"Minggir!"
Navaro mendorong tubuh Karina untuk menjauh darinya. Pemuda itu merapihkan seragam sekolahnya yang sedikit lecek karena ditarik oleh Karina begitu saja. Sedangkan Karina mengembungkan pipi kesal—first impression yang begitu menyebalkan.
Navaro sama sekali tak ingin memulai pembicaraan dengan gadis mesum itu. Meskipun Navaro akui dia memang cantik, tapi Navaro tidak menyukai sikapnya.
"Lo Navaro, 'kan? Kenalin, gue Karina. Gue temennya Andin," ucap Karina sembari menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Navaro.
"Hm," gumam Navaro tak jelas.
"Gue udah tahu banyak tentang lo dari Andin, dan mulai sekarang gue jadi penggemar lo!"
Navaro tentu tahu siapa gadis yang kini berdiri menghimpit tubuhnya. Karina adalah gadis kelas sebelas yang menjadi incaran baik kakak tingkat maupun seangkatan. Bahkan ada adik kelas yang secara terang-terangan memberinya cokelat, dan Karina menerimanya dengan senang hati.
Navaro tak menyukai gadis gampangan seperti itu.
"Gue nggak peduli," ucap Navaro tanpa melirik sedikit pun ke arah Karina.
"Ck, ya udah deh. Tapi, gue minta tolong, ya? Janji lo nggak kasih tahu hal yang tadi sama siapapun." Karina mengarahkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah Navaro.
Navaro sedikit kelabakan saat Karina dengan beraninya menyentuh tangannya dan menautkan jari kelingking milik Navaro dengan jari kelilingking miliknya. Karina tersenyum sangat manis dan Navaro mengakuinya dalam hati.
"Makasih, Varo. Gue makin suka kalau lo dingin gini ke gue," ucap Karina yang membuat Navaro cengo di tempat.
"Satu lagi, gue juga suka sama badan atletis lo."
Setelah mengatakan itu, Karina dengan mudahnya membuka pintu toilet hingga para siswa terkejut akan kehadirannya. Saat Navaro mulai ikut keluar dari sana, semua pasang mata menuju padanya.
"Ceileh, Varo. Ternyata lo diam-diam incarannya spek Karina. Duh, mundur deh gue kalau saingannya lo," ucap seorang siswa yang satu kelas dengan Navaro.
***
Navaro memilih untuk pergi ke perpustakaan karena teman sekelasnya sungguh berisik membicarakan tentang ia yang berada di dalam toilet bersama Karina. Pikiran Navaro tak bisa fokus pada buku Sosiologi yang dibacanya. Navaro terus kepikiran dengan perkataan Karina tadi.
"Kenapa dia mau jadi penggemar gue? Emang dia kenal sama gue? Cih, emang dasar ya cewek kegatelan," cibirnya.
Navaro tidak sadar kalau Karina saat ini telah berdiri di belakangnya. Ia tiba-tiba datang dan duduk begitu saja di depan Navaro hingga membuat pemuda itu terkejut.
"Lo...."
'Apa dia dengar yang gue bicarain tadi?' batin Navaro.
"Hai. Kita ketemu lagi. Gue bawain jus avocado yang lo suka," tutur Karina sembari membawa minuman warna hijau pada Navaro.
"Lo aja yang minum."
"Kok gue yang minum? Ini gue kasih buat lo, Varo!" kesal Karina sembari mengerucutkan bibir.
"Bisa aja lo taruh racun di minuman itu."
'Ternyata bener kata Andin kalau Varo itu cuek, ngeselin, sama tegaan. Tapi gue makin nggak sabar pengen jadiin dia pacar gue,' batin Karina berteriak histeris saat menyadari bahwa kini kancing kemeja baju Navaro terbuka dua dari atas.
Navaro yang menyadari arah pandang Karina pun mengikutinya. Ia mendelik saat gadis itu ternyata memperhatikan dada bidangnya. Ck, dasar cewek mesum, pikirnya.
"Em, kalau gitu... gue boleh minta nomor lo nggak, Varo? Please. Atau nggak, lo balas DM gue dong. Gue udah follow lo tahu tadi pagi."
Berisik.
Seumur hidup tak ada yang berani meracaukan hari Navaro. Navaro tak ingin menanggapi Karina sama sekali. Ia pun menutup buku tersebut kemudian hendak keluar dari perpustakaan—ke mana aja asalkan tidak bersama Karina.
"Eh, Varo. Kok lo malah ninggalin gue, sih? Varo! Ini minumannya belum lo..."
Bersamaan dengan Karina yang mengejar Navaro, Navaro secara tak sengaja menumpahkan minuman yang ada di tangan Karina dan membuat seragam gadis itu basah dan berubah warna menjadi hijau akibat perbuatannya. Karina merasa terkejut atas sikap kasar Navaro itu. Tapi seharusnya ia tidak mempermasalahkan hal itu karena memang Karina lah yang mengeyel.
"S-sorry, gue nggak..."
"Yah kan, jadi basah deh seragam gue. Lo harus tanggung jawab!"
Merasa tak enak karena seluruh penghuni perpustakaan memperhatikan mereka, Navaro pun menarik Karina dan membawanya keluar dari sana.
Kali ini Navaro kembali mengajak Karina untuk mengganti seragam yang basah dengan Hoodie milik Navaro. Tidak mungkin Karina akan melanjutkan sekolah dengan pakaian yang tembus pandang akibat basah itu. Navaro bahkan melihat jelas warna bra yang Karina pakai.
'Sial. Gue nggak boleh mikirin hal itu di sini,' batinnya.
Banyak siswi yang lewat sedang memperhatikan dia berdiri seorang diri di depan toilet perempuan. Navaro mengesampingkan hal itu karena rasa tanggung jawabnya.
"Duh, Varo! Sini deh lo," teriak Karina dari dalam sana.
"Kenapa?" teriak Navaro tak kalah keras.
"Ini. Sini deh! Gue nggak bisa jelasin!"
Navaro menghela napas pasrah. Ia mulai memasuki toilet perempuan yang untungnya sedang sepi karena bel baru saja berbunyi.
"Kenapa?" ulang Navaro dari balik pintu yang masih tertutup.
"Lo punya tas cadangan nggak? Gue harus sembunyiin sesuatu."
"Tas cadangan? Maksud lo?"
"Gue harus sembunyiin sesuatu. Ck, udah deh, lo ada tas cadangan nggak? Gue mau pinjem. Besok gue balikin deh."
"Gue nggak ada tas cadangan," jawab Navaro jujur membuat Karina menghela napas.
"Ya udah kalau gitu lo balik aja ke kelas. Gue belum bisa balik."
"Kenapa?"
"Ishh! Lo nanya kenapa mulu deh! Udah cepetan lo pergi sana!"
Karina pun merasa bingung dengan situasinya sekarang. Saat ini bra nya basah dan ia tidak ingin membuat hoodie milik Navaro ikut basah juga. Di sisi lain Karina juga tak ingin keluar hanya mengenakan hoodie saja. Bisa-bisa nipple-nya tercetak jelas dan itu akan membuat siswa mesum menikmatinya.
"Oke kalau gitu."
Karina tak menyangka jika Navaro akan meninggalkannya.
"Huh, gagal deh gue dapatin nomor dia. Padahal dia tipe gue banget. Masa cuma gara-gara sikap dia yang tegaan gini gue jadi mundur sih. Ck, nggak boleh. Gue harus berusaha lagi."
Ternyata Navaro belum pergi dari sana dan ia mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh Karina dari dalam. Navaro mengernyitkan dahi, merasa semua ini adalah kebetulan yang aneh. Dia yang sama sekali tak pernah berbicara, bahkan bertukar pandang saja tak pernah, kini tiba-tiba Karina mengejarnya dengan alasan Navaro adalah tipenya.
"Eh, aduhh!" Karina tak sengaja terpeleset saat hendak meraih seragam yang ia taruh di dinding.
Navaro yang mendengar itu pun khawatir dan membuka pintu toilet begitu saja. Saat itulah Navaro merasa sesuatu di bawah sana mulai sesak. Ia meneguk ludahnya susah payah melihat Karina yang membawa sebuah bra—yang sepertinya berukuran 38B, ukuran yang cukup besar untuk seumuran siswi SMA. Navaro juga melihat nipple Karina yang menyembul dari balik hoodie oversize-nya.
"V-varo...."
To be continue~
"L-lo nggak papa? Kenapa sih lo bikin gue repot mulu?" Navaro membantu Karina untuk bangkit dengan mengontrol dirinya sendiri tentunya. "Gue kira lo udah pergi. Ya gue kan nggak sengaja tadi. Tapi... kenapa lo khawatir sama gue? Lo udah mulai tertarik ya sama gue?" Karina malah meloncat kegirangan dan itu membuat buah dadanya memantul dari balik hoodie. Tidak. Navaro tidak sanggup lagi melihatnya. Ia harus pergi dari sana secepat mungkin. "Gue pergi dulu." *** Karina memberanikan diri untuk keluar dari toilet setelah bra-nya mulai mengering. Ia dengan percaya dirinya keluar memakai hoodie yang biasa dipakai oleh Navaro. Karina mulai menyadari bahwa banyak siswi yang memandang dirinya. "Cih, ternyata dia memang populer di kalangan cewek-cewek. Kenapa gue baru menyadari hal itu? Dasar Karina. Lo terlalu fokus membanggakan diri lo sendiri sampai nggak menyadari ada cowok seseksi Navaro," gumamnya seorang diri. "Tuh baru aja diomongin, orangnya udah muncul," lanjutnya melihat Nav
“Hei. Bangun! Woy!” Merasa puas menggoda Navaro, Karina pun membuka matanya untuk melihat wajah tampan Navaro yang sedang kesal saat ini. Navaro menarik tangannya kembali saat Karina telah bangun. “Varo. Kok lo bisa ada di sini? Bukannya tadi lo udah pulang?” ‘Ternyata acting gue nggak buruk juga. Hihi.’ batin Karina tersenyum puas menggoda Navaro. “Ayo gue anter lo pulang. Mumpung udah nggak hujan.” Meskipun awan masih gelap dan terkadang mengeluarkan petir, tetapi hujan telah berhenti. Karina pun mengangguk dan menuruti Navaro. Ia menyurub Karina untuk duduk di jok belakang dengan jarak yang jauh juga tentunya. “Jaga jarak aman. Jangan nempel-nempel gue!” perintah Navaro membuat Karina menggembungkan pipi kesal. “Iya iya.” Navaro mulai melajukan motornya dengan kencang. Kalau begini ceritanya, Karina malah menyelipkan tangannya pada jaket kulit milik Navaro. Navaro terkejut karena Karina memeluknya dari belakang. Tetapi dia tak sanggup memarahinya lagi karena fokus pada kemu
Tepat pukul 19.15 WIB, Anna tak memiliki semangat untuk datang ke acara Night Party yang diadakan setiap satu bulan sekali di kampusnya. Anna sendiri tidak mengerti inti dari acara tersebut. Mereka cenderung lebih seperti berpesta yang selalunya Anna lakukan tiap malam di klab.Malam ini Anna harus memberikan jawabannya pada Gerry, kakak tingkatnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Anna ingin mencari orang baru yang mungkin akan mengisi kekosongan hatinya dan membuat ia melupakan masa lalunya yang mengenaskan. Tetapi Anna juga trauma dan takut hal di masa lalu akan terjadi lagi padanya. Anna belum siap menghadapi kenyataan itu lagi. "Nggak! Gue nggak boleh kayak gini. Gue harus bisa move on!"Setelah memantapkan niatnya itu, Anna lantas bangkit dari ranjang kamarnya dan bergegas mencari pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Anna memilih untuk mengenakan crop top dilapisi jaket army, serta celana jeans yang dipadukan dengan sepatu kets putih . Lalu setelahnya ia mendengar
Karina Rosaline—seorang primadona yang menjadi incaran para siswa di SMA Bronxy. Semua pemuda itu tak ada artinya di mata gadis yang kerap dipanggil Karina. Yang Karina inginkan hanyalah Big Boy! Sebuah mobil warna merah mengkilap datang memasuki wilayah sekolah. Karina menyetir mobilnya sendiri bersama dengan empat temannya ; Chika, Devia, Wendy, dan Andin. Keempat temannya itu satu frekuensi dengan Karina, kecuali Andin yang selalu menjadi penengah mereka. "Karina! Rok kamu kependekan lagi!" kesal Andin yang melihat rok sekolah Karina lebih pendek dari kemarin. "Aduh, Andin sayang. Gak papa, kok. Kata Pak Jamal ini masih batas wajar. Kalau ada yang berani grepe-grepe gue, kan gue bisa tonjok anunya mereka." Andin yang semula polos menjadi teracuni dengan pikiran keempat temannya. Andin termasuk siswi yang menjaga sopan santunnya. Namun ada suatu hal yang membuat Andin bisa bertahan berteman dengan mereka. "Jangan keseringan nonjok anunya cowok lo, Rin. Ditonjok dada lo baru tah