"Sisil, tunggu saya di mobil," perintah Fatur.Sisil masih penasaran, tetapi harus tetap menurut. "Baik, Pak." Akhirnya melangkah ke depan dan meninggalkan Fatur serta pelamar kerja tersebut.Sisil menjauh, barulah Fatur menatap lawan bicaranya. "Syukurlah kamu langsung mendapatkan kerja." Sontak pelamar kerja yang seorang wanita itu mengangkat badan, menatap balik Fatur. "Saya harap kamu lebih berhati-hati lagi selama tinggal di kota ini. Bukan kejahatan saja, tapi juga dunia kerja."Wanita bernama Nisa itu terdiam sejenak, kemudian berkata, "Terima kasih, Pak. Insya Allah, saya akan bekerja dengan baik.""Bukan itu yang penting." Fatur menggelengkan kepala. Terlihat jelas kebimbangan di raut wajah Nisa. "Tapi bekerja keraslah untuk menjaga dirimu sendiri. Kamu memang harus profesional, tapi kalau sudah menyangkut harga diri dan keselamatan. Itu lain lagi ceritanya."Nisa kurang paham. Mungkin karena baru pertama kali bekerja di kota besar serta awamnya pemahaman tentang dunia kerja
Anisa berjongkok di depan sebuah makam dengan nama Tirsa. Meninggal tahun lalu dan hari ini ternyata tepat satu tahun. Azman terlihat membaca doa. Tak lupa menaburkan bunga serta air yang dibawanya dari mobil."Assalamualaikum, Bu." Azman mengukir senyum seraya mengelus nisan berwarna putih tersebut. Nama yang terukir cukup berharga, tetapi juga menjadi pembuat luka dan penyesalan. "Maaf, aku baru datang setelah satu tahun yang lalu."Anisa terkejut, rupanya nama di batu nisan tersebut adalah mertuanya. Namun, yang lebih membuat terkejut Anisa justru kalimat Azman terakhir. Itu artinya Azman tidak pernah mengunjungi makam ibunya. Azman diam. Terlihat jelas menahan tangis. "Ternyata cukup sulit menerima kenyataan, tapi aku sudah ikhlas untuk kepergian Ibu."Anisa menatap Azman. Tidak banyak hal yang diketahui Anisa tentang Azman. Bahkan ini kali pertamanya mengunjungi makam ibu dari suaminya tersebut. Wajar saja karena Anisa meminta Azman untuk tidak melibatkan masalah pribadi, selai
Anisa sibuk membaca di perpustakaan. Mengalihkan pikiran negatif serta sebagai menyalurkan marah terhadap Azman agar menghasilkan sesuatu yang positif.Buku novel dari seorang penulis wanita ternama favoritnya pun menjadi pilihan Anisa. Ia bahkan takjub dengan rangkaian kata yang bersatu menjadi kalimat indah. Sungguh … diksi sederhana. Namun, manis untuk dibaca.Perpustakaan itu memiliki empat buah jendela kaca yang bisa digunakan untuk melihat ke kebun belakang. Di kebun sana pun lebih indah. Berbagai bunga sedang mekar, seperti mawar, anggrek, bunga matahari, tulip dan masih ada yang lain.Awal keadaan Anisa ke rumah ini cukup takjub dengan konsep yang dipilih Azman. Lelaki itu sepertinya menyukai bunga, sebab di beberapa sudut rumah pun terdapat bunga hidup sebagai pemanis. Anisa melirik jam dinding di tembok kanan. Pukul tujuh lewat. Ia saja sudah menunaikan salat Isya, tetapi Azman tak ada tanda-tanda pulang. "Buat apa aku pikirkan? Dia sudah dewasa juga!" Anisa menghela napas
"Tentang apa?" Anisa langsung menyahut.Azman memalingkan wajah. "Sepertinya saya harus segera mandi. Kalau tidak, saya bisa masuk angin." Menghindari pertanyaan. Bergegas membalikkan badan, berjalan selangkah ke depan. Kemudian, berhenti lagi. "Saya harap kamu senang dengan hadiahnya. Sekali saya, maaf." Azman pergi meninggalkan Anisa yang masih bertanya-tanya dalam hati. Namun, tersentuh pula dengan sikap Azman. Semakin hari, pria itu kian menunjukan sikap pedulinya. Sekali pun memang tak terlalu diharapkan.***Azan Subuh berkumandang saat Anisa membuka mata. Perlahan melihat sekeliling. Tak ada Azman, sudah pasti lelaki itu pergi ke masjid terdekat. "Dia ternyata bangun lebih awal seperti biasanya." Anisa bangun. Mengucek kedua mata, meraih ponsel di nakas. Rupanya ada pesan dari sang kakak.[Assalamualaikum, Dek. Hari ini jadwal kamu menemui Ibu. Sesekali ajak suamimu juga]Anisa diam menatap ponsel. Dalam sebulan, ia hanya bisa menemui sang ibu dua kali saja. Mengingat ibunya s
"Kami minta maaf atas kerusuhan yang terjadi." Azman sedikit membungkuk pada dua suster di depan. "Tidak apa-apa, Pak. Sudah biasa." Salah satu suster menjawab dengan sedikit canggung. Anisa juga meminta maaf."Sepertinya Bu Dewi perlu istirahat lagi. Saya minta maaf karena jadwal kunjungan menjadi berantakan," kata suster satunya lagi.Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, ini salah kami. Insya Allah, saya dan suami akan datang lagi minggu depan. Mohon bantuan untuk menjaga ibu, Sus."Azman melirik Anisa. Raut wajah kecewa jelas terlihat. Kunjungan yang mungkin paling dinanti menjadi kacau karena sang Ibu mengamuk, bahkan mencakar kedua pipi Azman seolah tidak terima kehadiran pria itu.Dua suster tadi kembali bekerja, meninggalkan Anisa dan Azman di luar pintu utama. Helaan napas Anisa terdengar jelas, Azman bisa merasakan suasana hatinya."Sebaiknya kita langsung pulang saja, Pak." Anisa tak menatap Azman, langsung berbalik badan dan melangkah sekali ke depan."Saya minta maaf," un
Tujuan Fatur berubah, ia mengantar lebih dahulu Naira ke kantor cabang. Mereka sampai sekitar pukul delapan lebih lima menit. Tentu cukup siang untuk sekelas karyawan seperti Naira."Terima kasih, Pak." Naira melepaskan sabuk pengaman. Masih ada di dalam mobil. "Sama-sama. Masuklah." Fatur menjawab dengan santai.Kedua netra Naira masih terganggu dengan dasi Fatur. Perempuan itu belum bergerak sama sekali, tentu hal ini menarik perhatian Fatur. "Ada yang ini kamu katakan?" tanyanya dengan raut wajah bingung. Naira pun sama."Apa ada yang salah dengan saya hari ini?" Fatur bertanya lagi.Akhirnya Naira memberanikan diri. "Maaf, Pak, dasinya belum dibenarkan." "Ah, ini, ya." Fatur melihat lagi dasi, tetapi pria itu lebih penting tentang waktu. "Biar saya lakukan nanti di kantor saja."Kalimat Fatur baru saja keluar. Hatinya dibuat tersentak dengan kedua tangan Naira yang sudah meraih dasi."Maaf, Pak. Bisa jadi nanti juga Bapak lupa lagi," kata Naira.Fatur bergeming. Tangan Naira beg
Anisa dan Rara langsung ke kantin setelah kelas selesai. Kejadian tadi pagi masih saja terbayang di kepala Anisa. Ia benar-benar harus mengontrol diri agar tidak terjadi lagi."Kamu mau makan bakso, Sa?" tanya Rara yang sudah celingukan dengan berbagai menu di sudut kantin.Anisa masih diam, duduk tegak layaknya patung."Sa." Rara kembali memanggil. Barulah Anisa tersadar, "Iya, Ra," katanya dengan raut wajah biasa saja. Rara mengerutkan kening, rupanya sang teman tidak memperhatikan."Aku kadang suka kesel sama kalian berdua," ungkap Rara."Aku sama Karisma?" tanya Anisa.Rara mengangguk cepat."Alasannya?" Anisa bertanya lagi."Karena kalian kadang asyik sendiri kalau lagi berduaan sama aku." Posisi Rara masih berdiri. "Aku ini temanmu, lho. Makhluk hidup, masa dikacangin!" Kini Rara mengubah mimik wajah dengan ekspresi sedih.Anisa tertawa kecil. "Maaf, tadi aku kurang fokus." "Lupakan soal itu. Sekarang kamu mau makan apa?" Rara menyela.Mulut Anisa hendak terbuka, tetapi suara b
Azman bersikap biasa saja setelah mencuri moment pertama Anisa, sedangkan istrinya tidak berbicara sampai kendaraan mereka sampai di lampu merah."Saya ingin makan steak hari ini. Kalau kamu?" tanya Azman santai.Keadaan di mobil hening. Berbanding terbalik dengan suasana di luar mobil. Bising dan penuh dengan ketidaksabaran para pengendara jalan. Tak jarang pula kata-kata kasar keluar sebagai pengiring kekesalan mereka. Sudah biasa, tetapi bukan artinya harus dinormalisasi. Ditunggu selama dua menit, tidak ada jawaban apa pun dari Anisa. Hal ini menarik perhatian Azman sehingga menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Perempuan itu rupanya sedang melamun. Apa Azman terlalu egois atas tindakannya di parkiran? Padahal ia sudah berjanji untuk meminta izin. "Kamu melamun?" Azman bertanya lagi. Barulah Anisa mengerjapkan mata dan menatap ke arahnya. "Kenapa?"Sejenak Anisa diam, lalu perlahan membuka bibir dan berkata, "Pak Azman masih tanya kenapa." Suaranya diikuti rasa kesal.Azman meng