"Tentang apa?" Anisa langsung menyahut.Azman memalingkan wajah. "Sepertinya saya harus segera mandi. Kalau tidak, saya bisa masuk angin." Menghindari pertanyaan. Bergegas membalikkan badan, berjalan selangkah ke depan. Kemudian, berhenti lagi. "Saya harap kamu senang dengan hadiahnya. Sekali saya, maaf." Azman pergi meninggalkan Anisa yang masih bertanya-tanya dalam hati. Namun, tersentuh pula dengan sikap Azman. Semakin hari, pria itu kian menunjukan sikap pedulinya. Sekali pun memang tak terlalu diharapkan.***Azan Subuh berkumandang saat Anisa membuka mata. Perlahan melihat sekeliling. Tak ada Azman, sudah pasti lelaki itu pergi ke masjid terdekat. "Dia ternyata bangun lebih awal seperti biasanya." Anisa bangun. Mengucek kedua mata, meraih ponsel di nakas. Rupanya ada pesan dari sang kakak.[Assalamualaikum, Dek. Hari ini jadwal kamu menemui Ibu. Sesekali ajak suamimu juga]Anisa diam menatap ponsel. Dalam sebulan, ia hanya bisa menemui sang ibu dua kali saja. Mengingat ibunya s
"Kami minta maaf atas kerusuhan yang terjadi." Azman sedikit membungkuk pada dua suster di depan. "Tidak apa-apa, Pak. Sudah biasa." Salah satu suster menjawab dengan sedikit canggung. Anisa juga meminta maaf."Sepertinya Bu Dewi perlu istirahat lagi. Saya minta maaf karena jadwal kunjungan menjadi berantakan," kata suster satunya lagi.Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, ini salah kami. Insya Allah, saya dan suami akan datang lagi minggu depan. Mohon bantuan untuk menjaga ibu, Sus."Azman melirik Anisa. Raut wajah kecewa jelas terlihat. Kunjungan yang mungkin paling dinanti menjadi kacau karena sang Ibu mengamuk, bahkan mencakar kedua pipi Azman seolah tidak terima kehadiran pria itu.Dua suster tadi kembali bekerja, meninggalkan Anisa dan Azman di luar pintu utama. Helaan napas Anisa terdengar jelas, Azman bisa merasakan suasana hatinya."Sebaiknya kita langsung pulang saja, Pak." Anisa tak menatap Azman, langsung berbalik badan dan melangkah sekali ke depan."Saya minta maaf," un
Tujuan Fatur berubah, ia mengantar lebih dahulu Naira ke kantor cabang. Mereka sampai sekitar pukul delapan lebih lima menit. Tentu cukup siang untuk sekelas karyawan seperti Naira."Terima kasih, Pak." Naira melepaskan sabuk pengaman. Masih ada di dalam mobil. "Sama-sama. Masuklah." Fatur menjawab dengan santai.Kedua netra Naira masih terganggu dengan dasi Fatur. Perempuan itu belum bergerak sama sekali, tentu hal ini menarik perhatian Fatur. "Ada yang ini kamu katakan?" tanyanya dengan raut wajah bingung. Naira pun sama."Apa ada yang salah dengan saya hari ini?" Fatur bertanya lagi.Akhirnya Naira memberanikan diri. "Maaf, Pak, dasinya belum dibenarkan." "Ah, ini, ya." Fatur melihat lagi dasi, tetapi pria itu lebih penting tentang waktu. "Biar saya lakukan nanti di kantor saja."Kalimat Fatur baru saja keluar. Hatinya dibuat tersentak dengan kedua tangan Naira yang sudah meraih dasi."Maaf, Pak. Bisa jadi nanti juga Bapak lupa lagi," kata Naira.Fatur bergeming. Tangan Naira beg
Anisa dan Rara langsung ke kantin setelah kelas selesai. Kejadian tadi pagi masih saja terbayang di kepala Anisa. Ia benar-benar harus mengontrol diri agar tidak terjadi lagi."Kamu mau makan bakso, Sa?" tanya Rara yang sudah celingukan dengan berbagai menu di sudut kantin.Anisa masih diam, duduk tegak layaknya patung."Sa." Rara kembali memanggil. Barulah Anisa tersadar, "Iya, Ra," katanya dengan raut wajah biasa saja. Rara mengerutkan kening, rupanya sang teman tidak memperhatikan."Aku kadang suka kesel sama kalian berdua," ungkap Rara."Aku sama Karisma?" tanya Anisa.Rara mengangguk cepat."Alasannya?" Anisa bertanya lagi."Karena kalian kadang asyik sendiri kalau lagi berduaan sama aku." Posisi Rara masih berdiri. "Aku ini temanmu, lho. Makhluk hidup, masa dikacangin!" Kini Rara mengubah mimik wajah dengan ekspresi sedih.Anisa tertawa kecil. "Maaf, tadi aku kurang fokus." "Lupakan soal itu. Sekarang kamu mau makan apa?" Rara menyela.Mulut Anisa hendak terbuka, tetapi suara b
Azman bersikap biasa saja setelah mencuri moment pertama Anisa, sedangkan istrinya tidak berbicara sampai kendaraan mereka sampai di lampu merah."Saya ingin makan steak hari ini. Kalau kamu?" tanya Azman santai.Keadaan di mobil hening. Berbanding terbalik dengan suasana di luar mobil. Bising dan penuh dengan ketidaksabaran para pengendara jalan. Tak jarang pula kata-kata kasar keluar sebagai pengiring kekesalan mereka. Sudah biasa, tetapi bukan artinya harus dinormalisasi. Ditunggu selama dua menit, tidak ada jawaban apa pun dari Anisa. Hal ini menarik perhatian Azman sehingga menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Perempuan itu rupanya sedang melamun. Apa Azman terlalu egois atas tindakannya di parkiran? Padahal ia sudah berjanji untuk meminta izin. "Kamu melamun?" Azman bertanya lagi. Barulah Anisa mengerjapkan mata dan menatap ke arahnya. "Kenapa?"Sejenak Anisa diam, lalu perlahan membuka bibir dan berkata, "Pak Azman masih tanya kenapa." Suaranya diikuti rasa kesal.Azman meng
"Tentu." Dengan yakin Azman menjawab pertanyaan Anisa. Hati kecilnya tidak berbohong, ia ingin menjadi ayah. Akan tetapi, jalannya tentu lumayan sulit. Mengingat Anisa belum tentu menginginkan hal yang sama dan mereka pun belum pasti bisa bersama selamanya.Jawaban Azman tidak terlalu mengejutkan untuk Anisa. Wajar. "Begitu, ya, Pak." Kembali mengalihkan pandangan ke arah jalan."Kalau kamu sendiri?" Azman masih penasaran. Berharap sang istri pun memiliki misi yang sama.Anisa sejenak diam, kemudian berkata, "Entahlah, Pak. Saya belum berpikir sejauh itu."Bagi Anisa, mengurusi hidupnya sendiri saja belum terlalu baik. Lantas atas dasar apa Anisa harus menghadirkan nyawa orang lain untuk diurusi? Mungkin bukan tidak ingin, tetapi belum sepenuhnya siap. Takut tidak bisa bertanggung jawab."Maaf, Kak. Pesanannya." Tiba-tiba seorang pelayan datang membawa dua piring steak lengkap dengan jus jeruk. Anisa menoleh, memperhatikan tangan karyawan itu dengan teliti menyimpan satu per-satu pir
Weekend pun tiba. Anisa berencana mengunjungi sang kakak di rumah. Namun, harus dibatalkan karena Azman mendadak memberikan dua tiket konser salah satu band kesukaannya."Pak Azman tau dari mana saya suka band ini?" tanya Anisa ketika mereka duduk di kursi halaman belakang.Bunga mawar sedang tumbuh juga bermekaran. Harumnya semerbak, menarik setiap orang untuk tetap diam memandang.Azman menyeruput lebih dahulu segelas kopi hangat buatan istrinya. Membiarkan Anisa penasaran dalam beberapa detik."Minggu kemarin tiketnya sudah habis," sambung Anisa.Tak dipungkiri jika Anisa juga menginginkan hal itu. Hanya saja tak terlaksana karena terlalu lambat mendapatkan informasi.Cangkir teh kembali ke tempat, barulah Azman berbicara. "Teman saya memberikannya karena dia tidak bisa datang."Sudah Anisa duga, mana mungkin lelaki itu lelah mengeluarkan tenaga untuk sekadar tiket konser. "Jadi ini tiket teman Pak Azman?" Dua kertas tiket masih digenggam Anisa. "Saya kira Pak Azman yang mencari."
"Jadi intinya, Pak Azman ini cemburu atau tidak?" Alih-alih menjawab, Anisa justru melontarkan pertanyaan juga.Pertanyaan itu bagaikan anak panah yang tepat sasaran. Azman langsung membungkam mulut.Kening Anisa berkerut kencang. Sudah menunggu selama tiga menit pun, tidak ada jawaban dari Azman. "Menunggu jawaban Bapak seperti membuang waktu. Sudahlah!" Anisa kesal. Bergegas melangkah lebih dahulu ke depan. Katanya mereka akan makan siang lagi di cafe Azman.Seketika Azman tersadar, tetapi Anisa sudah tidak ada di hadapan. "Kalau saya cemburu, apa yang akan kamu lakukan?" Sontak langkah kaki Anisa terhenti. Perempuan itu berdiri sekitar dua meter dari Azman."Saya cemburu karena kamu istri saya. Dibandingkan yang lain, saya lebih berhak atas kamu!" tegas Azman dengan keyakinan penuh.Kalimat itu terdengar dalam dan penuh arti. Mengingatkan Anisa tentang posisinya sekarang, walaupun Anisa sendiri tidak berpikir untuk pergi ataupun menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kedua kaki Azm