Syarat

"Apa yang kalian lakukan di ruangan kelas?" Rektor kampus menyidang Anisa dan Azman. Kabar keduanya tidur saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat sudah menyebar ke luar serta penghuni gedung ini. Tentunya nama baik institusi yang menjadi taruhan.

"Pak Azman, seharusnya Bapak bisa mengayomi mahasiswi, bukan melakukan hal seperti ini?" Rektor kampus itu lebih menekan Azman karena posisinya lelaki muda itu adalah seorang dosen. "Apa tidak berpikir ulang ketika hal ini terjadi?"

Anisa diam. Azman mengangkat kepala. Menatap Rektor kampus yang usianya sekitar setengah abad lebih. "Sebelumnya saya meminta maaf atas kejadian tadi pagi yang menghebohkan seluruh kampus, tapi seperti yang sudah saya dan Anisa katakan kalau kami memang benar-benar terkunci."

"Benar, Pak. Kami memang terkunci dari semalam." Anisa ikut berbicara karena tak ingin Azman yang menanggung semuanya.

Ruangan Rektor itu terasa mencengkram, hampir senada dengan keadaan di luar sana. Gosip itu terus menyebar dan mereka menghakimi Anisa dan Azman. Ada yang beropini jika Anisa memang sengaja melakukan demikian untuk mendapatkan hati Azman. Miris sekali fitnah yang beredar.

"Saya tidak peduli kalian terkunci atau seperti apa pun, tapi masalahnya keadaan ini akan mencoreng nama baik kampus." Rektor itu berdiri dan mondar-mandir di depan Anisa juga Azman. Berhenti tepat di depan Azman dan menunjuk dosen mudanya tersebut. "Dan pastinya akan berdampak buruk di penilaian masyarakat. Dengan tidak mengurangi hormat, saya harus mengeluarkan Pak Azman dari kampus ini."

Yang terkejut bukan Azman, melainkan Anisa. Terlihat gelisah dan sesekali melirik Azman. Kemudian, dengan berani menatap Rektor itu. "Maaf, Pak, ini tidak adil namanya!" Anisa protes. Rasanya masalah ini bisa diselesaikan dengan cara lain, bukan mengeluarkan dosen yang memiliki kualitas baik seperti Azman.

"Tidak adil bagaimana? Apa kamu juga mau saya keluarkan dari kampus ini?" tanya Rektor dengan nada tinggi.

"Jangan, Pak!" Azman kali ini yang membela Anisa. Tatapannya masih terfokus pada Rektor kampus. "Biar saya saja yang keluar."

Anisa menggelengkan kepala. Kesalahan ini bukan sepenuhnya dilakukan oleh mereka. "Pak Azman itu sudah berbicara jujur, Pak. Kami memang terkunci, apa pihak kampus tidak bisa memberikan keringanan. Ini namanya terlalu menekan!" Bagi Anisa, keadilan itu harus ditegakan sebisa mungkin. Tidak peduli siapa pun yang terlibat, sekalipun anak pejabat tetap saja harus diadili.

Azman melirik Anisa sejenak.

Rektor itu kembali mondar-mandir mencari solusi terbaik untuk masalah yang terjadi. Sekitar lima menit, barulah sebuah jalan tengah didapati. "Saya bisa memberikan keringanan, tidak mengeluarkan Pak Azman. Tapi, dengan satu syarat."

Anisa antusias. Pendapatnya didengar, itu sangat baik. "Syarat seperti apa, Pak?" Berharap tidak terlalu sulit.

Kedua telapak tangan Rektor memegang meja, menatap Anisa dan Azman silih berganti. "Kalian harus menikah. Setidaknya, nama baik kampus tidak terlalu jelek di mata orang lain."

Anisa berdiri. "Menikah, Pak?" Benar-benar di luar dugaan. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena terlalu shock.

"Bicara yang sopan!" Rektor itu kesal. Kembali menegakkan badan dan Anisa duduk lagi. "Itu keringanan yang bisa saya berikan. Silakan kalian pikirkan baik-baik dan saya hanya memberikan waktu dua hari. Silakan keluar dari ruangan!"

Azman diam, sedangkan Anisa terlihat kesal. Wanita itu segera keluar dari ruangan Rektor dengan membawa segudang amarah serta kebimbangan.

Begitu badan keluar, Anisa langsung disambut oleh Karisma yang ternyata menunggu.

Anisa hampir gila. Semua terjadi tanpa skenario sama sekali. "Ma, aku bisa jelaskan ini." Yakin jika Karisma akan kecewa.

"Nggak ada yang perlu dijelaskan, Sa. Aku dan satpam melihat sendiri kalau kalian tidur di sana." Karisma menatap dengan sorot mata menakutkan. "Aku nggak nyangka kalau kamu bakal lakuin hal segila ini demi dapatkan Pak Azman. Padahal aku yang minta bantuan untuk dekat sama Pak Azman."

"Ma, dengerin aku dulu." Anisa berusaha sebisa mungkin agar persahabatannya tidak hancur.

Karisma berbalik badan dan meninggalkan Anisa begitu saja dengan rasa kecewa yang menggunung. Pertemanan yang sudah terjalin dari sekolah menengah atas itu pun seakan hancur berkeping-keping atas penghianatan Anisa.

"Dia bilang kita sahabat. Bulsit!" Karisma marah dan menimbun kekecewaan.

Suasana pagi di kampus tidak separah ini biasanya. Anisa merasakan aura gelap menyelimuti diri. Belum sempat sampai di sana, tiba-tiba Azman keluar dari ruangan. "Berikan alamatmu dan saya akan datang menemui walimu," katanya dengan enteng. Sontak Anisa membalikkan badan. Menatap tajam Azman. "Seperti halnya semalam, Bapak tetap saja tenang di situasi seperti ini."

Anisa rasanya kehilangan akal sehat. Badannya lelah, pikirannya apalagi. "Menikah itu bukan jalan satu-satunya. Apa Bapak tidak bisa protes?" Anisa kesal dengan sikap lembek Azman di matanya.

"Kalau seperti itu, saya akan memilih dikeluarkan saja," jawab Azman.

Anisa menghela napas kasar. Sudah tidak tau bagaimana menghadapi Azman. "Terserahlah! Aku capek." Anisa akhirnya meninggalkan Azman sendirian. Bagaimana bisa takdir berjalan segila ini?

***

Fatur tersentak ketika kabar itu juga sampai ke telinga dari pihak kampus. Oleh sebab itu, Fatur membatalkan meeting dengan pihak cabang perusahaan yang seharusnya dilakukan hari ini. Lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu pun pulang ke kota asal demi menemui sang adik.

Fatur sampai di Jayakarta sekitar pukul sepuluh siang. Lelaki itu langsung ke rumah dan mencari keberadaan Anisa. "Assalamualaikum, Dek!" Berteriak sekencangnya agar Anisa tahu kedatangan Fatur.

Tak berapa lama Anisa berlarian menuruni anak tangga. Menghampiri Fatur yang sudah ada di lantai bawah. "Wa'alaikum salam, Kak." Keadaanya sedang tidak baik-baik saja, tetapi Anisa tetap menyambut sang kakak seperti anak kecil pada umumnya.

Anisa berdiri di depan Fatur. Mencium telapak tangan lelaki itu sambil berkata, "Akhirnya Kakak pulang juga. Apa semuanya berjalan lancar?"

Fatur diam. Mengamati Anisa tanpa sepatah kata pun. Melihat hal itu, firasat Anisa buruk. "Apa terjadi sesuatu, Kak?" Bahasa tubuh Fatur tidak seperti biasanya. Tak beraura positif.

"Apa pria itu melakukan hal gila ke kamu, Dek?" tanya Fatur.

Dua bola mata Anisa membulat sempurna. Sudah pasti pihak kampus akan memberitahu walinya, Kak Fatur atau ayahnya.

"Apa dia menyentuhmu, Dek?" Sekali lagi Fatur bertanya dengan suara tegas.

Anisa menunduk. Fatur memegang kedua pundak Anisa. "Ayo, bicara! Kakak nggak akan biarkan satu pun orang menyakiti kamu!"

Anisa rasa bukan Azman yang menyakitinya, tetapi sebaliknya. Masalah itu melilit Azman kuat sampai mempertaruhkan kedudukan sebagai dosen.

"Kakak sudah menyuruh dia datang sekarang. Jadi Kakak sendiri yang akan bertanya ke dia." Fatur rupanya bergerak lebih cepat dibandingkan pemikiran Anisa.

"Pak Azman nggak lakukan apa pun ke aku, Kak!" Anisa langsung mengangkat kepala. Masalahnya semakin runyam.

Anisa hendak membuka mulut lagi, tetapi bersamaan dengan itu pembantu mereka menghampiri dan mengatakan jika lelaki bernama Azman datang. Sontak saja Anisa semakin terkejut.

"Suruh dia menunggu di ruang tamu. Saya akan ke sana," kata Fatur pada pembantu mereka.

Pembantu itu paham, lalu menyampaikan perkataan Fatur. Anisa menjelaskan dahulu secara singkat tentang apa yang terjadi. Tak berselang lama dari itu, Fatur dan Anisa menemui Azman yang sudah duduk di sofa tamu panjang.

"Maaf, saya langsung merepotkan Anda yang harus datang ke sini." Fatur duduk di sofa kecil, sedangkan Anisa duduk di sofa panjang berhadapan dengan Azman.

Seperti biasanya, Azman tidak gugup sama sekali. Wajahnya begitu tenang seolah ini bukan masalah besar. "Seperti yang sudah saya jelaskan di sambungan telepon tadi, saya akan meminang adik Anda sebagai istri. Bukan karena memang permintaan dari Rektor saja, tapi karena saya juga punya niatan yang sama."

Fatur menatap lekat Azman. "Penjelasan Anda sama dengan penjelasan Anisa tadi, kalian terkunci. Benar begitu?"

Azman membenarkan. "Ya."

Fatur diam sejenak, melirik Anisa sebentar dan kembali melihat Azman. "Apa itu jalan satu-satunya?"