"Bukannya kamu menyuruh saya pergi? Sekarang saya sudah pergi, sebaiknya kamu pergi juga." Ucapan Irham Nusahakam terus terngiang di telinga Raina. Dia terus memikirkan pria itu bahkan di saat Anes sedang menginap di kamarnya. "Kenapa lagi, sih? Masih mikirin Bang Irham?" tanya Anes sambil merebahkan diri. Dia menatap Raina di sebelahnya. Raina mengangguk pasrah. "Ngilu banget hati gue, Nes." "Bang Irham pasti sebenernya tetep sayang sama lo, cuma dia jaim aja!" Anes berusaha menenangkan perasaan Raina. "Gimana kalo lo mau aja menunggu?" tanya Anes. Raina menggeleng lemah. "Gue mau ngomong aja dipatahin terus sama dia." Raina bersyukur Anes mau menemaninya malam ini. Wangi krim malam Anes tercium sampai ke hidung Raina. Entah kenapa, terasa cukup menenangkan. "Gue bantu mediasi, ya?" tanya Anes lagi. Dia lekas duduk dan menegakkan badan. "Lo mau ngapain?" tanya Raina. "Gue mau telpon Bang Irham," kata Anes. Raina menggigit bibir pelan. Apa Irham akan menolak dan marah lagi?
"Oke, kalo gitu! Saya pergi! Saya pastikan saya pergi dan Pak Irham tidak akan pernah melihat saya lagi!" Irham bisa melihat entakan kaki Raina penuh pelampiasan kekesalan. Dia terpejam beberapa detik dan berusaha menjernihkan otak. Apa dia sudah keterlaluan? Irham lekas mengejar Raina. Dia mengakui kebodohannya malam ini. Namun, kepergian Irham ke California memang tidak bisa ditunda lagi. Langkah pria itu terhalang oleh Adli. "Bapak apain, Raina?" Adli mendorong bahu Irham dengan sengaja. Irham hanya menarik napas dan berusaha melewati Adli. Namun, mahasiswa itu malah mendorong kasar dan menatapnya tajam. Gibral--yang sejak awal sudah melihat Adli berlari mengejar Raina ke pintu gerbang--pun lekas menghampiri kedua pria itu. Dia seharusnya melerai meskipun tidak tahu apa inti masalah yang terjadi. Yang jelas, Adli terus menghalangi langkah Irham. Itu terlalu mengkhawatirkan bagi Gibral "Ad? Apa-apaan, sih, lo?" tanya Gibral. Sebelah lengannya memeluk bahu Adli dan mendorong pr
Aku ingin membuang semua kenangan tentang kita. Namun, ke mana? Itu yang masih kutanyakan. Haruskah semua terbawa arus sungai dan bermuara di lautan luas. Ataukah mungkin kubuang ke tempat pembuangan sampah agar dibakar? Tidak, tidak! Bagaimana kalau pemulung memungut kenangan kita ... dan mendaur-ulangnya? *** "Gue nggak mau anter lo, Raina!" seru Adli setelah mematikan live media sosialnya. Dia tidak mau beranjak dari kursi." Nggak, nggak! Lo harus anter gue. Gue harus ketemu Pak Irham!" Raina menarik tangan kanan Adli. Pria itu terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Raina. Mereka berjalan menuju tempat parkir di kafe tersebut. "Gue nggak akan anterin lo apa pun yang terjadi. Udah cukup tadi kekacauan saat live." Raina berhenti melangkah. "Kacau apanya?" "Lo sebut nama Pak Irham di depan banyak orang, sedangkan bagi mereka kita ini pasangan," jelas Adli. Dia terus melangkah menuju motornya. Moodnya berantakan. "Ini bisa dibahas nanti aja, nggak, sih, Ad?
Saat dirimu bukan lagi seseorang yang tak diinginkan, itu bukan berarti kamu harus berhenti menginginkan diri sendiri. *** Raina menutup tab blog hariannya. Dia menuliskan beberapa kalimat di atas goresan gambarnya. Kali ini, gadis itu menggambar daun-daun yang berguguran. Pada layar laptop tampak seorang wanita sedang berjalan di bawah musim gugur. Tampak seperti gambaran sebuah penantian. Daun-daun mapel indah berwarna senja bisa mendeskripsikan keindahan dan kesedihan dalam satu waktu. Raina menarik napas dalam. Dia mengingat kembali perjumpaan terakhir dengan Irham sebelum pergi beberapa bulan lalu. Penolakan Irham terhadap Raina terlihat sangat jelas, bukan? Wanita itu sudah memukul egonya dan mengatakan akan menunggu. Namun, kenapa Irham menolak? Sementara, Raina tahu betul bahwa Irham Nusahakam adalah pria bersahaja, penuh wibawa, dan pesona. Namun, bagaimana mungkin pria tersebut bersikap santai atas masa depan? Bukankah sudah cukup menanti orang-orang yang pergi? Dia me
Saya sangat ingin kembali kepadamu. Namun, apakah kamu masih menunggu di sana? Bila penantian adalah sebuah rasa sakit yang akan membuatmu menangis, maka saya tidak akan pernah melakukannya. *** "Sejak datang ke sini, kamu terlihat tidak fokus, Pak Dosen!" Itu suara lembut Celine yang tidak mampu membuat Irham berhenti memandang handphone di tangannya. "Saya rasa, kedatangan saya ke sini adalah langkah besar yang salah," gumam Irham. Celine yang sedang fokus dengan laptop pun menoleh. "Wow! I can't believe I heard this from Irham Nusahakam. Sepertinya telingaku agak bermasalah." Irham benar-benar berusaha keras untuk menaikkan mood-nya. Namun, bayang-bayang senyum Raina bergantian dengan wajah sedih gadis itu selalu melintas. "Ada seseorang yang kamu tinggal di sana? Sejak hari pertama kita berjumpa lagi, aku tuh sebenernya pengen nanya, tapi mukamu itu, lho ... bikin orang malas ngobrol." Irham mematikan program pada laptop dan menutupnya perlahan. Dia memijat kening. "Tanpa
Kamu pikir jika kamu menyuruh seseorang untuk pergi, dia akan selalu meratap? Pilihannya ada dua. Pertama; dia gagal move on dan bertahun-tahun merindukanmu. Yang kedua adalah kamu yang kehilangan dirinya dan dia pergi begitu saja. Melupakanmu dalam sekejap mata adalah hal yang mudah. *** Raina merasa ada yang aneh dengan postingan pada feed Instagramm Irham Nusahakam. Dia berpikir keras. Apanya yang aneh? Wanita itu kemudian ingat kalau dia sudah menghapusnya beberapa bulan lalu. Lalu, kenapa foto itu masih ada di sana? Raina buru-buru membuka kunci layar handphonenya dan melihat ulang. Tanggal. Raina perlu melihat tanggal postingan tersebut. Dia sangat terkejut karena foto tersebut diunggah sekitar tiga bulan yang lalu. Itu artinya tepat setelah kepergian Irham. Apa maksudnya? Apa? Raina ingin menjambak rambutnya sekarang juga karena frustrasi. 3 Fakta Kedekatan Celine Rashadi dengan arsitek muda berbakat Irham Nusahakam. Yang ketiga Ngegemesin banget Raina mengingat kembali b
Hilang yang sesungguhnya adalah saat wajahku tidak pernah lagi terlintas di benaknya. ___ Benda berkilauan di tangan Adli membuat Anes menghela napas berkali-kali. Setan mana yang berhasil mengajaknya ikut membantu Adli memilihkan cincin. Ini terlalu miris untuk dibayangkan terjadi pada dirinya. Anesya yang kata mama dan papa merupakan gadis paling cantik di Jakarta kini berubah. Dia adalah Anesya yang tidak ada artinya bagi Adli. "Bagus yang mana, Nes?" tanya Adli sambil mengembalikan cincin di tangannya kepada wanita penjaga toko. "Mana gue tau! Pilih aja sendiri." Anes menelan ludah. Kenapa dia labil sekali? Dia, kan, seharusnya memang membantu memilihkan benda ajaib itu. Adli memiringkan badan ke kanan. Dia menatap Anes yang sedang membuang pandangan ke sekitar. "Menurut lo lebih cantik yang mana?" tanyanya masih dengan senyum menawan. Anes tersenyum paksa. Dia menatap cincin-cincin yang berjejer rapi. Semua tampak berkilau, tidak sesuram perasaannya hari ini. AC dalam ruang
Angin sepoi-sepoi pun sanggup membawaku kembali kepadamu. Lalu, kenapa kita harus berpisah dengan cara ini? ___ "Serius. Gue mau pindah." Raina menghela napas. "Oke. Ke mana? Kenapa?" Lagi-lagi Anes memborong pertanyaan. "Ke tempat yang nggak ada kalian berduanya." Raina tersenyum. Adli mengerutkan kening. "Maksud lo?" "Gue nggak sudilah ngontrak di bumi lihat keuwuan kalian di masa depan. Jadi, gue memutuskan untuk pindah ke planet lain." Raina menyedot jus mangganya. Rasa asam manis dingin berhasil menghilangkan sedikit lelah yang sejak tadi dirasakannya. Anes menghela napas. "Ah, Raina! Bikin gue takut aja!" Raina hanya tersenyum. Dia menahan segala keinginan untuk berbagi cerita. Raina memang ingin pindah ke Bandung. Namun, tampaknya dia tidak perlu membicarakan hal ini kepada Anes yang heboh dalam segala hal. Kedua sahabatnya pasti akan baik-baik saja. Ya, Adli dan Anes akan baik-baik saja tanpa Raina. *** "Raina tadi bilang kalau mau pindah. Bikin gue takut aja." Suar