Anisa mengalami sesak napas ketika selesai kelas. Saat orang lain sudah beranjak pergi. "To-tolong bawakan alat di tas saya, Pak."
Azman yang memutuskan menolong Anisa dan melupakan perihal pintu itu pun akhirnya melirik tas pundak berwarna hitam yang berada di atas meja. "Sebentar." Azman mencari alat yang dimaksud. "Akhirnya." Setelah menemukan, ia segera memberikan pada Anisa dan wanita itu memakai di hidung.Azman mendampingi Anisa dengan duduk di samping perempuan itu. Menjaga jarak pula agar mereka tak terlalu dekat. "Apa napasmu sudah enakan?"Anisa bernapas lebih baik. Rasa sesak yang menyerang beberapa menit ke belakang mulai berkurang. "Alhamdulillah, Pak." Anisa melirik Azman. "Terima kasih sudah membantu saya." Anisa berdiri. Mengambil napas dengan baik setelah melepaskan alat tersebut. "Saya permisi."Baru Anisa menyambar tasnya, Azman sadar satu hal. "Sepertinya kita tidak bisa keluar dari sini."Kalimat Azman menghentikan tangan Anisa. "Maksudnya, Pak?" Perempuan itu tidak paham.Azman tidak enak mengatakan itu, tetapi sepertinya memang benar. "Ada yang mengunci kita dari luar."Sontak Anisa membulatkan kedua mata sambil berjalan cepat ke depan. Memastikan sendiri perkataan lelaki yang pernah mengajaknya menikah kemarin. Begitu mencoba membuka pintu, Anisa tak bisa melakukannya. "Tolong, apa ada orang di luar? Kami terkunci." Berharap ada orang lain yang bisa mengeluarkan mereka.Azman berdiri. Merogoh saku. Ponsel itu tertinggal di staf dosen. "Kamu membawa ponsel?" Menatap punggung Anisa.Anisa sadar, segera merogoh tas sedang dan mencari alat komunikasi pintar tersebut. "Ini dia." Kecewa langsung menghampiri ketika melihat benda itu mati. "Astagfirullah, aku lupa mengisi dayanya." Anisa memijat kening. Satu masalah teratasi, ia perlu menghadapi masalah yang cukup besar juga. Anisa berbalik badan, menemukan Azman sudah ada di dekat jendela. Berdiam diri dengan sangat terang. "Bapak, yakin tidak mau melakukan apa pun? Kita terkurung, Pak!" Saking gemasnya sampai Anisa menaikkan satu oktaf nada bicaranya.Azman menyibakkan gorden berwarna putih yang biasanya dipakai untuk menghalangi sinar mentari di siang hari ketika mengajar. "Di malam hari kampus ini sepi. Apalagi kita ada di lantai dua. Jarang sekali satpam datang." Azman diam sejenak. Menatap keluar jendela. Keadaan lapangan kampus yang biasanya ramai mendadak sedikit menyeramkan. "Jadi, sebaiknya kita menunggu saja sampai pagi."Anisa menggelengkan kepala. Tak sangka Azman akan menyerah begitu saja. Dengan tekad kuat, Anisa pun kembali berteriak sambil menggedor-gedor pintu. Semua hasil harus dilakukan dengan kerja keras. "Siapa pun di luar, tolong aku!" Anisa berteriak sampai suaranya serak.Azman membiarkan begitu saja. Lelaki itu melirik arloji di tangan kanan, sudah pukul delapan. Kelas malamnya memang dimulai sedikit telat, sehabis Isya karena satu hal. "Diamlah. Kamu hanya akan menghabiskan energimu sendiri." Azman mencoba menghentikan Anisa."Bapak tau tidak kondisi kita sekarang?" Anisa marah. Kembali menghadap ke arah Azman. Kali ini tatapannya penuh kekesalan. "Atau Bapak memang sudah merencanakan ini semua karena saya menolak lamaran Bapak waktu itu?" Entah mengapa Anisa bisa berasumsi demikian.Azman tertawa kecil mendengarnya. Pikiran macam apa itu."Jangan tertawa, Pak!" Anisa semakin marah. Suara tawa itu mengganggu. Tak sepantasnya ada di situasi genting seperti ini.Azman akhirnya berbalik badan. Menatap balik Anisa. Kedua mata itu bisa melihat jelas dua netra cantik milik mahasiswinya. "Kalau saya memang merencanakan ini semua, apa saya akan tau kalau kamu sedang berada di ujung ketidakberdayaan?" Dengan begitu tenang Azman bertanya.Anisa mendadak diam. Suasana ruangan dan sekitarnya hening, lebih dominan menakutkan. Beberapa lampu ruangan sengaja dimatikan dan hanya samar-samar saja. Untung di ruangan mereka masih terang benderang."Kamu mengaitkan ini dengan penolakanmu kemarin?" Anisa terlihat mengangguk cepat. Membenarkan pertanyaan Azman. "Saya rasa itu salah besar karena saya sendiri tidak suka berbuat baik hanya karena menginginkan sesuatu.""Bukannya setiap orang di muka bumi ini banyak yang seperti itu?" tanya Anisa. Terlihat jelas Azman mengambil empat langkah di depan sehingga mereka hanya berjarak sekitar dua meter saja. Kondisi ini menarik Anisa pada keadaan kemarin. Keduanya berbaur dalam derasnya hujan, tetapi kini harus bertemu di heningnya malam."Pikiranmu terlalu sempit untuk hal ini." Sekali lagi Azman menyunggingkan senyum kecil. "Banyak orang di luaran sana yang membantu tanpa pamrih, jadi jangan sama ratakan."Anisa menghela napas kasar. Kembali sadar dengan keadaannya sekarang. "Ok, kita lupakan tentang itu, Pak." Rasanya percuma membahas hal lain. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"Azman mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak tau pasti, tapi sepertinya saya butuh istirahat dulu." Azman mendekati kursi di jajaran pertama. Duduk di sana dan berkata lagi, "Saya akan tidur karena berteriak pun, percuma. Menunggu pagi tidak perlu dengan begadang."Anisa sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Azman. Tidak ada usaha untuk bisa keluar. Gadis itu menghentakkan kaki kanan sekali. "Dia pikir masalah bakal selesai dengan tidur!" Anisa mencoba kembali berteriak sampai Azman yang berusaha untuk tidur pun menutup telinga.Malam semakin menuju puncak dan Anisa lelah. Perempuan itu menyerah dan duduk di kursi yang jaraknya terhalang empat bangku dari Azman. Menyimpan tas, kemudian menempelkan pipi kanan dan terlelap tidur. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Semua tak ada hasilnya.Azman mengangkat kepala setelah suara Anisa hilang. Ia menoleh ke samping kanan, memperhatikan gadis manis itu yang kini menutup mata ke arahnya. "Kamu lelah, ya?" Suara Azman begitu pelan. Kemudian, kembali melakukan hal yang sama dengan Anisa. Mungkin sudah takdirnya mereka berada di sini. Menginap dalam kesunyian berdua.***Esok harinya Karisma cemas ketika mendapatkan kabar bahwa Anisa tidak pulang dari Fatur–kakaknya Anisa. Pagi-pagi buta, Karisma memilih pergi ke kampus. Barangkali terjadi sesuatu. "Duh, sebenarnya dia itu ke mana, sih?"Gerbang kampus juga baru saja dibuka sekitar pukul enam pagi. Satpam yang mengetahui itu pun membawa Karisma mencari Anisa."Coba dicek satu-satu, Pak, ruangannya. Takut dia tidur di kesal," pinta Karisma. Rara tak bisa datang karena demam, sedangkan Kak Fahri sendiri sekarang berada di luar kota."Iya, Neng." Satpam lelaki itu pun ikut cemas dan membantu. Mereka menyisir setiap ruangan dan mengeceknya. Belum juga ketemu.Keduanya sampai di ruangan ketiga terakhir. Karisma sudah lelah bercampur gelisah. Terlebih ponsel Anisa sama sekali tidak aktif. "Ya Allah, Nis. Kamu ini ke mana, sih?" Ngedumel sendiri di belakang pak satpam."Loh, dikunci." Satpam itu heran. Sebab, semua ruangan memang jarang dikunci.Karisma melirik. "Ada apa, Pak?" Takutnya ada hambatan pula."Sebentar, Neng. Ini dikunci." Lelaki itu pun merogoh saku dan mencoba satu per-satu kunci. Untuk duplikatnya memang sering ada di pos satpam.Pintu terbuka dan mereka masuk. Begitu kedua kaki Karisma menginjak di bagian dalam ruangan, mata perempuan itu membulat sempurna. Melihat pemandangan yang di luar nalar. "Anisa!" Berteriak seketika saat melihat Anisa tertidur di bangku saling berhadapan dengan lelaki idamannya."Apa yang kalian lakukan di ruangan kelas?" Rektor kampus menyidang Anisa dan Azman. Kabar keduanya tidur saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat sudah menyebar ke luar serta penghuni gedung ini. Tentunya nama baik institusi yang menjadi taruhan."Pak Azman, seharusnya Bapak bisa mengayomi mahasiswi, bukan melakukan hal seperti ini?" Rektor kampus itu lebih menekan Azman karena posisinya lelaki muda itu adalah seorang dosen. "Apa tidak berpikir ulang ketika hal ini terjadi?" Anisa diam. Azman mengangkat kepala. Menatap Rektor kampus yang usianya sekitar setengah abad lebih. "Sebelumnya saya meminta maaf atas kejadian tadi pagi yang menghebohkan seluruh kampus, tapi seperti yang sudah saya dan Anisa katakan kalau kami memang benar-benar terkunci." "Benar, Pak. Kami memang terkunci dari semalam." Anisa ikut berbicara karena tak ingin Azman yang menanggung semuanya.Ruangan Rektor itu terasa mencengkram, hampir senada dengan keadaan di luar sana. Gosip itu terus menyebar dan mer
"Tidak ada!" Azman menegaskan.Fatur diam lagi, sedangkan Anisa hanya menunduk."Kalau Anisa bersedia, saya hendak melamarnya." Azman kembali menjelaskan maksud kedatangannya ke sini."Saya tidak bisa memaksa. Itu harus sesuai keinginan Anisa, lalu saya di sini pun bersikap seperti Kakak." Fatur sendiri tak bisa menekan keinginan pada sang Adik. Kali ini tatapannya mengarah pada Anisa. "Kamu bisa menjawabnya, Dek."Lamaran kali ini terasa berbeda dengan sebelumnya. Mungkin karena Azman datang ke rumah langsung, walaupun tanpa menghadap pada sang ayah. Akan tetapi, hal ini juga membuat bimbang. Satu sisi, ia sedikit bersalah jika Azman dikeluarkan hanya karena masalah yang seharusnya bisa diterima logika. Di sisi lain, Anisa memikirkan masalah pertemuannya dengan Karisma. Bagaimana ini? "Kalau kamu menolak lagi, saya tidak masalah. Mungkin pelajaran saya akan tergantikan oleh dosen lain, saya harus segera pamitan dengan mahasiswa lainnya," kata Azman. Menyerah bukan sesuatu yang dipili
Kedua mempelai berada di pelaminan dengan sedikit berjaga jarak, terutama untuk Anisa. Ia sesekali tersenyum ketika menyapa tamu. Lelah? Sudah pasti, tetapi ini sudah menjadi resiko dari sebuah keputusan.Waktu berlalu begitu cepat dan semua tamu bubar, resepsi pun selesai. Tak ada pesta mewah seperti permintaan Anisa. Semua hanya berjalan biasa saja di sebuah gedung yang tak terlalu besar.Ayah Anisa sama sekali tidak datang dan menolak menikahkan anaknya. Oleh sebab itu, Fatur bertugas mewakilkan."Kalian sebaiknya istirahat. Kamar Anisa ada di lantai atas." Fatur memberitahu Azman sebelum akhirnya naik ke lantai atas.Pesta selesai, mereka pun kembali ke rumah. Sesuai kesepakatan bahwa Anisa akan pindah ke rumah Azman esok hari."Baik. Terima kasih, Kak." Sebagai seorang adik ipar, Azman menghormati Fatur. Sekali pun usia mereka hanya berbeda bulan saja. Azman masih memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih bersih seperti seorang bayi yang baru lahir. Dengan langkah teratur, i
"Maaf, kesepakatan yang sudah dibuat tidak bisa diubah kembali, Pak. Saya permisi." Anisa bergegas meninggalkan ruang tamu agar tidak terlibat banyak interaksi dengan Azman.Azman diam sejenak, lalu berkata, "Ya, benar. Dia memang teguh pendirian." Anisa menyelesaikan tugas selanjutnya, menghidangkan sarapan. Menikmatinya bersama Azman di keheningan. Mungkin kuburan saja akan kalah dengan suasana makan mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Menakutkan bukan? Tentu tidak berlaku untuk Anisa, ini lebih baik."Terima kasih sarapannya. Saya selesai." Anisa lebih dahulu berdiri. "Sisanya biar Bi Yayah yang membereskan, saya harus bersiap-siap ke kampus."Azman mengangkat kepala. "Bukannya kelas pertamamu jam sepuluh?" Anisa mengangguk. "Tunggu saya, kita berangkat bersama.""Sekali lagi terima kasih, tapi saya lebih baik naik bus. Saya juga ada janji dengan Rara untuk menyelesaikan tugas lain. Permisi, Pak." Anisa menolak dengan tegas dan langsung kabur dari s
Ruangan kelas itu penuh dengan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang belajar. Azman pun menerangkan sesuai mata kuliah. Namun, di tengah diskusi mendadak seorang mahasiswi menanyakan hal yang membuat semua orang penasaran."Pak, bagaimana rasanya menjadi dosen untuk istri sendiri?" tanya mahasiswi itu setelah mengacungkan tangan kanan.Anisa tertegun, sedangkan Karisma yang terhalang beberapa orang menatap ke arahnya. Rara sendiri ikut terdiam.Azman memegang buku di tangan, menutupnya sedikit perlahan. Jangan libatkan emosi di kelas, itu prinsip Azman. "Apa pertanyaan itu ada di topik mata kuliah kita hari ini?" tanya Azman.Semua mata memandangi Azman."Tidak, Pak. Tapi karena kami penasaran, kami bertanya," jawab si mahasiswi tersebut."Kami?" Azman menyunggingkan senyum kecil. Kata itu terlalu memaksa banyak orang, padahal Azman meyakini jika yang penasaran hanyalah sang pemberi pertanyaan. "Sepertinya kamu sendiri yang cukup penasaran di sini. Yang lain biasa saja."Tidak ada yang
"Kamu sudah bawa semuanya?" Azman duduk dengan tenang di bangku. Keadaan ruangan dosen pun hening. Beberapa dari mereka ada yang sedang mengisi kelas, adapula yang belum datang.Anisa berdiri di depan Akhmar. Menyimpan setumpuk tugas di meja seraya berkata, "Ada yang masih belum mengumpulkan, Pak."Lirikan mata Azman kian tajam. Tak mengapa, mereka pasangan halal. "Siapa?"Anisa menelan ludah. Keseriusan Azman tentang tugas tidak bisa terkalahkan, bahkan keputusannya saja sulit diganggu gugat."Kamu?" Azman bertanya lagi. Anisa kembali menelan ludah. "Sudah saya duga." Akhmar menggeser setumpuk tugas dari para mahasiswanya ke depan laptop."Bukannya Pak Azman bilang batas akhir pengumpulan tugas itu jam satu, ini baru jam dua belas lewat. Seharusnya saya masih punya waktu," protes Anisa.Kalau ini pandangan Akhmar kembali terfokus pada sosok sang istri. Memperhatikan bahasa tubuh Anisa yang terlihat jelas gugup. "Hanya beda setengah jam, apa bedanya?" Pria itu tersenyum tipis."Seteng
Semenjak Anisa menikah, Fatur hanya sendirian di rumah. Sesekali lelaki itu keluar rumah di malam hari untuk mencari keramaian. Memang belum terbiasa.Malam ini kerinduan Fatur tidak bisa tertahankan. Ia membayangkan bisa satu meja dengan adik kandungnya. Oleh sebab itu, lelaki yang bergelut di bidang makanan tersebut memutuskan untuk mengunjungi rumah Anisa dengan Azman.Namun, tentu saja Fatur perlu izin Azman. Tidak bisa sembarang karena sejatinya sang adik kandung sudah memiliki suami.Fatur mencoba menghubungi Azman dan mendapatkan izin. "Syukurlah," katanya dengan penuh rasa bahagia. Bergegas Azman mengeluarkan mobil yang sudah terparkir dan meluncur bebas dari garasi.Keadaan jalanan memang masih ramai, wajar saja karena arloji di tangan Fatur baru menunjukan pukul tujuh malam lewat dua puluh menit. Sebenarnya bukan karena semata-mata beralasan rindu saja, tetapi Fatur merasa ada yang terjadi dengan adiknya. Batin adik dengan kakak memang terhubung baik, tidak bisa terputus wal
"Kakak datang." Anisa seketika berjalan cepat menghampiri Fatur yang masih di ambang pintu. Tampak jelas raut wajah bahagia dari perempuan tersebut.Manja, mungkin itu satu bentuk ekspresi dari Anisa. Sebab sudah terbiasa bersama Fatur sejak kecil."Assalamualaikum, Dek. Maaf, Kakak baru sempat menjenguk." Fatur memeluk Anisa yang lebih dahulu memeluk tubuhnya. Hangat penuh rindu, sebuah ungkapan bahasa tubuh keduanya. "Adiknya Kakak masih saja manja."Tidak peduli diperhatikan Azman saat ini, Anisa memilih menenggelamkan wajah di dada sang Kakak. Kerinduan yang bercampur dengan keinginan ikut kembali ke rumah tidak bisa terbendung. Di sini rasanya kurang nyaman, tetapi Anisa perlu menutupi dan terus tersenyum. "Wa'alaikum salam. Kenapa Kakak nggak datang ke kampus?" tanya Anisa."Maaf, Kakak baru ada di rumah minggu-minggu ini. Toko cabang di luar kota sedang ada masalah," jawab Fatur.Azman sendiri belum beranjak dari tempat berdiri. Memperhatikan kemanjaan Anisa yang tidak pernah i
Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing