Meski sudah ditolak mentah-mentah dan bahkan diusir oleh anaknya, Ardan tetapi membuntuti Luna dan Cio. Ke mana pun Luna dan Cio pergi, ia selalu mengikuti dari belakang. Tidak peduli meskipun Cio menangis atau marah-marah, Ardan tetap memasang wajah datar. "Kamu nggak boleh ikut!" seru Cio yang tiba-tiba berbalik dan memukul Ardan yang mengikuti di belakangnya.Luna menghela napas panjang. Ia sudah lelah, lelah menegur Cio dan juga lelah menegur Ardan. Mereka berdua sama saja, sama-sama keras kepala dan tidak mau kalah. Ya, namanya juga Bapak dan anak. Meskipun yang satu belu mau mengakui, darah mereka tetap sama."Udah, ih," kesal Luna. "Tuh, lihat, kamu mau mainan yang mana?" Ia menggandeng Cio menuju toko mainan. Sebenarnya, ia enggan, tapi supaya bocah itu tidak berisik lagi, ia terpaksa menyogok dengan mainan.Tanpa pikir panjang, Cio langsung mengambil LEGO Death Star. Luna yang melihat harganya langsung melotot lebar. "Yang lain aja. Jangan yang ini," ujar Luna sambil mengem
Setiap kali bertemu dengan Ardan, Luna selalu dibuat pusing. Pokoknya ada saja gebrakannya yang sukses memancing emosinya setiap kali mereka bertemu. Seperti saat ini, kepala Luna masih berdenyut nyeri memikirkan ucapan Ardan di Mal tadi. "Huft... umur segitu emang lagi lucu-lucunya," gumam Luna sambil berbaring di tempat tidurnya. Ia sudah berganti piyama, memakai skincare, dan menyelesaikan semua rutinitas malamnya. Sekarang, tinggal tidur saja karena besok ia harus bangun subuh untuk membuat kue yang harus dijual. "Bunda, mainan Cio ditaruh mana?" tanya Cio sambil berlari kecil memasuki kamar. "Udah Bunda simpan. Sekarang waktunya tidur. Ayo, naik ke sini," jawab Luna, sambil menepuk-nepuk tempat tidur di sampingnya dengan lembut. Cio mengerucutkan bibirnya kesal. Dengan wajah yang cemberut, ia akhirnya memanjat ke atas ranjang dan berbaring di samping bundanya. Luna meletakkan ponselnya ke meja samping t
"Nggak usah, Mas. Cio masih kecil, dia belum butuh kayak gini. Kalau kamu pengen meluluhkan hati dia, jangan disogok terus pakai materi. Anak kecil itu butuhnya kasih sayang, bukan barang-barang mahal," ujar Luna dengan tegas. Ardan terdiam, lalu mengambil kunci itu dari meja. Tapi, alih-alih menyimpannya kembali, ia justru menggenggam tangan Luna dan menaruh kunci tersebut di sana. "Anggap aja ini gantinya nafkah selama lima tahun ini," ucapnya. Luna menatap kunci di tangannya sambil menghela napas panjang. Hatinya masih berat, bingung antara menerima atau mengembalikan. "Tolong jangan ditolak, Luna. Cuma itu cara yang saya bisa buat menebus nafkah yang terlewatkan. Kalau kamu tolak, saya akan merasa bersalah seumur hidup," ujar Ardan dengan nada tulus. "Masalah kasih sayang, saya akan terus berusaha untuk mendekati dan meluluhkan hati Cio. Saya janji." Luna menatap pria itu dalam diam. Sorot matanya menunjukkan konflik b
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
"Nggak usah, Mas. Cio masih kecil, dia belum butuh kayak gini. Kalau kamu pengen meluluhkan hati dia, jangan disogok terus pakai materi. Anak kecil itu butuhnya kasih sayang, bukan barang-barang mahal," ujar Luna dengan tegas. Ardan terdiam, lalu mengambil kunci itu dari meja. Tapi, alih-alih menyimpannya kembali, ia justru menggenggam tangan Luna dan menaruh kunci tersebut di sana. "Anggap aja ini gantinya nafkah selama lima tahun ini," ucapnya. Luna menatap kunci di tangannya sambil menghela napas panjang. Hatinya masih berat, bingung antara menerima atau mengembalikan. "Tolong jangan ditolak, Luna. Cuma itu cara yang saya bisa buat menebus nafkah yang terlewatkan. Kalau kamu tolak, saya akan merasa bersalah seumur hidup," ujar Ardan dengan nada tulus. "Masalah kasih sayang, saya akan terus berusaha untuk mendekati dan meluluhkan hati Cio. Saya janji." Luna menatap pria itu dalam diam. Sorot matanya menunjukkan konflik b
Setiap kali bertemu dengan Ardan, Luna selalu dibuat pusing. Pokoknya ada saja gebrakannya yang sukses memancing emosinya setiap kali mereka bertemu. Seperti saat ini, kepala Luna masih berdenyut nyeri memikirkan ucapan Ardan di Mal tadi. "Huft... umur segitu emang lagi lucu-lucunya," gumam Luna sambil berbaring di tempat tidurnya. Ia sudah berganti piyama, memakai skincare, dan menyelesaikan semua rutinitas malamnya. Sekarang, tinggal tidur saja karena besok ia harus bangun subuh untuk membuat kue yang harus dijual. "Bunda, mainan Cio ditaruh mana?" tanya Cio sambil berlari kecil memasuki kamar. "Udah Bunda simpan. Sekarang waktunya tidur. Ayo, naik ke sini," jawab Luna, sambil menepuk-nepuk tempat tidur di sampingnya dengan lembut. Cio mengerucutkan bibirnya kesal. Dengan wajah yang cemberut, ia akhirnya memanjat ke atas ranjang dan berbaring di samping bundanya. Luna meletakkan ponselnya ke meja samping t
Meski sudah ditolak mentah-mentah dan bahkan diusir oleh anaknya, Ardan tetapi membuntuti Luna dan Cio. Ke mana pun Luna dan Cio pergi, ia selalu mengikuti dari belakang. Tidak peduli meskipun Cio menangis atau marah-marah, Ardan tetap memasang wajah datar. "Kamu nggak boleh ikut!" seru Cio yang tiba-tiba berbalik dan memukul Ardan yang mengikuti di belakangnya.Luna menghela napas panjang. Ia sudah lelah, lelah menegur Cio dan juga lelah menegur Ardan. Mereka berdua sama saja, sama-sama keras kepala dan tidak mau kalah. Ya, namanya juga Bapak dan anak. Meskipun yang satu belu mau mengakui, darah mereka tetap sama."Udah, ih," kesal Luna. "Tuh, lihat, kamu mau mainan yang mana?" Ia menggandeng Cio menuju toko mainan. Sebenarnya, ia enggan, tapi supaya bocah itu tidak berisik lagi, ia terpaksa menyogok dengan mainan.Tanpa pikir panjang, Cio langsung mengambil LEGO Death Star. Luna yang melihat harganya langsung melotot lebar. "Yang lain aja. Jangan yang ini," ujar Luna sambil mengem
Ardan melepas genggaman tangannya saat salah satu satpam memperhatikan mereka. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Luna untuk berlari menuju motornya. Ia menyalakan mesin dengan cepat, berharap bisa segera pergi tanpa diganggu lagi.Ardan hanya berdiri di tempatnya, menghela napas panjang sambil menatap punggung Luna yang menjauh. Tak ingin kehilangan jejak, ia segera bergegas menuju mobilnya dan mengikuti Luna dari belakang."Kamu pikir kamu bisa kabur?" gumam Ardan sambil tersenyum miring. Tatapannya fokus mengikuti motor Luna yang melaju di depan. Tak butuh waktu lama, Luna akhirnya tiba di depan rumahnya. Ia segera membuka gerbang, namun ia terkejut saat mendengar suara mesin mobil mendekat. Mobil Ardan berhenti tepat di depan gerbang, membuat Luna menghela napas panjang dengan kesal."Kenapa ngikutin mulu, sih?!" bentaknya sambil melepaskan helm.Ardan menurunkan kaca mobilnya perlahan, menampilkan senyum tipis yang begitu santai. "Saya tunggu di sini," ucapnya sambil menyanda
Semalaman, Luna hampir tak bisa tidur karena terusmemikirkan ucapan Dylan. Benarkah pria itu akan mengenalkannya pada orang tuanya? Luna tidak tahu apakah harus merasa takut atau senang. Hubungannya dengan Dylan memang dekat, tapi pria itu tak pernah sekalipun mengungkapkan kata-kata cinta kepadanya. Jadi, ini sedikit mengejutkan baginya.Pagi ini, Luna bangun dengan wajah yang lebih ceria dari biasanya. Bahkan langkahnya terasa ringan saat keluar kamar. Bu Juli, yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan, sampai terheran-heran melihatnya yang senyum-senyum sendiri."Kamu habis jadian sama orang?" tanya Bu Juli dengan alis terangkat. Luna yang tersadar langsung mengubah ekspresinya menjadi datar. "Enggak," jawabnya singkat, berusaha menghilangkan jejak senyum di bibirnya. "Kok auranya kayak habis dapat cowok baru," celetuk Bu Juli. Luna tertawa kecil. "Enggak, Bu. Lagi seneng aja soalnya mau jalan-jalan sama Cio nanti," jawabnya. "Jalan-jalan ke mana?" tanya Bu Juli. "Cio minta
Malam ini, Ardan kembali mengatur pertemuan dengan temannya. Namun, kali ini bukan di kafe seperti biasanya, melainkan di sebuah restoran keluarga yang memiliki playground. Temannya membawa dua anak kecil, sehingga tempat ini menjadi pilihan yang tepat.Ardan sudah duduk bersama Hasan di meja dekat playground, membahas soal rumah yang akan ia jual. Suara riuh anak-anak yang bermain di sekitar mereka menjadi latar yang kontras dengan topik serius yang tengah mereka bicarakan."Ditawar sama Bos tambang tiga puluh tiga miliar. Gimana? Lepas nggak?" tanya Hasan. "Tiga puluh lima miliar, aku lepas," balas Ardan tenang sambil menyeruput kopi hitamnya.Hasan tertawa kecil. "Keras juga kamu, Dan. Tapi kayaknya bakal deal. Orangnya memang lagi butuh properti di kawasan strategis seperti rumah kamu.""Ya bagus kalau begitu," ujar Ardan. "Rumahku bukan rumah tua. Semua interior dan furniturnya masih bagus, jadi wajar kalau harga jualnya masih tinggi," tambahnya dengan nada percaya diri. Hasan
"Rumahnya aku jual," ujar Ardan sambil duduk di sofa, suaranya datar namun tegas.Wulan, yang tadinya asyik menonton televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan dengan tatapan tak percaya."Kok kamu jual?" tanyanya, nada suaranya meninggi. "Katanya kita di Bandung cuma sementara? Terus nanti kalau kita pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Aku nggak mau, Mas, kalau harus menetap di sini selamanya!""Aku mau menetap di Bandung. Kalau kamu mau balik ke Jakarta, aku bisa antar ke rumah orang tuamu," jawabnya santai, sambil mulai membuka majalahnya. "Menetap di Bandung?" Wulan tertawa sumbang. "Apa karena wanita itu?" tanyanya, tajam. Namun, Ardan tetap diam, tak memberikan jawaban.Wulan menatapnya dengan tatapan terluka, bibirnya bergetar menahan emosi. "Dan apa tadi? Kamu mau ngantar aku ke rumah orang tuaku?" tanyanya dengan nada tinggi, seolah tak percaya. "Apa itu artinya kamu udah nggak mau ngerawat aku lagi? Kamu mau buang aku karena aku lumpuh, nggak berguna
Ardan meneguk minumannya hingga habis, lalu dengan santai membuang kemasannya ke tempat sampah sebelum berjalan mendekati Luna dan David dengan ekspresi datar.Begitu tiba di meja mereka, ia berdiri di antara Luna dan David, menatap David dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana."Siapa, ya?" tanya David polos. Ia memang tidak mengenal Ardan, karena pria itu hanya mengajar di prodi Luna, bukan di prodinya.Ardan menyipitkan mata, ekspresinya seolah meremehkan. "Kamu nggak kenal saya?" tanyanya balik.David menggeleng jujur, membuat Ardan langsung mendengus pelan."Mainmu kurang jauh," cibirnya. "Saya dosen baru di kampus ini. Yang terkenal paling ganteng dan mempesona," tambahnya dengan percaya diri.Luna memutar bola matanya malas. Ingin rasanya ia melempar mouse laptopnya ke wajah pria narsis itu.David hanya menyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Emh... ada urusan apa ya, Pak?" tanya David kemudian."Saya nggak ada urusan sama kamu. Tapi sama orang
Seminggu telah berlalu sejak kejadian di mana Ardan bertengkar dengan istrinya dan memohon maaf kepada Luna. Selama itu, Luna benar-benar menjaga jarak darinya. Setiap kali mereka berpapasan di kampus, Luna selalu menghindar."Yaelah, Kenapa harus macet, sih?" gerutu Luna kesal.Pagi ini, di jam pertama, Ardan akan mengisi kelasnya. Kalau sampai ia telat, kemungkinan besar ia akan diberi absen alpa, seperti yang pernah terjadi pada temannya minggu lalu."Ck. Coba aja anakku nggak rewel, mungkin aku udah sampai di kampus dari tadi," gerutunya lagi.Saat akhirnya lalu lintas mulai bergerak, Luna langsung memutar gas motornya, berharap bisa sampai di kampus sebelum kelas dimulai. Namun, nasib berkata lain. Begitu tiba di kampus, ia melihat pintu kelasnya sudah tertutup rapat.Luna menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah cepat menuju kelas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Ardan be