Ruangan kelas itu penuh dengan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang belajar. Azman pun menerangkan sesuai mata kuliah. Namun, di tengah diskusi mendadak seorang mahasiswi menanyakan hal yang membuat semua orang penasaran."Pak, bagaimana rasanya menjadi dosen untuk istri sendiri?" tanya mahasiswi itu setelah mengacungkan tangan kanan.Anisa tertegun, sedangkan Karisma yang terhalang beberapa orang menatap ke arahnya. Rara sendiri ikut terdiam.Azman memegang buku di tangan, menutupnya sedikit perlahan. Jangan libatkan emosi di kelas, itu prinsip Azman. "Apa pertanyaan itu ada di topik mata kuliah kita hari ini?" tanya Azman.Semua mata memandangi Azman."Tidak, Pak. Tapi karena kami penasaran, kami bertanya," jawab si mahasiswi tersebut."Kami?" Azman menyunggingkan senyum kecil. Kata itu terlalu memaksa banyak orang, padahal Azman meyakini jika yang penasaran hanyalah sang pemberi pertanyaan. "Sepertinya kamu sendiri yang cukup penasaran di sini. Yang lain biasa saja."Tidak ada yang
"Kamu sudah bawa semuanya?" Azman duduk dengan tenang di bangku. Keadaan ruangan dosen pun hening. Beberapa dari mereka ada yang sedang mengisi kelas, adapula yang belum datang.Anisa berdiri di depan Akhmar. Menyimpan setumpuk tugas di meja seraya berkata, "Ada yang masih belum mengumpulkan, Pak."Lirikan mata Azman kian tajam. Tak mengapa, mereka pasangan halal. "Siapa?"Anisa menelan ludah. Keseriusan Azman tentang tugas tidak bisa terkalahkan, bahkan keputusannya saja sulit diganggu gugat."Kamu?" Azman bertanya lagi. Anisa kembali menelan ludah. "Sudah saya duga." Akhmar menggeser setumpuk tugas dari para mahasiswanya ke depan laptop."Bukannya Pak Azman bilang batas akhir pengumpulan tugas itu jam satu, ini baru jam dua belas lewat. Seharusnya saya masih punya waktu," protes Anisa.Kalau ini pandangan Akhmar kembali terfokus pada sosok sang istri. Memperhatikan bahasa tubuh Anisa yang terlihat jelas gugup. "Hanya beda setengah jam, apa bedanya?" Pria itu tersenyum tipis."Seteng
Semenjak Anisa menikah, Fatur hanya sendirian di rumah. Sesekali lelaki itu keluar rumah di malam hari untuk mencari keramaian. Memang belum terbiasa.Malam ini kerinduan Fatur tidak bisa tertahankan. Ia membayangkan bisa satu meja dengan adik kandungnya. Oleh sebab itu, lelaki yang bergelut di bidang makanan tersebut memutuskan untuk mengunjungi rumah Anisa dengan Azman.Namun, tentu saja Fatur perlu izin Azman. Tidak bisa sembarang karena sejatinya sang adik kandung sudah memiliki suami.Fatur mencoba menghubungi Azman dan mendapatkan izin. "Syukurlah," katanya dengan penuh rasa bahagia. Bergegas Azman mengeluarkan mobil yang sudah terparkir dan meluncur bebas dari garasi.Keadaan jalanan memang masih ramai, wajar saja karena arloji di tangan Fatur baru menunjukan pukul tujuh malam lewat dua puluh menit. Sebenarnya bukan karena semata-mata beralasan rindu saja, tetapi Fatur merasa ada yang terjadi dengan adiknya. Batin adik dengan kakak memang terhubung baik, tidak bisa terputus wal
"Kakak datang." Anisa seketika berjalan cepat menghampiri Fatur yang masih di ambang pintu. Tampak jelas raut wajah bahagia dari perempuan tersebut.Manja, mungkin itu satu bentuk ekspresi dari Anisa. Sebab sudah terbiasa bersama Fatur sejak kecil."Assalamualaikum, Dek. Maaf, Kakak baru sempat menjenguk." Fatur memeluk Anisa yang lebih dahulu memeluk tubuhnya. Hangat penuh rindu, sebuah ungkapan bahasa tubuh keduanya. "Adiknya Kakak masih saja manja."Tidak peduli diperhatikan Azman saat ini, Anisa memilih menenggelamkan wajah di dada sang Kakak. Kerinduan yang bercampur dengan keinginan ikut kembali ke rumah tidak bisa terbendung. Di sini rasanya kurang nyaman, tetapi Anisa perlu menutupi dan terus tersenyum. "Wa'alaikum salam. Kenapa Kakak nggak datang ke kampus?" tanya Anisa."Maaf, Kakak baru ada di rumah minggu-minggu ini. Toko cabang di luar kota sedang ada masalah," jawab Fatur.Azman sendiri belum beranjak dari tempat berdiri. Memperhatikan kemanjaan Anisa yang tidak pernah i
Anisa berjalan pelan dengan menahan emosi ke arah kedua temannya. Perhatian publik kini berpusat padanya. Tentu saja karena tokoh utama cerita yang sedang berlangsung sekarang ada kaitannya dengan Anisa."Maaf, aku lama, Ra," kata Anisa saat sudah berada di meja Rara dan Karisma.Rara tersentak, tetapi berbeda hal dengan Karisma. "Astagfirullah, Sa. Kamu udah lama ada di sini?" Rara terlihat kaget serta panik, takutnya kalimat Karisma terdengar. "Ayo, duduk!" Kembali Rara meminta Karisma melakukan itu."Nggak perlu, Ra!" Karisma menolak.Anisa menghela napas lelah. Kesalahpahaman di antara dirinya dengan Karisma harus segera terselesaikan, walaupun memang sedikit sulit karena Karisma berwatak keras kepala di antara mereka.Anisa menatap Karisma di samping kanan. "Ma, aku minta maaf kalau hati kamu merasa tersakiti, tapi alangkah baiknya kalau kita menyelesaikan ini secara pribadi saja tanpa harus menyinggung hal-hal yang tidak perlu dikeluarkan."Karisma menyunggingkan senyum sinis, m
Kalimat Anisa menarik perhatian Azman. Berhasil membuat pria berusia tiga puluh tahun itu pun menoleh dan menatapnya. "Bukannya sekarang kamu sedang menangis?"Anisa bergeming. Tak ada sisa air mata di kedua netra. Ia hanya sedang mencari ide di tumpukan dokumen yang kini tergeletak di lantai. "Saya?" Anisa menunjuk dirinya, kemudian Azman mengangguk cepat. "Saya tidak menangis."Azman gelagapan. Memalingkan wajah sembari menarik kembali tangan. "Kalau begitu kamu tidak perlu sapu tangan." Tindakannya salah. Memalukan.Anisa berdiri. Postur tubuh Azman lebih tinggi darinya. Lebih tepatnya, ia hanya sedada Azman saja. Jika dilihat seksama, dada pria itu memiliki bidang yang bagus serta pundak yang lebar. Pasti hangat jika berada di pelukan atau sekadar menaruh kepala di pundak. "Apa yang terjadi di kantin tadi? Apa benar kamu bertengkar dengan sahabatmu sendiri?" tanya Azman setelah bisa menguasai diri. Sudah Anisa duga jika gosipnya akan tersebar ke mana-mana. Perguliran yang sangat
"Itu privasi, Pak. Saya tidak bisa memberikan alasannya," jawab Anisa.Azman bergeming sejenak."Maaf, Pak, saya harus ke kelas," kata Anisa lagi.Azman melangkah ke belakang dua kali, memberi waktu sang istri untuk keluar dari keadaan yang pastinya cukup mengejutkan. Kemudian, Anisa bergeser ke kanan dan segera pergi meninggalkan Azman dengan jantung yang hampir copot. Keadaan yang tidak pernah terpikirkan sama sekali, bahkan tak diinginkan."Astagfirullah." Anisa mengelus dada pelan sambil keluar gedung. Hampir gila dibuatnya.Setelah Anisa pergi, Azman masih ada di gudang. Diam terpaku seperti orang kebingungan. Beberapa detik kemudian barulah sadar. "Astagfirullah, saya juga harus ke ruangan lagi."Azman bergegas keluar dari gudang. Punggung Anisa masih terlihat di lorong, tetapi Azman tak berniat menghampiri karena tahu jika saat ini keadaan hati Anisa sedang tak karuan. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan. Mengamati Anisa dan Azman sampai akhirnya tidak bi
"Sisil, tunggu saya di mobil," perintah Fatur.Sisil masih penasaran, tetapi harus tetap menurut. "Baik, Pak." Akhirnya melangkah ke depan dan meninggalkan Fatur serta pelamar kerja tersebut.Sisil menjauh, barulah Fatur menatap lawan bicaranya. "Syukurlah kamu langsung mendapatkan kerja." Sontak pelamar kerja yang seorang wanita itu mengangkat badan, menatap balik Fatur. "Saya harap kamu lebih berhati-hati lagi selama tinggal di kota ini. Bukan kejahatan saja, tapi juga dunia kerja."Wanita bernama Nisa itu terdiam sejenak, kemudian berkata, "Terima kasih, Pak. Insya Allah, saya akan bekerja dengan baik.""Bukan itu yang penting." Fatur menggelengkan kepala. Terlihat jelas kebimbangan di raut wajah Nisa. "Tapi bekerja keraslah untuk menjaga dirimu sendiri. Kamu memang harus profesional, tapi kalau sudah menyangkut harga diri dan keselamatan. Itu lain lagi ceritanya."Nisa kurang paham. Mungkin karena baru pertama kali bekerja di kota besar serta awamnya pemahaman tentang dunia kerja