"Nggak usah, Mas. Cio masih kecil, dia belum butuh kayak gini. Kalau kamu pengen meluluhkan hati dia, jangan disogok terus pakai materi. Anak kecil itu butuhnya kasih sayang, bukan barang-barang mahal," ujar Luna dengan tegas.
Ardan terdiam, lalu mengambil kunci itu dari meja. Tapi, alih-alih menyimpannya kembali, ia justru menggenggam tangan Luna dan menaruh kunci tersebut di sana. "Anggap aja ini gantinya nafkah selama lima tahun ini," ucapnya.Luna menatap kunci di tangannya sambil menghela napas panjang. Hatinya masih berat, bingung antara menerima atau mengembalikan."Tolong jangan ditolak, Luna. Cuma itu cara yang saya bisa buat menebus nafkah yang terlewatkan. Kalau kamu tolak, saya akan merasa bersalah seumur hidup," ujar Ardan dengan nada tulus. "Masalah kasih sayang, saya akan terus berusaha untuk mendekati dan meluluhkan hati Cio. Saya janji."Luna menatap pria itu dalam diam. Sorot matanya menunjukkan konflik b"Arcio? Wah... namanya mirip sama anaknya Kak Luna!" seru Nayla dengan semangat, membuat beberapa mahasiswa lain ikut memperhatikannya."Mirip doang. Anak tetanggaku juga ada yang namanya Arcio," sahut Siska dengan ketus. Luna hanya tersenyum tipis, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan obrolan yang mengarah pada sesuatu yang tidak ingin ia bahas."Kamu kenapa, Sis? Kok sewot?" tanya salah satu temannya. "Enggak. Siapa yang sewot?" balas Siska dengan nada ketus. Luna hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sudah tidak heran lagi, Siska memang selalu sensitif dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Sementara itu, Ardan yang memahami situasi segera mengalihkan perhatian. Ia menyuruh mahasiswanya yang sedang presentasi untuk melanjutkan diskusi. Beberapa menit kemudian, Sila kembali dengan membawa satu kantong yang penuh dengan mainan bebek. Sila menyerahkan itu kepada Ardan, lalu kembali duduk di bangkunya dengan sikap sopan. Setelah jam perkuliahan selesai, Ardan mengir
Dylan keluar tanpa banyak kata, hanya menyempatkan diri melirik sekilas ke arah Ardan sebelum menutup pintu. Begitu Dylan pergi, Ardan langsung mendekati Luna, sementara Luna yang kesal dengan sikapnya hanya melemparkan tatapan sinis."Nggak sopan banget ngusir Dokter," ketus Luna. Ardan mendengus, wajahnya tampak masam. "Dia harus tahu tempat. Selesai memeriksa ya langsung keluar. Buat apa dia lama-lama di sini? Dia cuma Dokter, kan?"Seketika Luna langsung menatapnya dengan tatapan jijik. "Dih… sok-sokan banget," sergahnya tajam. "Dia itu bukan Dokter biasa. Dia Dokter yang selama ini dianggap Cio sebagai Ayah," tegas Luna, menekankan setiap katanya.Ardan terdiam, hatinya semakin diliputi rasa kesal dan cemburu setelah mendengar ucapan Luna. "Siapapun yang dianggap ayahnya, tetap nggak ada yang bisa ngalahin kasih sayang Ayah kandungnya," ujar Ardan sambil memandangi Cio yang sedang tertidur pulas di atas ranjang.Luna memutar bola matanya malas, lalu tertawa sumbang. "Baru juga
Dylan terus melemparkan tatapan sinis ke arah Ardan yang kini sedang menyuapi Luna makan. Ia merasa iri melihat pemandangan itu, harusnya ia yang berada di posisi itu, bukan Ardan. Luna pun terpaksa menerima suapan dari Ardan. Rasa lemas yang melanda tubuhnya membuatnya bahkan tidak mampu mengangkat sendok sendiri. "Udah, Mas," ucap Luna lirih. Ardan mengangguk pelan. "Minum dulu," katanya lembut sambil menyodorkan gelas air putih ke arah Luna. Luna meraih gelas itu dengan tangan gemetar, lalu meneguk airnya dengan perlahan."Ini obatnya," ujar Ardan lagi setelah membuka bungkus obat dan mengeluarkan dua butir tablet.Luna mengambil obat itu dari tangannya dan langsung menelannya bersama sisa air putih di gelas. Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya di sofa dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin. Melihat Ardan yang membantu membenarkan selimut Luna, hati Dylan semakin kebakaran. Ia pun membaringkan Cio yang sudah mulai tenang, lalu berjalan menghampiri Lun
Pagi harinya, ketika baru saja bangun dari tidurnya, Ardan masuk ke dalam kamar Wulan untuk mengambil bajunya. Meskipun mereka sudah pisah ranjang, Ardan belum sempat memindahkan pakaian-pakaiannya dari kamar ini. Bahkan tadi malam, ia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu daripada bersama Wulan di kamar.Saat sedang mencari baju di lemari, Ardan melihat ponsel Wulan yang menyala karena ada notifikasi masuk. Rasa penasaran tiba-tiba muncul dalam dirinya. Mumpung Wulan sedang berada di kamar mandi, ia pun meraih ponsel itu dan membaca pesan yang masuk.Desy New:[Hari ini Amar berangkat][Aku kasih uang saku lima juta]Ardan menggulir pesan tersebut ke atas, matanya menyipit membaca setiap kata. Begitu membaca pesan yang dikirim oleh Wulan tadi malam, rahang Ardan langsung mengeras dan tangannya meremas ponsel itu dengan kuat."Sialan, beraninya kamu, Wulan!" gumam Ardan dengan suara penuh amarah.Ardan meletakkan ponsel itu kembali, lalu dengan cepat keluar dari kamar dan mengambil p
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi harinya, ketika baru saja bangun dari tidurnya, Ardan masuk ke dalam kamar Wulan untuk mengambil bajunya. Meskipun mereka sudah pisah ranjang, Ardan belum sempat memindahkan pakaian-pakaiannya dari kamar ini. Bahkan tadi malam, ia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu daripada bersama Wulan di kamar.Saat sedang mencari baju di lemari, Ardan melihat ponsel Wulan yang menyala karena ada notifikasi masuk. Rasa penasaran tiba-tiba muncul dalam dirinya. Mumpung Wulan sedang berada di kamar mandi, ia pun meraih ponsel itu dan membaca pesan yang masuk.Desy New:[Hari ini Amar berangkat][Aku kasih uang saku lima juta]Ardan menggulir pesan tersebut ke atas, matanya menyipit membaca setiap kata. Begitu membaca pesan yang dikirim oleh Wulan tadi malam, rahang Ardan langsung mengeras dan tangannya meremas ponsel itu dengan kuat."Sialan, beraninya kamu, Wulan!" gumam Ardan dengan suara penuh amarah.Ardan meletakkan ponsel itu kembali, lalu dengan cepat keluar dari kamar dan mengambil p
Dylan terus melemparkan tatapan sinis ke arah Ardan yang kini sedang menyuapi Luna makan. Ia merasa iri melihat pemandangan itu, harusnya ia yang berada di posisi itu, bukan Ardan. Luna pun terpaksa menerima suapan dari Ardan. Rasa lemas yang melanda tubuhnya membuatnya bahkan tidak mampu mengangkat sendok sendiri. "Udah, Mas," ucap Luna lirih. Ardan mengangguk pelan. "Minum dulu," katanya lembut sambil menyodorkan gelas air putih ke arah Luna. Luna meraih gelas itu dengan tangan gemetar, lalu meneguk airnya dengan perlahan."Ini obatnya," ujar Ardan lagi setelah membuka bungkus obat dan mengeluarkan dua butir tablet.Luna mengambil obat itu dari tangannya dan langsung menelannya bersama sisa air putih di gelas. Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya di sofa dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin. Melihat Ardan yang membantu membenarkan selimut Luna, hati Dylan semakin kebakaran. Ia pun membaringkan Cio yang sudah mulai tenang, lalu berjalan menghampiri Lun
Dylan keluar tanpa banyak kata, hanya menyempatkan diri melirik sekilas ke arah Ardan sebelum menutup pintu. Begitu Dylan pergi, Ardan langsung mendekati Luna, sementara Luna yang kesal dengan sikapnya hanya melemparkan tatapan sinis."Nggak sopan banget ngusir Dokter," ketus Luna. Ardan mendengus, wajahnya tampak masam. "Dia harus tahu tempat. Selesai memeriksa ya langsung keluar. Buat apa dia lama-lama di sini? Dia cuma Dokter, kan?"Seketika Luna langsung menatapnya dengan tatapan jijik. "Dih… sok-sokan banget," sergahnya tajam. "Dia itu bukan Dokter biasa. Dia Dokter yang selama ini dianggap Cio sebagai Ayah," tegas Luna, menekankan setiap katanya.Ardan terdiam, hatinya semakin diliputi rasa kesal dan cemburu setelah mendengar ucapan Luna. "Siapapun yang dianggap ayahnya, tetap nggak ada yang bisa ngalahin kasih sayang Ayah kandungnya," ujar Ardan sambil memandangi Cio yang sedang tertidur pulas di atas ranjang.Luna memutar bola matanya malas, lalu tertawa sumbang. "Baru juga
"Arcio? Wah... namanya mirip sama anaknya Kak Luna!" seru Nayla dengan semangat, membuat beberapa mahasiswa lain ikut memperhatikannya."Mirip doang. Anak tetanggaku juga ada yang namanya Arcio," sahut Siska dengan ketus. Luna hanya tersenyum tipis, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan obrolan yang mengarah pada sesuatu yang tidak ingin ia bahas."Kamu kenapa, Sis? Kok sewot?" tanya salah satu temannya. "Enggak. Siapa yang sewot?" balas Siska dengan nada ketus. Luna hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sudah tidak heran lagi, Siska memang selalu sensitif dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Sementara itu, Ardan yang memahami situasi segera mengalihkan perhatian. Ia menyuruh mahasiswanya yang sedang presentasi untuk melanjutkan diskusi. Beberapa menit kemudian, Sila kembali dengan membawa satu kantong yang penuh dengan mainan bebek. Sila menyerahkan itu kepada Ardan, lalu kembali duduk di bangkunya dengan sikap sopan. Setelah jam perkuliahan selesai, Ardan mengir
"Nggak usah, Mas. Cio masih kecil, dia belum butuh kayak gini. Kalau kamu pengen meluluhkan hati dia, jangan disogok terus pakai materi. Anak kecil itu butuhnya kasih sayang, bukan barang-barang mahal," ujar Luna dengan tegas. Ardan terdiam, lalu mengambil kunci itu dari meja. Tapi, alih-alih menyimpannya kembali, ia justru menggenggam tangan Luna dan menaruh kunci tersebut di sana. "Anggap aja ini gantinya nafkah selama lima tahun ini," ucapnya. Luna menatap kunci di tangannya sambil menghela napas panjang. Hatinya masih berat, bingung antara menerima atau mengembalikan. "Tolong jangan ditolak, Luna. Cuma itu cara yang saya bisa buat menebus nafkah yang terlewatkan. Kalau kamu tolak, saya akan merasa bersalah seumur hidup," ujar Ardan dengan nada tulus. "Masalah kasih sayang, saya akan terus berusaha untuk mendekati dan meluluhkan hati Cio. Saya janji." Luna menatap pria itu dalam diam. Sorot matanya menunjukkan konflik b
Setiap kali bertemu dengan Ardan, Luna selalu dibuat pusing. Pokoknya ada saja gebrakannya yang sukses memancing emosinya setiap kali mereka bertemu. Seperti saat ini, kepala Luna masih berdenyut nyeri memikirkan ucapan Ardan di Mal tadi. "Huft... umur segitu emang lagi lucu-lucunya," gumam Luna sambil berbaring di tempat tidurnya. Ia sudah berganti piyama, memakai skincare, dan menyelesaikan semua rutinitas malamnya. Sekarang, tinggal tidur saja karena besok ia harus bangun subuh untuk membuat kue yang harus dijual. "Bunda, mainan Cio ditaruh mana?" tanya Cio sambil berlari kecil memasuki kamar. "Udah Bunda simpan. Sekarang waktunya tidur. Ayo, naik ke sini," jawab Luna, sambil menepuk-nepuk tempat tidur di sampingnya dengan lembut. Cio mengerucutkan bibirnya kesal. Dengan wajah yang cemberut, ia akhirnya memanjat ke atas ranjang dan berbaring di samping bundanya. Luna meletakkan ponselnya ke meja samping t
Meski sudah ditolak mentah-mentah dan bahkan diusir oleh anaknya, Ardan tetapi membuntuti Luna dan Cio. Ke mana pun Luna dan Cio pergi, ia selalu mengikuti dari belakang. Tidak peduli meskipun Cio menangis atau marah-marah, Ardan tetap memasang wajah datar. "Kamu nggak boleh ikut!" seru Cio yang tiba-tiba berbalik dan memukul Ardan yang mengikuti di belakangnya.Luna menghela napas panjang. Ia sudah lelah, lelah menegur Cio dan juga lelah menegur Ardan. Mereka berdua sama saja, sama-sama keras kepala dan tidak mau kalah. Ya, namanya juga Bapak dan anak. Meskipun yang satu belu mau mengakui, darah mereka tetap sama."Udah, ih," kesal Luna. "Tuh, lihat, kamu mau mainan yang mana?" Ia menggandeng Cio menuju toko mainan. Sebenarnya, ia enggan, tapi supaya bocah itu tidak berisik lagi, ia terpaksa menyogok dengan mainan.Tanpa pikir panjang, Cio langsung mengambil LEGO Death Star. Luna yang melihat harganya langsung melotot lebar. "Yang lain aja. Jangan yang ini," ujar Luna sambil mengem
Ardan melepas genggaman tangannya saat salah satu satpam memperhatikan mereka. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Luna untuk berlari menuju motornya. Ia menyalakan mesin dengan cepat, berharap bisa segera pergi tanpa diganggu lagi.Ardan hanya berdiri di tempatnya, menghela napas panjang sambil menatap punggung Luna yang menjauh. Tak ingin kehilangan jejak, ia segera bergegas menuju mobilnya dan mengikuti Luna dari belakang."Kamu pikir kamu bisa kabur?" gumam Ardan sambil tersenyum miring. Tatapannya fokus mengikuti motor Luna yang melaju di depan. Tak butuh waktu lama, Luna akhirnya tiba di depan rumahnya. Ia segera membuka gerbang, namun ia terkejut saat mendengar suara mesin mobil mendekat. Mobil Ardan berhenti tepat di depan gerbang, membuat Luna menghela napas panjang dengan kesal."Kenapa ngikutin mulu, sih?!" bentaknya sambil melepaskan helm.Ardan menurunkan kaca mobilnya perlahan, menampilkan senyum tipis yang begitu santai. "Saya tunggu di sini," ucapnya sambil menyanda
Semalaman, Luna hampir tak bisa tidur karena terusmemikirkan ucapan Dylan. Benarkah pria itu akan mengenalkannya pada orang tuanya? Luna tidak tahu apakah harus merasa takut atau senang. Hubungannya dengan Dylan memang dekat, tapi pria itu tak pernah sekalipun mengungkapkan kata-kata cinta kepadanya. Jadi, ini sedikit mengejutkan baginya.Pagi ini, Luna bangun dengan wajah yang lebih ceria dari biasanya. Bahkan langkahnya terasa ringan saat keluar kamar. Bu Juli, yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan, sampai terheran-heran melihatnya yang senyum-senyum sendiri."Kamu habis jadian sama orang?" tanya Bu Juli dengan alis terangkat. Luna yang tersadar langsung mengubah ekspresinya menjadi datar. "Enggak," jawabnya singkat, berusaha menghilangkan jejak senyum di bibirnya. "Kok auranya kayak habis dapat cowok baru," celetuk Bu Juli. Luna tertawa kecil. "Enggak, Bu. Lagi seneng aja soalnya mau jalan-jalan sama Cio nanti," jawabnya. "Jalan-jalan ke mana?" tanya Bu Juli. "Cio minta