“Hei. Bangun! Woy!”
Merasa puas menggoda Navaro, Karina pun membuka matanya untuk melihat wajah tampan Navaro yang sedang kesal saat ini. Navaro menarik tangannya kembali saat Karina telah bangun.
“Varo. Kok lo bisa ada di sini? Bukannya tadi lo udah pulang?”
‘Ternyata acting gue nggak buruk juga. Hihi.’ batin Karina tersenyum puas menggoda Navaro.
“Ayo gue anter lo pulang. Mumpung udah nggak hujan.”
Meskipun awan masih gelap dan terkadang mengeluarkan petir, tetapi hujan telah berhenti. Karina pun mengangguk dan menuruti Navaro. Ia menyurub Karina untuk duduk di jok belakang dengan jarak yang jauh juga tentunya.
“Jaga jarak aman. Jangan nempel-nempel gue!” perintah Navaro membuat Karina menggembungkan pipi kesal. “Iya iya.”
Navaro mulai melajukan motornya dengan kencang. Kalau begini ceritanya, Karina malah menyelipkan tangannya pada jaket kulit milik Navaro. Navaro terkejut karena Karina memeluknya dari belakang. Tetapi dia tak sanggup memarahinya lagi karena fokus pada kemudi. Ia takut hujan akan turun lagi jika tak segera mengantar gadis itu.
Sementara Karina malah meraba perut atletis Navaro yang masih terbalut oleh kaos tipis. Karina tersenyum karena bisa menikmati perut atletis milik Navaro. Sepertinya tekad Karina semakin kuat untuk mendapatkan hati pria itu.
“Jangan sentuh-sentuh gue. Jaga jarak!” teriak Navaro dari balil helm full face-nya.
Namun bukannya menurut, Karina malah menelusupkan tangannya ke dalam kaos dan meraba perutnya. Dua tangan itu mengusap halus permukaan perut Navaro hingga membuat sang empu menahan napasnya. Navaro begitu menikmati sentuhan tangan Karina.
Navaro melihat dari balik spionnya—menatap ke arah Karina yang sedang menutup mata sembari tersenyum saat menikmati usapan di perut Navaro.
Saat jari tangan Karina mulai merambat ke atas, saat itulah Navaro menghentikan motornya mendadak hingga membuat Karina membuka kedua matanya.
“Lo gila, hah?! Gue udah bilang jangan sentuh-sentuh gue. Lo tuli, ya?!” bentak Navaro dari balik helmnya.
“Ck, Navaro! Gue tuh lagi asyik karena bisa sentuh perut atletis lo. Gue tuh penggemar nomor satu lo, Varo. Sekali aja, gue pengen sentuh perut lo!” protes Karina tak kalah kesal.
“Dasar cewek aneh! Nggak ada. Lo harus diem! Kalau lo berulah lagi, gue turunin lo di tengah jalan.”
“Ih, tega banget, sih?!”
“Gue turunin atau diem?”
Karina akhirnya menurut saja dari pada ia harus diturunkan di tengah jalan. Navaro pun kembali mengendarai motornya, melewati hiruk-pikuk jalan raya yang dihiasi lampu untuk menerangi jalanan. Karina masih memeluk Navaro. Bedanya ia tidak berulah seperti beberapa saat yang lalu.
“Rumah lo di sebelah mana?” tanya Navaro.
“Lurus aja. Masih jauh, Navaro,” jawab Karina.
Navaro menurut saja sampai beberapa menit kemudian tiba-tiba hujan turun. Karina terkejut karena hoodie yang dipakainya telah basah karena hujan deras yang mengguyur jalanan kota. Navaro sendiri menepikan motornya di sebuah Cafe terdekat.
“Aduh, kok bisa sih tiba-tiba hujan? Rumah gue udah deket dari sini lo, Varo. Mending ke rumah gue aja, yuk!” ajak Karina.
“Tapi hujannya deres. Gue nggak mau kalau gue sakit,” tolak Navaro membuat Karina mendengus kesal akan alasan dari penolakannya itu.
Mereka berdua berteduh di sebuh Cafe tempat nongkrong para pemuda. Ada beberapa yang ternyata mengenal Navaro. Bahkan mereka mengajak Navaro untuk bergabung dengan mereka.
“Var! Lama lo nggak main ke sini. Sama siapa, nih?” Pemuda itu memperhatikan Karina dari bawah hingga atas.
“Hm, gue lagi sibuk sama turnamen basket. Kapan-kapan gue mampir,” jawab Navaro.
“Ini pacar lo, ya? Wah, lo udah punya pacar nggak bilang-bilang kita. Gue aduin ke Pak Malik lo ya, biar dikawinin sekalian.”
“Eh, beneran dikawinin? Mau, dong! Aduin aja kita!” sahut Karina membuat Alex—teman Navaro itu terkekeh geli mendengarnya.
Sementara Navaro berdecak kesal. Sepertinya membawa Karina berteduh di sini hanya malapetaka saja baginya.
“Gue anter dia pulang dulu.”
“Eh, tapi masih hujan. Ah gue tahu. Lo pasti mau hujan-hujanan ya berdua? Ya udah deh, hati-hati!”
Navaro menarik Karina begitu saja dan menyuruh Karina untuk segera menaiki motor. Karina malah lebih basah kuyup lagi karena hujan masih deras.
“Pegangan yang kenceng,” ucap Navaro yang langsung dimengerti oleh Karina.
Navaro menghela napasnya. Niat hati ia ingin memberitahu untuk memegang pada kedua sisi motornya, namun Karina sudah lebih dulu memeluknya begitu erat. Tak ingin mempermasalahkan hal itu, akhirnya Navaro kembali menjalankan motor besarnya.
***
Navaro berada di depan gerbang rumah Karina lalu memasuki pekarangan rumah yang cukup besar itu. Navaro memarkirkan motornya tepat di depan rumah Karina yang terdapat penutup latarnya sehingga motornya tak akan kehujanan.
“Ayo masuk! Lo bisa masuk angin kalau nggak segera ganti baju!”
“Eh, motor lo jangan taruh sini. Sana, taruh ke garasi!”
“Gue juga nggak mau lama-lama di sini. Ribet banget sih lo!”
“Udah cepet!”
Navaro mengalah dan ia pun memarkirkan motornya ke garasi milik Karina. Karina cepat-cepat mengunci garasi itu kembali.
Karina menarik tangan Navaro begitu saja dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rumah yang besar itu sangat sepi meskipun memiliki ornamen yang begitu mewah dan menawan. Karina membawa Navaro menaiki tangga rumahnya dan menuju ke lantai dua.
“Eh, lo mau ngajak gue ke mana?”
“Udah lo ikut aja,” ucap Karina menarik Navaro untuk masuk ke dalam kamarnya.
Karina mengunci pintu kamarnya dan menghela napas lega. “Hah hah…. Rumah gue itu sering kemalingan. Saat ini bokap sama bodyguardnya lagi di Jerman. Jadi yang jaga cuma Pak Satpam. Pak Satpam pun kalau hujan gini ya ada di pos satpam tadi aja. Terus pembantu gue kalau jam segini udah pulang,” jelasnya panjang lebar.
“Ribet banget hidup orang kaya,” cibir Navaro.
Karina tersenyum senang—meskipun yang diucapkannya tadi adalah fakta, namun ia merasa puas karena bisa berduaan dengan Navaro di dalam kamarnya.
“Lo mau ganti baju dulu? Atau gue dulu?”
“Lo aja,” jawab Navaro cuek yang kini sedang melepas jaketnya yang basah.
Ingin sekali Karina berteriak histeris saat ini karena ia bisa menikmati tubuh atletis Navaro yang tercetak jelas dari balik kaos putih polosnya. Navaro menyadari hal itu. Namun setelah mengetahuinya, Navaro kembali memakai jaketnya.
“Kenapa masih berdiri di situ? Cepet!”
“Iya iya, galak banget, deh.”
Karina membuka lemari pakaiannya dan ia memutuskan untuk memakai kaos tipis kebesaran dengan memakai bra yang berbusa agar dadanya terlihat lebih besar lagi. Karina segera mengganti bajunya di kamar mandi.
Sementara Navaro melihat seisi kamar Karina yang tergolong cukup sederhana. Tak ada hal yang berbau kemewahan di sana, seperti kamar remaja pada umumnya. Hanya saja, Navaro terkejut melihat majalah dewasa di dalam kamar Karina.
Sepertinya dugaan Navaro benar, Karina itu gadis yang mesum.
Cklek…
Pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan sosok Karina yang memakai kaos pink polos dan celana panjang. Kaos yang sangat tipis itu membuat Navaro bisa melihat dengan jelas bra warna hitam yang Karina kenakan.
“Lo yakin hujan-hujan mau pakai baju kayak gitu? Nggak kedinginan apa?” Navaro membuang muka saat mengatakannya.
Sedangkan Karina sibuk mencarikan baju ganti untuk Navaro kenakan di lemari.
“Gue udah terbiasa. Malahan biasanya gue cuma pakai dalaman aja di kamar. Apa gue pakai dalaman aja, ya, sekarang?”
“EH- Nggak nggak!” cegah Navaro.
Karina terkekeh geli dan memberikan kaos hitam lengan pendek miliknya. Hanya itu pakaian yang ukurannya besar—semoga saja muat dengan tubuh berotot Navaro itu.
“Nih, baju buat lo. Lo pak….”
Di saat Karina hendak menarik baju itu keluar dari lemari, di saat yang bersamaan pula sebuah tas yang terbuka jatuh dan menampilkan beberapa baju haram di dalamnya.
Karina membulatkan mata saat ketahuan memiliki baju tersebut tepat di hadapan Navaro yang saat ini juga ikut terkejut.
“Duh, sorry-sorry. Nih bajunya,” tutur Karina yang berjongkok untuk merapihkan kembali baju-baju yang kurang bahan itu.
Dada besar Karina yang terhimpit oleh paha itu membuat Navaro yang berdiri pun melihat lekukannya dengan jelas. Navaro harus segera keluar dari tempat yang menyiksa ini.
To be continue~
Tepat pukul 19.15 WIB, Anna tak memiliki semangat untuk datang ke acara Night Party yang diadakan setiap satu bulan sekali di kampusnya. Anna sendiri tidak mengerti inti dari acara tersebut. Mereka cenderung lebih seperti berpesta yang selalunya Anna lakukan tiap malam di klab.Malam ini Anna harus memberikan jawabannya pada Gerry, kakak tingkatnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Anna ingin mencari orang baru yang mungkin akan mengisi kekosongan hatinya dan membuat ia melupakan masa lalunya yang mengenaskan. Tetapi Anna juga trauma dan takut hal di masa lalu akan terjadi lagi padanya. Anna belum siap menghadapi kenyataan itu lagi. "Nggak! Gue nggak boleh kayak gini. Gue harus bisa move on!"Setelah memantapkan niatnya itu, Anna lantas bangkit dari ranjang kamarnya dan bergegas mencari pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Anna memilih untuk mengenakan crop top dilapisi jaket army, serta celana jeans yang dipadukan dengan sepatu kets putih . Lalu setelahnya ia mendengar
Karina Rosaline—seorang primadona yang menjadi incaran para siswa di SMA Bronxy. Semua pemuda itu tak ada artinya di mata gadis yang kerap dipanggil Karina. Yang Karina inginkan hanyalah Big Boy! Sebuah mobil warna merah mengkilap datang memasuki wilayah sekolah. Karina menyetir mobilnya sendiri bersama dengan empat temannya ; Chika, Devia, Wendy, dan Andin. Keempat temannya itu satu frekuensi dengan Karina, kecuali Andin yang selalu menjadi penengah mereka. "Karina! Rok kamu kependekan lagi!" kesal Andin yang melihat rok sekolah Karina lebih pendek dari kemarin. "Aduh, Andin sayang. Gak papa, kok. Kata Pak Jamal ini masih batas wajar. Kalau ada yang berani grepe-grepe gue, kan gue bisa tonjok anunya mereka." Andin yang semula polos menjadi teracuni dengan pikiran keempat temannya. Andin termasuk siswi yang menjaga sopan santunnya. Namun ada suatu hal yang membuat Andin bisa bertahan berteman dengan mereka. "Jangan keseringan nonjok anunya cowok lo, Rin. Ditonjok dada lo baru tah
"Minggir!" Navaro mendorong tubuh Karina untuk menjauh darinya. Pemuda itu merapihkan seragam sekolahnya yang sedikit lecek karena ditarik oleh Karina begitu saja. Sedangkan Karina mengembungkan pipi kesal—first impression yang begitu menyebalkan. Navaro sama sekali tak ingin memulai pembicaraan dengan gadis mesum itu. Meskipun Navaro akui dia memang cantik, tapi Navaro tidak menyukai sikapnya. "Lo Navaro, 'kan? Kenalin, gue Karina. Gue temennya Andin," ucap Karina sembari menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Navaro. "Hm," gumam Navaro tak jelas. "Gue udah tahu banyak tentang lo dari Andin, dan mulai sekarang gue jadi penggemar lo!" Navaro tentu tahu siapa gadis yang kini berdiri menghimpit tubuhnya. Karina adalah gadis kelas sebelas yang menjadi incaran baik kakak tingkat maupun seangkatan. Bahkan ada adik kelas yang secara terang-terangan memberinya cokelat, dan Karina menerimanya dengan senang hati. Navaro tak menyukai gadis gampangan seperti itu. "Gue nggak pe
"L-lo nggak papa? Kenapa sih lo bikin gue repot mulu?" Navaro membantu Karina untuk bangkit dengan mengontrol dirinya sendiri tentunya. "Gue kira lo udah pergi. Ya gue kan nggak sengaja tadi. Tapi... kenapa lo khawatir sama gue? Lo udah mulai tertarik ya sama gue?" Karina malah meloncat kegirangan dan itu membuat buah dadanya memantul dari balik hoodie. Tidak. Navaro tidak sanggup lagi melihatnya. Ia harus pergi dari sana secepat mungkin. "Gue pergi dulu." *** Karina memberanikan diri untuk keluar dari toilet setelah bra-nya mulai mengering. Ia dengan percaya dirinya keluar memakai hoodie yang biasa dipakai oleh Navaro. Karina mulai menyadari bahwa banyak siswi yang memandang dirinya. "Cih, ternyata dia memang populer di kalangan cewek-cewek. Kenapa gue baru menyadari hal itu? Dasar Karina. Lo terlalu fokus membanggakan diri lo sendiri sampai nggak menyadari ada cowok seseksi Navaro," gumamnya seorang diri. "Tuh baru aja diomongin, orangnya udah muncul," lanjutnya melihat Nav