"Sekarang aku tanya. Apa yang kamu tau soal Bapak?" Safira melontarkan pertanyaan tersebut setelah mobil Kai keluar dari perkampungan rumahnya. Mengesampingkan keingintahuannya; 'Kenapa Kai bisa tiba-tiba muncul di rumahnya'. Saat ini dia sudah merasa sedikit lebih tenang, dan menguasai akalnya agar tak berpikiran buruk tentang Kai. Meski sisa isakan masih terdengar. Salah satu alasan Safira mau ikut ke apartemen Kai lagi ialah; perihal sesuatu yang diketahui oleh pemuda itu mengenai ayahnya. Untuk urusan yang lain, dia tidak ingin memikirkannya lebih dulu. Kai yang fokus mengemudi lantas mengembuskan napas sangat panjang. Dari air mukanya terlihat jelas jika apa yang diketahuinya mengenai Januar merupakan kabar yang kurang mengenakkan."Nunggu sampe apartemen dulu. Baru gue cerita." Pemuda itu menoleh sekilas ke Safira yang langsung memberi tatapan tajam. Dia pun berkata lagi, "Tenang aja. Gue gak bakal bohong lagi kali ini." Seakan-akan dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Safir
"Itu sertifikat rumahku." Safira sontak bangkit dari duduknya, dan hampir menyambar sertifikat rumahnya dari tangan Kai. Tetapi, dia gagal mengambilnya karena Kai lebih dulu berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Mau ngapain lu?" Sepasang manik Kai memicing tajam sambil memegang tangan Safira dengan tangannya yang lain. Menahan perempuan itu yang ingin merebut sertifikat di tangannya. "Aku mau ambil sertifikat rumahku." Rahang Safira mengetat dan gigi-giginya saling bergemelutuk. Kesal karena tak berhasil merebut miliknya dari tangan Kai. Kai masih menggenggam tangan Safira, meski calon kakak iparnya itu sedang berusaha melepaskannya. Dia berdecak kemudian berkata, "Gak segampang itu, Nona. Ada harga yang mesti lu bayar kalo mau ngambil ini." Map yang masih dia angkat tinggi itu dikibas-kibaskan seolah tengah memprovokasi Safira. Bola mata Safira melebar, dan setelah susah payah melepas genggaman tangan Kai, akhirnya dia berhasil. Menarik, lalu memutar pergelangan tangan
Kesepakatan malam itu rupanya sangat mempengaruhi konsentrasi Safira. Setiap harinya perempuan bermanik cokelat dan berkulit putih itu selalu dirundung gelisah dan cemas. Setiap detiknya, dia bahkan merasa tidak nyaman serta takut. Takut, apabila sewaktu-waktu ulahnya terendus oleh Arkana.Safira mungkin bisa bernapas untuk saat ini sebab calon adik iparnya yang brengsek dan licik sedang berada di luar kota hampir dua pekan ini. Sehingga kesepakatan yang telah dia sepakati dengan Kai belum terlaksana. Entah apa yang dikerjakan oleh Kai di luaran sana. Safira tak pernah ingin tahu apalagi ikut campur urusan pemuda itu. Hanya saja yang membuat Safira heran, kenapa Kai memiliki banyak uang. Padahal adik tiri Arkana itu tak pernah sudi memakai atau menggunakan fasilitas dari Barack—papinya. Bahkan, saham perusahaan yang menjadi bagiannya saja tak sedikit pun Kai ambil. Akan tetapi, ditilik dari gaya hidup seorang Arthur Barack Kai, putra kedua dari Barack tersebut sangatlah berkecukupan
Entah sudah ke berapa kalinya Safira menggerutu hari ini. Semenjak Kai menemuinya di Kafe, sampai detik ini di apartemen lelaki itu. Harusnya, dia kini sudah berada di Bar untuk bekerja. Namun, Kai melarangnya pergi dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal."Padahal dia lagi seneng-seneng sama cewek lain. Bisa-bisanya gak ngebolehin aku berangkat kerja. Ck! Apa, sih, maunya dia?" Mulut Safira mengerucut sambil berguling-guling di atas kasur—mencoba mengusir rasa bosan yang melanda. Sejak tiba, dia sama sekali tidak keluar kamar— dikarenakan malas jika harus menyaksikan kemesraan dua sejoli di ruang tamu. "Ngapain juga, Kai ngajak itu cewek! Seenggaknya dia bisa mikir kalo ada manusia di apartemennya ini." Safira bangkit dan duduk bersila sambil mengembuskan kasar napasnya. Meraup wajahnya berulang kali, lalu menyambar ponsel di atas nakas samping tempat tidur.Ternyata, ada banyak sekali pesan dari Lolita yang menanyakan perihal Safira yang tidak berangkat malam ini. Safira pu
Efek dari peringatan yang dilontarkan Kai sebelum pemuda itu masuk ke kamar, membuat Safira jadi tak bisa tidur semalaman. Perempuan cantik itu pastinya terus kepikiran dengan semua poin-poin yang dibuat Kai tanpa persetujuannya sama sekali. Dengan kata lain—'suka tidak suka, dan mau tidak mau', Safira harus menurut tanpa diperbolehkan protes mau pun bernegosiasi. Seperti pagi ini. Safira yang sudah terbiasa bangun pagi, sudah terlihat berkutat dengan seabrek pekerjaan. Dari mencuci baju bekas pakai Kai, membersihkan seluruh unit apartment serta memasak untuk sarapan. Dia harus menyelesaikan semua itu sebelum pukul delapan karena hari ini dia masih masuk shift pagi. "Bikinin nasi goreng aja, deh. Masih ada sisa nasi semalem." Lekas membuat bumbu untuk nasi goreng, dan menyiapkan berbagai macam pelengkapnya; bakso, sosis dan telur. Tak lupa sedikit sayuran instan Safira tambahkan sebagai serat. "Fir, bikinin gue kopi dong." Kai muncul ke dapur dengan malas serta wajah bangun tidur.
"Ini Villa siapa?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Safira, ketika dia baru turun dari mobil dan kakinya menginjak paving di sekitar halaman bangunan yang terbilang sangat mewah. Sepasang maniknya tak berhenti mengedar ke sekeliling yang nampak asri dan sejuk. "Punya si Eve." Kai menjawab setelah turun dari mobil dan menutup pintunya. Sejenak Safira tertegun mendengar nama Eve disebut. Dia menoleh dan bertanya, "Eve? Eve pa—" "Kai!" Perkataan Safira terpotong dengan kehadiran seorang perempuan cantik dan seksi yang menghampiri mereka. Eve muncul di sana, lalu tanpa malu langsung memeluk Kai dan mencium pipi lelakinya. Bola mata Safira sontak saja melebar dengan kemunculan Eve di sana. Pertanyaan yang belum sempat terlontar pun dia telan kembali. 'Ya ampun ... Kenapa, sih, tuh, orang gak punya malu banget! Gak liat apa, kalo ada manusia di sini! ck!' Tentu saja Safira menggerutu kesal di dalam hatinya—menyaksikan pemandangan yang tidak layak untuk dipertontonkan. Lebih baik dia
Duaaarrr!"Fira!" Suara petir yang terdengar menggelegar di langit sontak mengagetkan Kai yang tengah terlelap di tempat tidur. Lelaki yang masih dalam keadaan polos itu terduduk, dan masih mengumpulkan sisa-sisa kesadaran sambil meringis menahan denyutan di kepala yang terasa menusuk-nusuk. "Sial! Kepala gue sakit banget!" Kai menyugar rambutnya ke belakang dan menjambaknya. Memejamkan matanya erat-erat, seraya mendesah kesal. "Kai? Kenapa?" Eve yang tidur di samping Kai pun ikut terbangun. Perempuan itu mengapit selimut di antara ketiak untuk menutupi tubuhnya yang polos. Alih-alih menjawab, Kai hanya menghela napas panjang. Pemuda itu lantas bergegas beranjak dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Mengenakannya satu persatu sampai selesai, meski denyutan masih samar-samar terasa di kepala."Ini jam berapa, Eve?" Kai bertanya sebab melihat kondisi langit di luar sana yang sudah gelap serta tidak menemukan jam dinding di kamar itu. Di luar juga sedang
"Gue mesti nyari, tuh, bangsat, ke mana lagi, coba? Sialan, memang!" Umpatan itu terlontar dari mulut Kai yang merasa sangat kesal sebab tak kunjung menemukan keberadaan Juan di mana pun. Sudah hampir sepekan, tetapi orang-orang suruhannya tak ada yang bisa menemukan bajingan itu. Di ruang tamu, saat ini lelaki bertato itu sedang berbicara dengan Danis yang datang beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan, Danis berkunjung ke apartemen Kai. Setelah mendengar kabar yang cukup mengejutkan, Danis merasa ingin tahu bagaimana kondisi Safira yang katanya sangat terguncang setelah hampir diperkosa oleh Juan—temannya. Dan sekarang, Kai sedang memburu Juan untuk membuat perhitungan. Tetapi, tak semudah yang dibayangkan. Juan berhasil bersembunyi dari kejaran anak buah Kai. "Kemungkinan dia balik ke luar negeri, sih ...." Danis berasumsi demikian setelah beberapa saat berpikir dan menyesap kaleng bir. Menyilangkan kaki seraya menggaruk dagu. Kalau seperti itu, Kai tidak bisa berbuat ban
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya