"Gue mesti nyari, tuh, bangsat, ke mana lagi, coba? Sialan, memang!" Umpatan itu terlontar dari mulut Kai yang merasa sangat kesal sebab tak kunjung menemukan keberadaan Juan di mana pun. Sudah hampir sepekan, tetapi orang-orang suruhannya tak ada yang bisa menemukan bajingan itu. Di ruang tamu, saat ini lelaki bertato itu sedang berbicara dengan Danis yang datang beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan, Danis berkunjung ke apartemen Kai. Setelah mendengar kabar yang cukup mengejutkan, Danis merasa ingin tahu bagaimana kondisi Safira yang katanya sangat terguncang setelah hampir diperkosa oleh Juan—temannya. Dan sekarang, Kai sedang memburu Juan untuk membuat perhitungan. Tetapi, tak semudah yang dibayangkan. Juan berhasil bersembunyi dari kejaran anak buah Kai. "Kemungkinan dia balik ke luar negeri, sih ...." Danis berasumsi demikian setelah beberapa saat berpikir dan menyesap kaleng bir. Menyilangkan kaki seraya menggaruk dagu. Kalau seperti itu, Kai tidak bisa berbuat ban
Kai tiba-tiba terbangun karena merasakan kram di tangan kanannya. Dia menoleh pelan lalu menarik kedua sudut bibir saat menatap seseorang yang tengah terlelap dengan damai di sampingnya. Kepala Safira bertumpu pada lengan lelaki itu. Perempuan yang semalam merengek padanya dan terus saja gelisah, kini sedang tidur sangat nyenyak sekali. Sampai-sampai Kai tidak tega untuk membangunkannya. 'Gara-gara gue, lu jadi kayak gini, Fir. Elu pasti takut banget malem itu. Emang anjing si Juan. Liat aja kalo anak buah gue berhasil nemuin lu. Bakal abis lu sama gue.' Batin Kai mengutuk kelakuan Juan terhadap Safira.Memandang Safira dalam keadaan damai seperti sekarang adalah hal yang sangat langka bagi Kai. Apalagi, bila diingat-ingat, selama beberapa bulan ini hubungannya dengan Safira hanya berlandaskan kesepakatan gila yang telah ditentukan olehnya. Tak pernah sama sekali Kai menduga akan berada di posisi seperti ini—Safira tidur di lengannya dan memeluknya erat. 'Mungkin emang gue yang udah
Seperti yang dikatakan Kai tempo hari—jika Safira tak perlu lagi berangkat kerja menjadi SPG. Kekhawatiran Kai yang berlebihan seperti itu justru menimbulkan banyak sekali pertanyaan di dalam benak Safira. Mengingat, jika selama kenal dengan pemuda yang memiliki tatto hampir di seluruh tubuhnya itu, Kai terkenal sebagai orang yang sangat menjengkelkan. Apalagi jika mengingat perangainya yang sangat licik. Safira tak sepenuhnya percaya. Namun, bila diperhatikan selama tiga hari ini, Kai memang banyak berubah. Dari caranya bicara sampai sikap sekaligus kelakuannya. Tak jarang, Kai tidak ragu membantu Safira membersihkan unit serta memasak. Contohnya seperti malam ini ketika Safira yang baru saja keluar kamar hendak menyiapkan makan malam. Keberadaan Kai di dapur, dengan memakai apron dan sudah berdiri di depan kompor, cukup mengejutkan Safira."Kai? Kamu kapan pulang?" tanya Safira, yang sudah berdiri di belakang Kai, dan menatap heran. Safira melangkah mendekati Kai lalu meneliti pen
Lagu berjudul 'Seven' yang dibawakan oleh penyanyi terkenal asal negeri ginseng yakni Korea, kini sedang diputar lewat sambungan bluetooth di dalam mobil Kai. Musiknya yang cukup asyik mengisi kekosongan serta kecanggungan dua manusia yang saat ini sedang duduk bersebelahan. Ide memutar lagu tersebut muncul di kepala Safira sebab dia merasa benar-benar bingung hendak mengobrol apa dengan Kai. Setelah adegan cium kening semalam, lelaki di sebelahnya itu juga belum banyak bicara seperti biasa. Hanya bilang akan mengantar Safira pulang ke rumahnya lalu setelahnya tak ada pembicaraan lagi.Safira pun sebenarnya ingin bertanya—alasan dibalik ciuman tersebut. Namun, dia merasa tak cukup mempunyai nyali untuk menanyakannya. Takut dikira terbawa perasaan atau semacamnya. Kai itu suka sekali membuat jantung para perempuan yang ada di dekatnya dag dig dug. Tak ada perempuan yang tidak tertarik oleh pesonanya. Satu saja yang disayangkan dari Kai, yaitu sifatnya yang sangat sulit ditebak. Kare
"Maaf, ya, soal omongan ibu-ibu di warung tadi." Safira sungguh merasa sangat malu saat berada di warung—tempat dia biasa berbelanja kebutuhan rumah.Ibu yang punya warung menyangka jika Safira sudah sangat lama tidak terlihat karena ternyata sudah menikah. Lucunya, Kai malah tidak menampik, dan malah asal mengiyakan saja. Satu teko es teh manis Safira taruh di meja makan beserta gelas kosong. Kemudian dia menuang es itu ke dalam gelas, dan menyodorkannya ke Kai. "Minum dulu." "Thanks." Kai mengangkat gelas es teh manis lalu meminumnya sampai habis karena merasa sangat haus setelah beberes rumah dan berjalan kaki menuju warung. "Gak masalah, Fir. Gue, mah, santai orangnya." Gelas yang sudah kosong dia letakkan lagi ke meja dan Safira mengisinya lagi.Setelah mengisi gelas Kai lagi, Safira menyalakan kompor dan menaruh panci yang sudah diisi air."Si ibu warung kalo ngomong emang suka ngasal." Dia mengambil dua bungkus mi instan dari kantong kresek hitam, dan berbalik menatap Kai. "Ka
Rupanya, Kai bersungguh-sungguh tidur di dalam mobil yang masih terparkir di sebuah lahan kosong tidak jauh dari rumah Safira. Kecemasannya akan kondisi perempuan itu ternyata mulai berlebihan. Padahal, Safira juga sudah meminta Kai untuk pulang saja ke apartemen. Hingga pukul satu dini hari, Kai belum juga bisa memejamkan mata akibat pergerakkan yang tak sebebas saat tidur di kamarnya. Berkali-kali dia menggerutu saat kakinya yang panjang tidak bisa berselonjor dengan bebas di jok belakang. Punggungnya juga mulai terasa sakit akibat posisi yang tidak pas. "Ck! Susah banget, sih!" Pemuda bertato itu lantas terduduk dan membuang kasar napasnya. "Safira bisa tidur gak, ya?" Pikirannya lagi-lagi tertuju pada Safira. Karena tak mau menduga-duga, Kai berinisiatif mengirim pesan. Hampir sepuluh menit terlewat, belum juga ada balasan dari Safira. Padahal, pesannya sudah centang biru. "Kok, gak langsung dibales? Padahal udah dibaca." Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari langit, dan tak
Nyatanya, kesiapan yang diucapkan Safira beberapa saat yang lalu hanyalah sebuah bentuk dari keputusasaannya saja. Safira tak bisa merespon apa pun yang dilakukan Kai pada tubuhnya. Dia justru semakin ketakutan dan bergetar hebat. Maniknya terpejam sangat erat seraya mengepalkan telapak tangan sampai berkeringat.Kai menuruti kemauan Safira yang memintanya untuk membantu menghilangkan bayangan kejadian malam itu. Dengan sabar, dia melakukan apa yang biasa dilakukan terhadap perempuan yang ditidurinya. Mulai dari memberikan sentuhan-sentuhan lembut di setiap titik sensitif, serta kecupan-kecupan ringan di kening, pipi, ujung hidung, kedua kelopak mata dan yang terakhir bibir.Kai memperlakukan Safira seperti memperlakukan barang yang mudah pecah. Sangat hati-hati sebab tak ingin mengundang rasa takut bagi perempuan cantik itu. Namun, alih-alih merespon, Safira malah tak berhenti memejamkan mata dan menggigil ketakutan. Bulir-bulir keringat dingin yang bermunculan di sekitar kening dan
Safira mengira bila Arkana akan tiba di rumahnya saat langit sudah menggelap. Namun, tak diduga, lelaki yang usianya dua tahun di atasnya itu telah memberinya sebuah kejutan dengan tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya."Masuk, Mas." Safira membuka lebar-lebar pintu kayu bercat putih yang warnanya sudah memudar karena dimakan usia. Dia bergeser memberi celah supaya Arkana bisa masuk ke dalam. Senyum mengembang di bibir Arkana yang sedari tadi belum surut itu semakin lebar. "Makasih, Fir." Dia lantas masuk, dan mengulurkan tangan. "Buat kamu." Buket bunga dan paper bag, Arkana sodorkan ke Safira.Pandangan Safira turun pada apa yang disodorkan Arkana. "Apa itu, Mas?" tanyanya lantas menerima hadiah itu. "Bunga?" Pipi Safira tiba-tiba merona, karena buket mawar pemberian Arkana. "Cantik sekali, Mas." Hidungnya mengendus setiap aroma wangi yang menguar dari kelopak mawar itu."Cantik kayak orangnya." Tangan Arkana terulur mengusap pipi Safira sebentar, lalu masuk ke kantong celana wa