Anisa berjalan pelan dengan menahan emosi ke arah kedua temannya. Perhatian publik kini berpusat padanya. Tentu saja karena tokoh utama cerita yang sedang berlangsung sekarang ada kaitannya dengan Anisa."Maaf, aku lama, Ra," kata Anisa saat sudah berada di meja Rara dan Karisma.Rara tersentak, tetapi berbeda hal dengan Karisma. "Astagfirullah, Sa. Kamu udah lama ada di sini?" Rara terlihat kaget serta panik, takutnya kalimat Karisma terdengar. "Ayo, duduk!" Kembali Rara meminta Karisma melakukan itu."Nggak perlu, Ra!" Karisma menolak.Anisa menghela napas lelah. Kesalahpahaman di antara dirinya dengan Karisma harus segera terselesaikan, walaupun memang sedikit sulit karena Karisma berwatak keras kepala di antara mereka.Anisa menatap Karisma di samping kanan. "Ma, aku minta maaf kalau hati kamu merasa tersakiti, tapi alangkah baiknya kalau kita menyelesaikan ini secara pribadi saja tanpa harus menyinggung hal-hal yang tidak perlu dikeluarkan."Karisma menyunggingkan senyum sinis, m
Kalimat Anisa menarik perhatian Azman. Berhasil membuat pria berusia tiga puluh tahun itu pun menoleh dan menatapnya. "Bukannya sekarang kamu sedang menangis?"Anisa bergeming. Tak ada sisa air mata di kedua netra. Ia hanya sedang mencari ide di tumpukan dokumen yang kini tergeletak di lantai. "Saya?" Anisa menunjuk dirinya, kemudian Azman mengangguk cepat. "Saya tidak menangis."Azman gelagapan. Memalingkan wajah sembari menarik kembali tangan. "Kalau begitu kamu tidak perlu sapu tangan." Tindakannya salah. Memalukan.Anisa berdiri. Postur tubuh Azman lebih tinggi darinya. Lebih tepatnya, ia hanya sedada Azman saja. Jika dilihat seksama, dada pria itu memiliki bidang yang bagus serta pundak yang lebar. Pasti hangat jika berada di pelukan atau sekadar menaruh kepala di pundak. "Apa yang terjadi di kantin tadi? Apa benar kamu bertengkar dengan sahabatmu sendiri?" tanya Azman setelah bisa menguasai diri. Sudah Anisa duga jika gosipnya akan tersebar ke mana-mana. Perguliran yang sangat
"Itu privasi, Pak. Saya tidak bisa memberikan alasannya," jawab Anisa.Azman bergeming sejenak."Maaf, Pak, saya harus ke kelas," kata Anisa lagi.Azman melangkah ke belakang dua kali, memberi waktu sang istri untuk keluar dari keadaan yang pastinya cukup mengejutkan. Kemudian, Anisa bergeser ke kanan dan segera pergi meninggalkan Azman dengan jantung yang hampir copot. Keadaan yang tidak pernah terpikirkan sama sekali, bahkan tak diinginkan."Astagfirullah." Anisa mengelus dada pelan sambil keluar gedung. Hampir gila dibuatnya.Setelah Anisa pergi, Azman masih ada di gudang. Diam terpaku seperti orang kebingungan. Beberapa detik kemudian barulah sadar. "Astagfirullah, saya juga harus ke ruangan lagi."Azman bergegas keluar dari gudang. Punggung Anisa masih terlihat di lorong, tetapi Azman tak berniat menghampiri karena tahu jika saat ini keadaan hati Anisa sedang tak karuan. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan. Mengamati Anisa dan Azman sampai akhirnya tidak bi
"Sisil, tunggu saya di mobil," perintah Fatur.Sisil masih penasaran, tetapi harus tetap menurut. "Baik, Pak." Akhirnya melangkah ke depan dan meninggalkan Fatur serta pelamar kerja tersebut.Sisil menjauh, barulah Fatur menatap lawan bicaranya. "Syukurlah kamu langsung mendapatkan kerja." Sontak pelamar kerja yang seorang wanita itu mengangkat badan, menatap balik Fatur. "Saya harap kamu lebih berhati-hati lagi selama tinggal di kota ini. Bukan kejahatan saja, tapi juga dunia kerja."Wanita bernama Nisa itu terdiam sejenak, kemudian berkata, "Terima kasih, Pak. Insya Allah, saya akan bekerja dengan baik.""Bukan itu yang penting." Fatur menggelengkan kepala. Terlihat jelas kebimbangan di raut wajah Nisa. "Tapi bekerja keraslah untuk menjaga dirimu sendiri. Kamu memang harus profesional, tapi kalau sudah menyangkut harga diri dan keselamatan. Itu lain lagi ceritanya."Nisa kurang paham. Mungkin karena baru pertama kali bekerja di kota besar serta awamnya pemahaman tentang dunia kerja
Anisa berjongkok di depan sebuah makam dengan nama Tirsa. Meninggal tahun lalu dan hari ini ternyata tepat satu tahun. Azman terlihat membaca doa. Tak lupa menaburkan bunga serta air yang dibawanya dari mobil."Assalamualaikum, Bu." Azman mengukir senyum seraya mengelus nisan berwarna putih tersebut. Nama yang terukir cukup berharga, tetapi juga menjadi pembuat luka dan penyesalan. "Maaf, aku baru datang setelah satu tahun yang lalu."Anisa terkejut, rupanya nama di batu nisan tersebut adalah mertuanya. Namun, yang lebih membuat terkejut Anisa justru kalimat Azman terakhir. Itu artinya Azman tidak pernah mengunjungi makam ibunya. Azman diam. Terlihat jelas menahan tangis. "Ternyata cukup sulit menerima kenyataan, tapi aku sudah ikhlas untuk kepergian Ibu."Anisa menatap Azman. Tidak banyak hal yang diketahui Anisa tentang Azman. Bahkan ini kali pertamanya mengunjungi makam ibu dari suaminya tersebut. Wajar saja karena Anisa meminta Azman untuk tidak melibatkan masalah pribadi, selai
Anisa sibuk membaca di perpustakaan. Mengalihkan pikiran negatif serta sebagai menyalurkan marah terhadap Azman agar menghasilkan sesuatu yang positif.Buku novel dari seorang penulis wanita ternama favoritnya pun menjadi pilihan Anisa. Ia bahkan takjub dengan rangkaian kata yang bersatu menjadi kalimat indah. Sungguh … diksi sederhana. Namun, manis untuk dibaca.Perpustakaan itu memiliki empat buah jendela kaca yang bisa digunakan untuk melihat ke kebun belakang. Di kebun sana pun lebih indah. Berbagai bunga sedang mekar, seperti mawar, anggrek, bunga matahari, tulip dan masih ada yang lain.Awal keadaan Anisa ke rumah ini cukup takjub dengan konsep yang dipilih Azman. Lelaki itu sepertinya menyukai bunga, sebab di beberapa sudut rumah pun terdapat bunga hidup sebagai pemanis. Anisa melirik jam dinding di tembok kanan. Pukul tujuh lewat. Ia saja sudah menunaikan salat Isya, tetapi Azman tak ada tanda-tanda pulang. "Buat apa aku pikirkan? Dia sudah dewasa juga!" Anisa menghela napas
"Tentang apa?" Anisa langsung menyahut.Azman memalingkan wajah. "Sepertinya saya harus segera mandi. Kalau tidak, saya bisa masuk angin." Menghindari pertanyaan. Bergegas membalikkan badan, berjalan selangkah ke depan. Kemudian, berhenti lagi. "Saya harap kamu senang dengan hadiahnya. Sekali saya, maaf." Azman pergi meninggalkan Anisa yang masih bertanya-tanya dalam hati. Namun, tersentuh pula dengan sikap Azman. Semakin hari, pria itu kian menunjukan sikap pedulinya. Sekali pun memang tak terlalu diharapkan.***Azan Subuh berkumandang saat Anisa membuka mata. Perlahan melihat sekeliling. Tak ada Azman, sudah pasti lelaki itu pergi ke masjid terdekat. "Dia ternyata bangun lebih awal seperti biasanya." Anisa bangun. Mengucek kedua mata, meraih ponsel di nakas. Rupanya ada pesan dari sang kakak.[Assalamualaikum, Dek. Hari ini jadwal kamu menemui Ibu. Sesekali ajak suamimu juga]Anisa diam menatap ponsel. Dalam sebulan, ia hanya bisa menemui sang ibu dua kali saja. Mengingat ibunya s
"Kami minta maaf atas kerusuhan yang terjadi." Azman sedikit membungkuk pada dua suster di depan. "Tidak apa-apa, Pak. Sudah biasa." Salah satu suster menjawab dengan sedikit canggung. Anisa juga meminta maaf."Sepertinya Bu Dewi perlu istirahat lagi. Saya minta maaf karena jadwal kunjungan menjadi berantakan," kata suster satunya lagi.Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, ini salah kami. Insya Allah, saya dan suami akan datang lagi minggu depan. Mohon bantuan untuk menjaga ibu, Sus."Azman melirik Anisa. Raut wajah kecewa jelas terlihat. Kunjungan yang mungkin paling dinanti menjadi kacau karena sang Ibu mengamuk, bahkan mencakar kedua pipi Azman seolah tidak terima kehadiran pria itu.Dua suster tadi kembali bekerja, meninggalkan Anisa dan Azman di luar pintu utama. Helaan napas Anisa terdengar jelas, Azman bisa merasakan suasana hatinya."Sebaiknya kita langsung pulang saja, Pak." Anisa tak menatap Azman, langsung berbalik badan dan melangkah sekali ke depan."Saya minta maaf," un
Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing