Hangat.
Entah mengapa aku justru merasakan kehangatan sekejap setelah segala hal mengerikan yang barusaja aku lalui. Aku tidak tahu apakah setelah mati akan ada kehangatan?
Kenapa aku merasa hangat? Apa aku berada di tempat yang hangat? Jadi rasanya mati seperti ini?
Tunggu dulu.
Hanya tangan kananku yang terasa hangat.
Apa dunia setelah kematian memang seperti ini? Tapi ... aku tidak melihat apapun. Semuanya gelap. Namun aku bisa merasakan sesuatu yang hangat pada tangan kananku.
Rasanya seperti ... genggaman tangan?
Aku pun bersusah payah menggerakkan mataku, kelopak mataku. Aku penasaran bagaimana dunia setelah kematian? Apakah yang namanya surga dan neraka itu benar-benar ada? Lalu di manakah aku sekarang?
Alih-alih melanjutkan pikiranku yang tidak jelas kemana arahnya, aku mencoba membuka mataku secara perlahan. Sangat perlahan. Aku tidak tahu jika membuka mata setelah mati akan sesulit ini.
Hal pertama yang kutangkap setelah aku membuka sedikit netraku adalah ruangan bernuansa perak dan aksen ungu yang sangat familiar. Bukankah aku sudah mati? Lalu kenapa yang ada di hadapanku—yang masih sedikit buram—ini adalah ruangan yang mirip dengan kamarku?
Kamar?
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dengan perlahan. Pandanganku semakin jelas. Ruangan yang kulihat benar-benar kamarku. Apa setelah mati aku mendapatkan hal yang sama seperti saat aku hidup?
Kenapa aku berada di kamar? Bukankah aku sudah mati?
Lalu aku melirik ke sebelah kanan, ke tempat yang mengalirkan kehangatan. Sumber kehangatan yang tak kuketahui sebelumnya. Dan tepat ketika aku menangkap sosok yang berada di sisiku dengan kedua tangan menggenggam tanganku dengan kepala menunduk dalam. Aku menyadari darimana sumber kehangatan itu.
Rambut ungu yang gelap, segelap rambut kakakku, Falos, dengan sedikit uban. Aku tahu sosok itu bukan Falos karena dia belum beruban. Falos masih muda. Terlalu muda untuk dihukum sebengis itu.
Dan sosok yang kulihat pertama kali adalah ayahku, Mainard Starluston.
Tunggu. Ayahku? Bukankah ayah sudah meninggal sebelumku? Yang kutahu ayah dieksekusi lebih dulu daripada aku. Lalu kenapa sekarang sosoknya ada di sisiku?
Apa dia juga meninggal? Jadi dia bersamaku di sini? Apakah kami bertemu lagi setelah kematian? Jadi dia sedang menungguku menyusulnya?
Aku dirundung perasaan bingung, gusar dan gelisah yang bercampur menjadi satu lalu diaduk hingga segalanya larut. Aku pun menggerakkan tanganku dan mencoba menyentuhnya dengan tanganku yang lain.
Rasanya sakit sekali. Seluruh tubuhku, bahkan tanganku yang lain. Apa yang terjadi sebenarnya?
“A ... Ayah ...?” panggilku dengan suara lirih.
Seluruh tubuhku terasa lemas dan lelah—juga nyeri. Aku tidak yakin apakah ayah mendengarku atau tidak karena suaraku yang lirih.
Aku pun mencoba memanggil ayahku kembali. Aku sangat rindu padanya. Semoga sosok di sisiku ini bukanlah ilusi belaka. Aku tidak ingin melihat adegan mengerikan itu lagi.
“Ayah ...” panggilan keduaku juga tidak berhasil.
Sosok yang kukenali sebagai ayahku itu masih tak bergeming. Ia masih menunduk dalam. Rasa sedih di hatiku pun mulai membuncah.
Apa ayahku benar-benar pergi? Apa yang sebenarnya terjadi?
Seperti menjawab permohonan dalam kesedihanku, sosok itu bergerak pelan. Aku bisa mendengar erangan pelan suara berat yang sangat kurindukan. Aku bisa melihatnya menegakkan tubuh sambil mengusap wajahnya.
“Ah ... sudah pukul berapa ini?”
Aku bisa mendengar suara ayahku. Apakah tadi ia tertidur dengan posisi duduk yang sangat tidak nyaman itu?
Air mataku meluncur begitu saja saat melihat wajah ayahku dan matanya yang menatapku dengan tatapan terkejut.
“Ly ... Lyra? Kau ... kau sadar? Sejak kapan?” ucap ayahku dengan suara bergetar. Pria itu mendekatkan tubuhnya seraya berlutut menyamakan posisinya dengan tinggi ranjang tidurku.
Aku masih menangis lalu bibirku mengucapkan kata seperti anak kecil yang baru bisa berbicara.
“Ayah ...”
Ayah langsung bangkit dan memelukku dengan erat. Aku agak terkejut tapi aku membalas pelukannya juga. Aku merindukan pelukan ayah. Syukurlah ini bukan mimpi. Syukurlah hal mengerikan yang kualami sebelumnya ternyata hanyalah mimpi.
“Terima kasih karena kau sudah bangun, Nak! Kupikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi!” ujar ayah dengan suara parau.
Ayah menangis.
Hal yang sangat amat jarang terjadi. Terakhir kali aku melihat ayah menangis adalah ketika kematian ibu. Setelahnya tidak pernah kulihat ia menangis lagi.
Setelah memelukku agak lama, ayah segera memanggil Irene, pelayan pribadiku, untuk memanggil seorang dokter. Aku bisa melihat Irene juga menangis ketika melihatku tersenyum lemah. Padahal seingatku aku barusaja mengalami hal yang mengerikan—eksekusi—dan tiba-tiba aku terbangun di kamarku dengan tangan ayah yang menggenggam tanganku erat.
“Ayah ... aku senang sekali melihatmu.”
Ayah membelai pipiku dengan lembut dan menghapus air mataku. Aku masih dalam posisi berbaring. Aku tidak bisa berhenti menangis.
“Ayah juga ... Kenapa kau menangis, Lyra? Apa yang kau alami dalam mimpimu sampai kau tak kunjung bangun? Apa kau bermimpi hal yang sangat menyenangkan?”
Aku menggeleng.
“Aku bermimpi sangat panjang. Tapi itu bukan mimpi yang menyenangkan ...”
Ayah kembali memelukku dengan lembut.
“Tak apa. Itu hanya mimpi. Yang terpenting sekarang kau sudah sadar. Ayah benar-benar bersyukur ...”
Aku tersenyum lagi. Aku juga bersyukur masih bisa bertemu dengan ayahku. Semoga saja ini benar-benar nyata. Aku tidak ingin mengalami hal mengerikan itu lagi. Tidak.
Tak lama kemudian, seorang dokter yang kuingat benar bernama Phillip Patton, berjalan ke arahku diikuti dengan Irene dan Falos.
Ah, Falos ... kakakku. Dia terlihat sehat. Sangat sehat.
“Lyra ... kau benar-benar sudah sadar ...” ujarnya dengan tatapan sendu bercampur bahagia. Justru akulah yang lebih bahagia karena melihatnya berdiri tegak di sana.
Falos tidak mati.
Begitu juga dengan ayah dan aku. Kalau saja aku bisa bangkit dan berdiri sekarang, aku akan memeluknya.
“Aku akan memeriksamu sebentar, Nona.”
*****
Setelah Dokter Patton memeriksaku dengan teliti dan lembut. Ia segera memberitahu jika aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat dan memulihkan lukaku. Aku sedikit bingung dengan luka yang dimaksud Dokter Patton.
Apa aku terluka? Kapan?
Tepat setelah Dokter Patton mengatakan semua hal yang kubutuhkan dan bagaimana perawatan selanjutnya, ia segera pamit pergi.
Ayah membantuku untuk menyandarkan punggung karena aku ingin duduk.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya melempar tatapan pada ayah dan kakakku. Ayah dan Falos saling berpandangan sebelum salah satu dari mereka bersuara.
“Kau tak sadarkan diri selama satu minggu setelah misimu di bagian barat,” Falos memberitahu. Ucapannya lantas membuat otakku berusaha mengingat kembali. Menggali ingatan yang sudah tertumpuk dengan ingatan mimpi mengerikan yang kualami.
Aku pun teringat. Benar. Misi di wilayah bagian barat, desa yang berada di bawah tanggung jawab Count Chander.
Banjir itu!
“Apa anak-anak itu selamat?” tanyaku tiba-tiba setelah aku berhasil mengingat semuanya. Waktu itu aku sedang menjalankan tugas untuk mengevakuasi warga karena banjir yang datang tiba-tiba. Lalu aku berusaha menyelamatkan dua anak kemudian .... kami hanyut?
Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya.
Falos dan ayahku saling melempar pandangan lagi. Falos menyunggingkan senyuman sambil membelai puncak kepalaku dengan lembut.
“Mereka selamat. Kalian hanyut terbawa arus. Kedua anak itu baik-baik saja karena kau melindungi mereka. Tapi kau terluka dan tidak sadarkan diri selama satu minggu,” jelas Falos.
“Asal kau tahu, Count Chander sampai mengirimkan surat untuk menanyakan keadaanmu. Para ksatria yang bertugas bersamamu juga kemari, begitu juga dengan Lady Marsh. Kau membuat banyak orang khawatir,” lanjutnya.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia dan kelegaanku.
“Maafkan aku.”
“Sebaiknya tidak kau ulangi. Atau aku mungkin bisa saja memaksamu berhenti menjadi ksatria.” Ayahku menambahkan. Aku tertawa pelan.
“Jangan, kumohon.” Ayah pun membelai puncak kepalaku.
“Ayah benar-benar senang kau kembali. Makanlah lalu istirahat dan jangan lupa bangun.”
Aku pun mengangguk dengan menunjukkan senyuman terbaik yang tidak pernah kutunjukkan pada siapapun. Yang jelas aku sangat lega karena semua yang kualami sebelumnya hanyalah mimpi belaka.
*****
Tiga hari kemudian Ellia mengunjungiku karena aku masih cuti dari segala kegiatan ksatria. Ayahku sendiri yang meminta agar Duke Finlay—yang merupakan atasanku—untuk mengizinkanku libur sampai aku benar-benar pulih. Tentu saja Kapten Finlay tidak akan bisa berkata tidak.
“Kau tidak tahu betapa bahagianya aku bisa berbicara denganmu lagi, Lyra!”
Ini sudah ketiga kalinya Ellia berkata begitu dengan menyeka air matanya. Aku hanya bisa terkekeh pelan melihat tingkah Ellia.
“Maaf aku membuatmu khawatir, Lia.”
“Tentu saja kau membuatku khawatir! Bahkan ada rumor yang mengatakan kalau kau meninggal! Aku benar-benar takut, kau tahu?! Saat itu kau tiba-tiba terbawa arus begitu ... dan aku ... uhh. Yang jelas aku bersyukur kau sudah bangun!”
Aku tersenyum senang mendengar ucapan Ellia.
Dia adalah satu dari sekian orang yang tulus berteman denganku. Putri dari Baron Marsh yang baik hati dan pemberani ini adalah salah satu alasanku bahagia. Diantara sekian banyak orang yang merendahkanku karena aku adalah Starluston tanpa kekuatan, Ellia yang sangat baik hati ini mau berteman denganku sejak pertama kali kami bertemu di pesta penerimaan ksatria baru. Meskipun status keluarganya berada di keluargaku, tapi aku tidak pernah mempermasalahkannya. Aku tidak peduli.
Ellia tak tahu betapa bersyukurnya aku memiliki orang sepertinya di sisiku.
“Apa akhir-akhir ini banyak yang kau kerjakan?” tanyaku sebelum menyesap secangkir teh yang kupegang.
Aroma teh yang sangat kurindukan ini rasanya seperti meluruhkan segala kegelisahanku.
Ellia menggeleng.
“Tidak. Hanya patroli di ibukota. Setelah kejadian banjir itu, untungnya tidak ada korban jiwa, semua yang terlibat dalam evakuasi diberi waktu senggang. Waktu yang tepat untuk istirahat apalagi karena kau adalah satu-satunya yang jadi korban.”
Rasanya aku sangat malu. Sebagai ksatria seharusnya aku tidak selemah itu. Namun di sisi lain aku bersyukur tak ada korban jiwa dari penduduk dan dua anak yang bersamaku selamat.
“Tapi kau sangat hebat. Para penduduk yang mengungsi waktu itu khawatir padamu setelah mendengar kabar bahwa kau tak sadarkan diri. Kakakmu bersama Pangeran datang membantu keesokan harinya dan kau dibawa pulang oleh kakakmu.”
“Kau benar-benar bodoh kalau boleh kukatakan, maafkan aku. Bergerak ceroboh saat situasi berbahaya ... itu benar-benar seperti bukan kau, Lyra,” lanjut Ellia.
Aku mengedikkan bahu seolah itu bukan sepenuhnya kehendakku. “Entahlah. Saat itu yang kupikirkan hanya ingin menyelamatkan kedua anak itu. Hanya itu saja ...”
“Iya dan kau tidak memikirkan dirimu sendiri,” cibir Ellia.
“Aku akan lebih berhati-hati, aku janji,” ucapku dengan tertawa pelan.
Aku melihat ke arah langit yang sangat cerah sore ini. Mega oranye menambah kesan tenang senja ini dan membuatku menyadari jika ini semua adalah nyata.
Benar. Hal mengerikan yang kurasakan saat itu hanyalah mimpi belaka.
Ellia turut memerhatikan pemandangan langit sore yang menenangkan bersamaku.
“Langitnya benar-benar indah.”
Aku setuju dengan ucapan Ellia. Lalu gadis itu bangkit dari duduknya dan tersenyum padaku.
“Matahari sudah hampir tenggelam. Aku harus segera kembali, Lyra. Aku benar-benar senang kau baik-baik saja,” ujarnya seraya berdiri lalu berjalan mendekat.
Aku pun bangkit dan Ellia memelukku singkat.
“Sampai jumpa saat kau kembali ke markas!” serunya dengan antusias.
Benar.
Aku juga sudah tidak sabar untuk kembali ke markas. Ke tempat satu-satunya pekerjaan yang kusuka. Sekalipun aku tahu akan ada banyak orang yang membicarakanku nanti karena kelemahanku. Aku tidak peduli.
“Tentu saja!”
Aku mengantar Ellia sampai gerbang depan kediamanku. Kereta kuda sudah menunggu di depan gerbang atas permintaanku untuk mengantar Ellia kembali ke kediamannya.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini, Ellia.”
“Aku akan menemanimu kapanpun, Lady Starluston,” ucapnya dengan nada bercanda.
Ia pun masuk ke dalam kereta kuda dan kami saling melambaikan tangan. Ellia pun perlahan menjauh bersama kereta kuda.
Aku menghela napas pelan. Dua hari lagi cutiku berakhir dan aku akan kembali sebagai ksatria. Aku hanya berharap keadaan tidak semakin buruk. Orang-orang yang membenci keluargaku sudah pasti menyebarkan rumor-rumor tentangku, sebagai ksatria yang lemah karena terluka ketika seharusnya aku menolong para penduduk.
Tapi, apa yang bisa lebih buruk dari mimpi burukku kemarin?
Rumor tidak penting itu tidak lebih buruk dari mimpiku.
Aku bisa mengatasinya dengan mudah. Benar, aku tidak perlu memerdulikannya seperti biasa karena itu bukanlah hal yang asing bagiku.
Perkiraanku benar seratus persen. Aku tidak menyangka jika rumor menggelikan itu bahkan sampai ke markas ksatria. Orang-orang payah itu benar-benar melakukan segala cara untuk menjatuhkan reputasiku apapun yang kulakukan. Bahkan ketika aku berjalan di koridor menuju ruangan Kapten, beberapa ksatria terlihat dengan jelas berbisik-bisik seakan tidak peduli jika aku mendengar ucapan mereka.Haruskah aku menggunakan statusku sebagai Starluston untuk membuat mereka berhenti bicara? Lagipula status keluargaku lebih tinggi dari mereka semua karena Duke Finlay dan Yang Mulia Raja tidak memiliki putri.Alih-alih melakukan apa yang kupikirkan, aku berjalan mengacuhkan mereka karena rumor itu tak akan memengaruhiku. Aku pun sampai di depan pintu kayu ruangan Kapten. Setelah tiga ketukan, asisten Kapten Finlay, Jackson Rush membukakan pintu untukku.“Oh, Nona Starluston. Silahkan masuk!” sapanya dengan ramah.Jackson Rush adalah tangan kanan Kapten Finlay. Ia terkenal sangat tenang dan cekatan d
Selama sebulan menjadi asisten kapten, tidak banyak hal yang berubah kecuali misi yang berkurang. Itu semua karena tugasku di kantor ksatria jadi lebih banyak. Tenggelam bersama dokumen-dokumen tidak lantas membuatku bosan. Ini malah jauh lebih baik daripada berurusan dengan orang-orang. Rumor miring tentangku juga sudah mulai memudar. Sudah kuduga lama kelamaan rumor seperti itu akan surut termakan waktu. Kecuali satu, tentang aku yang belum menunjukkan kekuatan. Tapi aku tidak banyak ambil pusing—lebih tepatnya tidak peduli. “Duduk dan minumlah dulu, Lady Starluston.” Kapten mempersilahkanku untuk duduk bersamanya dan menikmati teh serta kue kering yang barusaja dibawa oleh pelayan. “Terima kasih, Kapten.” Aku pun duduk dengan tenang dan menyesap teh yang rasanya membuat rasa lelahku menguar begitu saja. Tepat ketika kami berdua sedang menikmati secangkir teh dengan tenang sambil menghadap jendela besar di belakang kursi kapten, salah seorang ksatria masuk dengan terbu
Aku merasa tidak asing dengan suara mereka. Mereka jelas berada di pihak yang berbeda dengan kami. Singkatnya mereka pasti adalah para bangsawan yang menentang keberadaan keluargaku—lebih tepatnya posisi keluargaku.“Para pendukung Duke Colinus ....” Aku berucap pada diriku sendiri.Tidak ada orang lain yang membenci keluargaku lebih dari pria tua dengan tatapan memuakkan itu. Duke Colinus memang sedari dulu menentang keluargaku yang diistimewakan karena memiliki kekuatan semacam sihir dan telah bersumpah setia pada kerajaan selamanya. Intinya, bisa dibilang ia sangat iri dengan kemampuan yang dimiliki oleh keturunan Starluston.Mereka berpikir jika berhasil menyingkirkan Falos, maka keluarga Starluston tidak bisa apa-apa karena tidak akan memiliki penerus yang layak.Ah, rasanya aku jadi ingin keluar dari sini dan menemui mereka lalu melayangkan beberapa pukulan serta tendangan. Itu kalau saja aku melupakan statusku sebagai Starluston dan seorang Lady. Tak lama setelah itu aku m
Minggu yang kutunggu akan berita tentang pemberontakan perlahan terus berlanjut. Aku menunggu dengan gusar dan kekhawatiran yang semakin hari semakin membesar. Semakin kupikirkan, semakin itu membuatku takut. Malam yang biasanya tenang dan angin semilir yang biasanya berhasil membuatku tenang untuk tidur, kini tidak lagi. Aku tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan teh chamomile yang biasa kuminum sebelum tidur tidak berhasil menenangkan dan membuat rasa kantukku datang. Aku selalu berharap mimpi hanyalah bunga tidur yang tidak akan pernah terjadi. Tapi pagi ini aku sudah dikejutkan dengan Ayah yang pergi buru-buru di pagi buta dan ketidakhadiran Kapten Finlay di ruangannya. Perasaanku buruk. Sangat buruk. Bahkan ketika Irene memberikanku teh yang hangat dan seharusnya menenangkan serta cemilan manis kesukaanku tadi pagi, semuanya hambar dan sulit kutelan. Ini bukan pertanda bagus. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku tanpa petunjuk seraya duduk di kursi kerjaku selepas apel pagi.
Aku tidak bisa tidur, tentu saja. Aku sudah menenggak habis dua cangkir teh yang biasanya bisa merilekskan pikiran dan tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kubiarkan saja mataku terbuka lebar. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku setelah Irene kuminta untuk meninggalkanku sendirian. Semua pertanyaan berputar-putar di kepalaku.Siapa yang menyerang mereka? Kenapa mereka diserang? Kenapa hanya Falos yang menghilang? Bukankah jika mereka memang dendam pada Atterian maka masuk akal kalau Pangeran yang akan diculik? Kemudian satu pertanyaan besar muncul di benakku.“Apa mereka memang sengaja mengincar Falos? Jika benar, kenapa? Apa mereka punya dendam pada Falos? Atau—Starluston?” ucapku pada diri sendiri. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan yang berlalu-lalang dengan liar di kepalaku dan itu membuatku semakin tidak bisa tidur.Kalau saja aku bisa membangkitkan kemampuanku … aku sangat berharap bisa menemukan jejak Falos. Di saat seperti ini aku frustasi karena tidak ada yang bisa
Setelah pertemuan di istana kemarin, aku mengirimkan seseorang untuk menyelidiki tempat hilangnya Falos. Aku sudah berdiskusi dengan Pangeran bahwa kami akan mengirimkan orang terlebih dahulu sebelum terjun langsung ke sana untuk meminimalisir bahaya. Karena penyelidikan inilah Aku jadi sering berjumpa dengan Pangeran dan juga Federick Finlay. Bahkan siang ini setelah makan siang, kami akan menemui para ksatria yang ikut dalam rombongan kemarin. Semua ksatria yang terluka sudah mulai membaik dan mereka setuju untuk memberikan kesaksian. Di sinilah aku berada di ruang kerja Pangeran bersama para ksatria dan tentu saja perwakilan dari pihak Duke Colinus yang juga ikut dilibatkan.“Bicaralah padaku apa yang kalian lihat saat aku tidak sadarkan diri waktu itu,” titah Pangeran dari balik mejanya.“Seperti yang Pangeran tahu, kita semua diserang orang-orang berjubah hitam. Mereka punya kemampuan bertarung yang asing bagi kami. Bahkan sebelum Sir Falos bisa membalas serangan mereka, ia sudah
Aku berjalan dengan pikiran penuh kekhawatiran serta tanda tanya besar soal siapa pelaku yang menculik Falos. Pelakunya punya kekuatan sihir, jika kemampuannya biasa saja tidak mungkin Falos kalah begitu saja. Apa mereka lebih kuat dari Falos? Atau … lebih licik? Karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tanpa sadar berjalan saja hingga menabrak seseorang yang barusaja keluar dari ruangan kapten. Aku langsung mengaduh kecil seraya menyentuh keningku yang menabrak seseorang. “Senior!” sapanya padaku dan membuatku otomatis mendongak. Rupanya aku menabrak Alvin Coulston, asisten penggantiku. Dia menatapku dengan heran karena aku menabraknya tiba-tiba. “Ah, Coulston. Maaf aku tadi tidak memerhatikan jalan,” sesalku. Alvin mengangguk, “Aku mengerti. Anda pasti banyak pikiran,” katanya. Aku tersenyum kecil. “Kau mau kemana?” tanyaku karena Alvin kelihatannya hendak pergi dari ruangan kapten. “Ke perpustakaan. Kapten memintaku mengambil beberapa buku.” “Baiklah kalau begitu.”
Aku bersama para ksatria lain yang ditugaskan, termasuk Federick Finlay, dan dipimpin oleh Pangeran Clifton segera bersiap untuk menuju hutan timur. Menurut informasi, para pemberontak itu menyerang warga yang tinggal di perbatasan antara Rovel dan Atterian dekat dengan hutan timur.Soal hutan timur sendiri, hutan itu adalah perbatasan wilayah kami. Memang banyak hal sering terjadi di sana. Seharusnya perbatasan memang dijaga dengan baik apalagi di situasi seperti ini. Namun karena kejadian kemarin—ketika Falos menghilang—ksatria yang bersama mereka adalah para penjaga perbatasan. Mereka yang menggantikan posisi penjaga perbatasan rupanya tidak setangguh yang seharusnya.“Kupikir mereka sudah dilatih dengan baik, tapi ternyata sedikit mengecewakan,” ucap Federick dari atas kudanya. Tidak hanya dia saja, aku pun merasa demikian. Mereka sudah dilatih dan bahkan telah diberikan pengarahan mengingat perseteruan dengan Rovel akhir-akhir ini. Tapi kami tidak tahu pasti kenapa mereka bisa ke
Aku tidak menyangka jika Irene akan lebih bersemangat dariku untuk memulai pagi ini. Ia memanggil berkali-kali, tidak—ralat, aku sudah menghitung sekitar lima kali ia memanggilku. Aku memang sengaja mengabaikan dua panggilan terakhirnya. Mungkin ia sudah lebih dari lima kali memanggilku karena ketika aku bangun, aku hanya menghitung lima panggilan.“Nona, serius! Bukankah anda ada janji latihan dengan Tuan Marquess hari ini? Sebaiknya anda segera beranjak. Air hangatnya sudah siap!” serunya dengan nada yang sedikit frustasi. Sepertinya sudah waktunya aku menghiraukan gadis yang lima tahun lebih tua dariku ini.Aku bangkit dengan santai dan menyingkap selimut tebalku lalu turun untuk segera menyambut air hangat yang disiapkan oleh Irene dan pelayan lain.“Iya iya aku dengar.” Setelah melakukan serangkaian persiapan—sekaligus sarapan, rupanya ayahku sudah menunggu di halaman belakang dengan pakaian latihannya. Aku menghampirinya dengan mengenakan pakaian latihan yang biasa
Setelah kekacauan di perbatasan usai diatasi, orang-orang yang terluka telah diobati dan para kesatria penjaga perbatasan sudah kembali bertugas, Aku bersama Pangeran dan Federick Finlay memilih untuk kembali lebih dulu. Kami kembali bersama tiga kesatria lain dan sisanya menjaga perbatasan sekaligus mengelola tempat pengungsian warga. Akan ada banyak hal yang perlu disiapkan untuk mereka, salah satunya kebutuhan logistik. Oleh karena itu kesatria yang kembali bersama kami akan ditugaskan untuk urusan itu bersama kesatria lain yang ada di pusat kerajaan. Sedangkan kami harus kembali memikirkan rencana untuk menemukan Falos. Ah, aku hampir lupa soal tiga pemberontak itu. Mereka bertiga ikut bersama kami ke istana. Soal apa yang akan dilakukan pada mereka, biarlah Pangeran dan Yang Mulia yang memutuskan.Satu hal lagi.Jujur saja aku sedang tidak sabar untuk bertemu ayahku dan aku yakin dia akan terkejut—sangat.Perasaan inferior yang selama ini kurasakan karena tidak memiliki kek
“Tidak mungkin Lyra Starluston juga punya kekuatan!” seru penyihir yang barusaha diringkus oleh Federick Finlay. Setelah penyihir itu jatuh dan Federick Finlay meringkusnya tanpa basa-basi, kami segera kembali. Saat perjalanan menuju tenda pengungsian, aku masih tidak bisa memercayai diriku sendiri.Bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Semua terlalu tiba-tiba bahkan aku sendiri tidak mengerti.*****“Apa kau memikirkan soal tadi, Lady Starluston?” tanya Federick tiba-tiba. Ia barusaja menyerahkan penyihir itu dan mengumpulkan mereka di satu tenda lain dan diikat bersama. Mereka berencana melakukan interogasi setelahnya.Aku tidak bisa berbohong. Aku mengangguk sambil melihat kedua tanganku sendiri. “Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi … bagaimana aku melakukannya?”“Apa yang kau rasakan tadi, Lyra?”Aku memicingkan mata pada Federick Finlay karena ia memanggilku dengan nama depan. Dulu dia memang sering melakukannya, tapi sekarang rasanya aneh.“Astaga, aku sudah sering memangg
Aku bersama para ksatria lain yang ditugaskan, termasuk Federick Finlay, dan dipimpin oleh Pangeran Clifton segera bersiap untuk menuju hutan timur. Menurut informasi, para pemberontak itu menyerang warga yang tinggal di perbatasan antara Rovel dan Atterian dekat dengan hutan timur.Soal hutan timur sendiri, hutan itu adalah perbatasan wilayah kami. Memang banyak hal sering terjadi di sana. Seharusnya perbatasan memang dijaga dengan baik apalagi di situasi seperti ini. Namun karena kejadian kemarin—ketika Falos menghilang—ksatria yang bersama mereka adalah para penjaga perbatasan. Mereka yang menggantikan posisi penjaga perbatasan rupanya tidak setangguh yang seharusnya.“Kupikir mereka sudah dilatih dengan baik, tapi ternyata sedikit mengecewakan,” ucap Federick dari atas kudanya. Tidak hanya dia saja, aku pun merasa demikian. Mereka sudah dilatih dan bahkan telah diberikan pengarahan mengingat perseteruan dengan Rovel akhir-akhir ini. Tapi kami tidak tahu pasti kenapa mereka bisa ke
Aku berjalan dengan pikiran penuh kekhawatiran serta tanda tanya besar soal siapa pelaku yang menculik Falos. Pelakunya punya kekuatan sihir, jika kemampuannya biasa saja tidak mungkin Falos kalah begitu saja. Apa mereka lebih kuat dari Falos? Atau … lebih licik? Karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tanpa sadar berjalan saja hingga menabrak seseorang yang barusaja keluar dari ruangan kapten. Aku langsung mengaduh kecil seraya menyentuh keningku yang menabrak seseorang. “Senior!” sapanya padaku dan membuatku otomatis mendongak. Rupanya aku menabrak Alvin Coulston, asisten penggantiku. Dia menatapku dengan heran karena aku menabraknya tiba-tiba. “Ah, Coulston. Maaf aku tadi tidak memerhatikan jalan,” sesalku. Alvin mengangguk, “Aku mengerti. Anda pasti banyak pikiran,” katanya. Aku tersenyum kecil. “Kau mau kemana?” tanyaku karena Alvin kelihatannya hendak pergi dari ruangan kapten. “Ke perpustakaan. Kapten memintaku mengambil beberapa buku.” “Baiklah kalau begitu.”
Setelah pertemuan di istana kemarin, aku mengirimkan seseorang untuk menyelidiki tempat hilangnya Falos. Aku sudah berdiskusi dengan Pangeran bahwa kami akan mengirimkan orang terlebih dahulu sebelum terjun langsung ke sana untuk meminimalisir bahaya. Karena penyelidikan inilah Aku jadi sering berjumpa dengan Pangeran dan juga Federick Finlay. Bahkan siang ini setelah makan siang, kami akan menemui para ksatria yang ikut dalam rombongan kemarin. Semua ksatria yang terluka sudah mulai membaik dan mereka setuju untuk memberikan kesaksian. Di sinilah aku berada di ruang kerja Pangeran bersama para ksatria dan tentu saja perwakilan dari pihak Duke Colinus yang juga ikut dilibatkan.“Bicaralah padaku apa yang kalian lihat saat aku tidak sadarkan diri waktu itu,” titah Pangeran dari balik mejanya.“Seperti yang Pangeran tahu, kita semua diserang orang-orang berjubah hitam. Mereka punya kemampuan bertarung yang asing bagi kami. Bahkan sebelum Sir Falos bisa membalas serangan mereka, ia sudah
Aku tidak bisa tidur, tentu saja. Aku sudah menenggak habis dua cangkir teh yang biasanya bisa merilekskan pikiran dan tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kubiarkan saja mataku terbuka lebar. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku setelah Irene kuminta untuk meninggalkanku sendirian. Semua pertanyaan berputar-putar di kepalaku.Siapa yang menyerang mereka? Kenapa mereka diserang? Kenapa hanya Falos yang menghilang? Bukankah jika mereka memang dendam pada Atterian maka masuk akal kalau Pangeran yang akan diculik? Kemudian satu pertanyaan besar muncul di benakku.“Apa mereka memang sengaja mengincar Falos? Jika benar, kenapa? Apa mereka punya dendam pada Falos? Atau—Starluston?” ucapku pada diri sendiri. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan yang berlalu-lalang dengan liar di kepalaku dan itu membuatku semakin tidak bisa tidur.Kalau saja aku bisa membangkitkan kemampuanku … aku sangat berharap bisa menemukan jejak Falos. Di saat seperti ini aku frustasi karena tidak ada yang bisa
Minggu yang kutunggu akan berita tentang pemberontakan perlahan terus berlanjut. Aku menunggu dengan gusar dan kekhawatiran yang semakin hari semakin membesar. Semakin kupikirkan, semakin itu membuatku takut. Malam yang biasanya tenang dan angin semilir yang biasanya berhasil membuatku tenang untuk tidur, kini tidak lagi. Aku tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan teh chamomile yang biasa kuminum sebelum tidur tidak berhasil menenangkan dan membuat rasa kantukku datang. Aku selalu berharap mimpi hanyalah bunga tidur yang tidak akan pernah terjadi. Tapi pagi ini aku sudah dikejutkan dengan Ayah yang pergi buru-buru di pagi buta dan ketidakhadiran Kapten Finlay di ruangannya. Perasaanku buruk. Sangat buruk. Bahkan ketika Irene memberikanku teh yang hangat dan seharusnya menenangkan serta cemilan manis kesukaanku tadi pagi, semuanya hambar dan sulit kutelan. Ini bukan pertanda bagus. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku tanpa petunjuk seraya duduk di kursi kerjaku selepas apel pagi.
Aku merasa tidak asing dengan suara mereka. Mereka jelas berada di pihak yang berbeda dengan kami. Singkatnya mereka pasti adalah para bangsawan yang menentang keberadaan keluargaku—lebih tepatnya posisi keluargaku.“Para pendukung Duke Colinus ....” Aku berucap pada diriku sendiri.Tidak ada orang lain yang membenci keluargaku lebih dari pria tua dengan tatapan memuakkan itu. Duke Colinus memang sedari dulu menentang keluargaku yang diistimewakan karena memiliki kekuatan semacam sihir dan telah bersumpah setia pada kerajaan selamanya. Intinya, bisa dibilang ia sangat iri dengan kemampuan yang dimiliki oleh keturunan Starluston.Mereka berpikir jika berhasil menyingkirkan Falos, maka keluarga Starluston tidak bisa apa-apa karena tidak akan memiliki penerus yang layak.Ah, rasanya aku jadi ingin keluar dari sini dan menemui mereka lalu melayangkan beberapa pukulan serta tendangan. Itu kalau saja aku melupakan statusku sebagai Starluston dan seorang Lady. Tak lama setelah itu aku m