megah D.E Corp. Mikaela tahu benar gedung ini adalah milik ayah Darren yang sekarang sudah diambil alih oleh putranya itu.Ingin rasanya Mikaela lari dari tempat itu, tetapi langkah kakinya memberat ketika ingat bahwa ia sudah terlambat untuk melarikan diri. Bi Salma sudah diantar ke apertemen barunya yang sudah disiapkan oleh Leo, sedan
"Wow, belum ada 24 jam aku mempekerjakan gadis itu, kalian sudah berada disini. Kalian punya informan yang cukup baik." Ucap Darren begitu membuka pintu ruangan kerjanya usai meeting dengan salah satu rekan bisnisnya.Daffa dan Rendy yang sudah duduk di sofa ruangan Darren sejak tadi seketika berdiri melihat Darren memasuki ruangan dan dengan santai duduk di kursi kebesarannya."Kalian mau minum apa?" tawar Darren."Apa yang kau lakukan Darren?" protes Daffa."Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian berdua lakukan disini?"Rendy menghela napas mendekati Darren. "Apa maksudmu?""Apa?"
"Kau yakin tidak akan terjadi apapun?" Tanya Daffa pada Rendy setelah Mikaela dan Tiwi meninggalkan mereka."Aku tidak yakin, kau paling tau karakter Darren, dia pasti merencanakan sesuatu.""Hmm, kalau begitu apa yang harus kita lakukan?""Aku sudah memikirkan ini sejak tadi, sebaiknya kau pulang saja Daff, kau tau kan bagaimana istrimu?" Rendy menyilangkan tangan ke dadanya dan menatap Daffa serius. "Aku akan membeli apertemen disini, sekaligus untuk mengawasi proyek pembangunan gedung baru kita.""Apa kau yakin?""Tentu saja, serahkan padaku, sesekali datanglah kalau kau khawatir.""Aku pasti akan datang, kau tidak ingat kalau ak
Mikaela berjalan dengan tumpukan kertas ditangannya, ia harus mengkopi semua kertas-kertas itu ditengah jam kerja, tumpukan kertas yang merupakan pekerjaannya dan pekerjaan karyawan lain yang sudah merasa senior dan dengan seenaknya menyuruh-nyuruh Mikaela. Tidak heran, Mikaela sudah tahu beberapa karyawan memandangnya dengan tatapan tidak suka.Ia menghela napas berkali-kali dalam lift untuk turun ke lobi, di bawah berjejer mesin potokopi pada pojok sebelah kiri dekat pintu masuk. Seharusnya kantor itu meletakkan satu atau dua mesin potokopi di setiap lantai dan tidak mengumpulkannya dalam satu lantai seperti ini, hal itu lebih efisien dan untuk menghemat waktu karyawan agar tidak naik turun ruangan. Nanti Mikaela akan memprotesnya pada Darren. Ya, jika ia berani.Mikaela tertawa miris dalam hati, untuk menyapa Darren saja ia tidak ber
Darren membenarkan kancing lengan kemejanya dan segera memakai jas hitam yang ia sampirkan asal di sofa ruang kerjanya. Hari ini, ia ada janji untuk makan siang dengan rekan bisnis dan sekaligus membicarakan tentang kerja sama di antara mereka.Baru saja Darren akan melangkah pergi, ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk. Ia segera membacanya.Wajahnya mengeras melihat pesan yang ternyata adalah dari detektif yang ia bayar untuk menyelidiki Mikaela sewaktu ia berada di Paris beberapa hari yang lalu. Orang suruhannya itu mengatakan, bahwa ia sudah mendapat informasi penting dan sedang menuju kantor Darren.Selain untuk berbisnis dengan Leo, Darren juga penasaran kenapa Mikaela dapat pergi dan tinggal di Paris dengan kebangkrutannya tanpa Darren ketahui, padahal dulu Rendy sudah
"Kau tau apa yang terjadi kemarin kak? Pak Darren melempar ponselnya tepat di samping Mikaela hingga Ponsel itu hancur." seru Tiwi ketika ia dan Mikaela baru saja duduk di Dream cafe bersama Rendy."Benarkah?""Ya, Beruntung, ponsel itu tidak mengenai Mikaela, dia terlihat sangat marah."Wajah Rendy tampak mengeras."Aku sudah menduganya dia akan melakukan sesuatu padamu." Rendy beralih memandang Mikaela tajam setelah mendengar cerita Tiwi."Dia marah karena aku dan Tiwi bergosip sambil memakan coklat, itu wajar karena kami memang bersalah kak." aku Mikaela."Tapi kau akan terluka jika ponsel itu mengenaimu?" terli
"Astaga, Mikaela, ada apa dengan bibirmu?" tanya Salma begitu ia membukakan pintu untuk Mikaela.Mikaela mengerutkan keningnya, ia buru-buru mencari cermin kecil yang selalu ia bawa dalam tasnya, dan ternyata benar, bibir bawahnya pecah, sedikit lebam berwarna merah biru seperti luka gigitan. Terlalu banyak yang ia pikirkan hingga membuatnya tidak sadar Darren menciumnya terlalu kuat."Aku baru tahu bi, tadi sewaktu aku mengunyah makananku, tidak sengaja bibirku tergigit.""Kau terburu-buru sehingga tidak berhati-hati.""Ya bi, tapi tidak apa, ini tidak sakit sama sekali." Mikaela tersenyum memasukkan kembali cerminnya ke dalam tas. "Bibi masak apa hari ini? Aku lapar." lanjut Mikaela mengalihkan pembicaraan takut Salma akan lebih ban
Darren sedang mengerjakan beberapa paper work di laptopnya, ia memilih untuk mengerjakannya di apertemen daripada harus lembur di kantornya seperti biasa. Sekelebat bayangan air mata Mikaela terus berputar di otaknya, ia merasa marah sekaligus kasihan kepada gadis itu. Gadis yang dulu pernah menjadi orang terdekatnya. Gadis yang membuat hubungannya dengan Daffa semakin merenggang. Gadis yang sudah menghancurkan sebagian hatinya.Darren harus berulang kali memejamkan mata untuk melupakan kenangan buruk itu. Jika ia tidak datang ke kantor Leo, ia pasti sudah benar-benar melupakan Mikaela dan dendamnya karena sekarang ia telah memiliki Caroline. Tetapi Tuhan berkehendak lain dengan mempertemukan mereka kembali, seakan-akan memberi kesempatan untuknya, setelah dulu ia berusaha sekuat tenaga mencari gadis itu dan baru sekarang ia menemukannya. Ia harus membuat gadis itu benar-benar t
"Yang mana yang akan kau kenalkan padaku kak?"Dia bertanya padaku dengan wajah berbinarnya, membuat hatiku terasa sakit.Huh. Aku benar-benar merasa kasihan pada diriku sendiri. Aku tertawa padanya dan juga tertawa pada diriku sendiri.Menertawakan kebodohanku.Bagaimana bisa aku masih mencintainya hingga saat ini?
"Selamat atas pernikahanmu kak."Itu ucapan darinya saat mendengar kabar pernikahanku. Ucapan dari cinta pertamaku Mikaela.Aku termenung menatap hamparan pemandangan kota disepinya malam.Baru saja pesta pernikahanku usai dan menyisakan perasaan yang bercampur aduk didalam hatiku.Aku memutuskan untuk minum-minum dengan mengajak sahabatku, Rendy. Tapi ia justru meninggalkanku sendiri.
"Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Aku menutup ponselku begitu mengatakan hal yang akan benar-benar aku lakukan pada tunanganku itu jika ia tidak mendengarkan ucapanku.Mikaela Cindy. Gadis yang ntah sejak kapan membuatku gila.She driving me crazy.
Jangan menemuinya, atau kau akan aku seret meninggalkan negara ini, dan aku akan mengasingkanmu di kutub utara."Begitulah kira-kira ucapannya sebelum mematikan ponsel, menutup panggilan secara sepihak.Tunanganku yang sangat posesif dan egois. Dia Darren Revano Abrata.Sebulan yang lalu kami resmi bertunangan. Tentu saja kisahku tidak mudah seperti yang kalian bayangkan. Penuh air mata dan pengorbanan. Aku
"Aku tidak bisa menjemputnya, aku sedang membantu bi Salma menyiapkan pesanan, kau tahu ini project besar pertamanya dan supir ada bersama kami untuk membantu keperluan lain-lain, jadi hari ini kau yang menjemputnya ya?""Aku ada meeting siang ini.""Darrenku sayang, uangmu sudah sangat banyak, bisa kau batalkan saja meetingmu itu demi anakmu?"
Dering jam waker berbunyi nyaring memecah keheningan gelap suatu ruangan yang didominasi warna hitam dan putih.Mikaela menyingkirkan tangan besar yang menindih tubuhnya secara perlahan, dia bangkit dari ranjangnya sambil merentangkan satu tangan dan menguap, punggung tangan yang lain menutup mulutnya yang terbuka.Mikaela mematikan alarm jam tersebut, kemudian menengok buah hatinya yang sedang terlelap sambil tersenyum.
Ema menata perabot-perabot rumah tangga yang terkumpul acak dan menumpuk di salah satu ruangan yang lebar, itu adalah ruang tengah rumah baru Darren. Ia baru saja membeli rumah mewah tak jauh dari apertemennya yang dulu.Berkat usaha, dan kerjasamanya dengan Sandjaya, seseorang yang sudah tidak diragukan lagi dalam dunia bisnis. Kini bisnis Darren menjadi berkembang pesat dan perusahaan Sandjaya terselamatkan dari kebangkrutan juga berkat dirinya.Sungguh kerjasama yang menguntungkan.Dibantu be
"Apa?" Caroline terkejut setelah mendengar berita yang baru saja Daffa sampaikan.Mikaela dan Rendy kecelakaan? Bagaimana mungkin? Baru saja rencana mereka akan terwujud. Tapi....Caroline mengumpat dalam hati. Ia berpikir keras, memutar otaknya."Cepat tolong mereka."gusar Daffa tidak sabar di seberang.
Darren ingat ketika pertama kalinya ia mengatakan dengan jelas jika ia merindukan Mikaela...Setelahnya ia akan kembali ketus kepada gadis itu, bukan karena apa, tetapi karena Darren malu ia harus mengakui jika ia merindukan Mikaela.Ia ingat ketika pertama kali Daffa mengatakan apa yang membuatnya mencintai Mikaela...Dan secara terang-terangan Darren menantangnya, ia juga ingin memiliki Mikaela sama seperti Daffa.