"Kira-kira Mas Arkana kenapa, ya? Kok, mendadak dia jadi tanya-tanya soal Kai?" Safira bermonolog seraya menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel sambil mencuci tangan. Setelah menjawab pertanyaan Arkana perihal Kai; apakah sering berkunjung ke rumahnya. Safira pamit ke toilet untuk mencuci tangan. Namun, alasan dibalik itu semua adalah—Safira hanya ingin menghindari Arkana yang bisa saja bertanya lebih jauh lagi. Itu sebabnya, Safira memilih pergi sementara waktu supaya Arkana tidak mencecarnya lagi. Safira mengeringkan tangannya dengan tisu toilet sambil bergumam, "Tapi, kira-kira Mas Arkana percaya gak, ya, sama jawabanku. Gimana kalo dia gak percaya?" Hatinya semakin tidak tenang saat mengingat jawaban yang dia berikan pada Arkana. Jawaban yang kurang lebih tidak sepenuhnya benar. Dan Safira terpaksa melakukan itu. Hal wajar sebenarnya, bila Arkana bertanya dan ingin tahu soal Kai yang diberinya amanah. Mungkin, Arkana hanya ingin memastikan; Apakah adiknya itu sungguh-
Awalnya, hari ini Kai berniat pergi bersama Anggun ke Hotel—tempat biasa mereka berbagi peluh. Namun, saat di jalan, dia justru tidak sengaja melihat mobil Arkana. Tanpa berpikir panjang, Kai memutuskan untuk mengikutinya sebab dia juga melihat keberadaan Safira di dalam mobil. Anggun sempat terheran-heran karena Kai malah mendadak merubah rencana mereka. Pemuda itu beralasan hendak menemui seseorang yang sangat penting di Restoran tersebut. Anggun pun percaya, dan tak banyak bertanya. Dia akan mengikuti ke mana pun Kai pergi asalkan tetap bersama pria itu.Kai mengikuti sampai ke Restoran, dan merasa sangat kesal sekali karena Arkana dan Safira malah menempati ruang VIP. Dia tak menyerah dan tetap memilih menunggu kesempatan. Di saat kesempatan datang, Kai tentu tak menyia-nyiakan. Saat tahu Safira hendak ke toilet, Kai pun nekad menyusulnya meski dia harus mempertaruhkan harga diri bila ada orang yang memergoki.Dan gilanya lagi. Kini, dia dan Safira terjebak dalam situasi yang tak
Di balik meja kerjanya, Arkana terlihat gelisah sebab Safira tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Hujan di luar sana juga semakin deras serta suara gemuruh petir yang tak berhenti di langit gelap itu hampir memekakkan telinga. Arkana menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Meletakkan benda pipih ke meja lalu mengendurkan lilitan dasi yang terasa mencekik."Safira kenapa gak ngangkat teleponku? Apa dia udah tidur?" Arkana mengusap wajah gusarnya, dan menatap ponselnya yang tak kunjung mendapat balasan pesan mau pun telepon balik dari Safira. Seakan seharian ini pikiran lelaki yang memakai kacamata itu terus saja tertuju pada sang calon istri. Terakhir kali dia dan Safira saling bertukar pesan pagi tadi, dan sampai sekarang belum berkomunikasi lagi. Arkana merasa cemas dengan keadaan Safira yang dia pikir sendirian di rumah."Hujannya dari tadi gak berhenti-berhenti." Beberapa hari Arkana sering menghabiskan waktu bersama dengan sang calon istri. Arkana senang karen
Di suatu pagi yang sangat cerah karena semalaman hujan tak berhenti mengguyur kota Jakarta. Di kamar tidur itu terlihat berantakan. Aroma percintaan masih tercium di seluruh penjuru ruangan. Bahkan, masih ada beberapa potong pakaian tergeletak asal di lantai. Sementara di atas ranjang, kedua manusia tanpa sehelai benang pun masih nampak terlelap dalam selembar selimut warna putih. Sang perempuan tidur di samping sang lelaki yang tidur tengkurap dengan posisi kepala miring.Safira mulai menggeliat lantas membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Dia bangkit sambil memegangi selimut yang menutupi tubuh polosnya. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang lalu menoleh ke samping pada sosok pria yang semalam mengajaknya berpetualang. Safira mendesah berat, meraup wajah dan menyugar rambutnya ke belakang. Senyum miris terulas di bibirnya. Dia bergumam, "Hubungan macam apa ini? Di satu sisi aku milik Arkana, tetapi di sisi lain aku tidur satu ranjang dengan adiknya. Oh, ya ampun, Safira ...."
"Sepuluh panggilan tak terjawab? Dari Mas Arkana?" Safira bergumam dengan mata melebar saat membaca notifikasi di ponsel yang semalaman tak dia jamah. "Gimana ini? Mas Arkana pasti khawatir banget sama aku ..." gerutunya sambil mengetuk-ngetuk kening dengan ponsel dan berjalan mondar-mandir. Niat berganti baju pun terlupakan. Harusnya Safira tidak boleh ceroboh seperti ini. Bagaimana jika Arkana memang betul-betul mencemaskannya? Semalam karena sibuk dengan urusan ranjang, dia sampai tak melirik ponsel sama sekali. Keasyikan bercinta malah membuat segalanya menjadi berantakan. ck! "Aku harus telepon Mas Arkana. Biar dia gak kepikiran terus," putus Safira setelah beberapa saat menenangkan pikiran dan menata perasaan yang tidak menentu. Ada banyak hal yang sedang menantinya di depan. Safira harus siap menanggung segala risiko karena telah mencoba bermain api di belakang Arkana. "Gak diangkat?" Kening Safira mengernyit lalu menggigiti kuku-kukunya sambil berjalan mondar-mandir. "Ayo,
Setelah memastikan mobil Kai menjauh dari pandangan, Safira lantas bergegas menuju ke rumahnya yang hanya membutuhkan dua menit untuk sampai ke sana. Akan tetapi, penampakan mobil yang dia hapal sekali membuat langkahnya berhenti dan sempat tertegun sejenak. "Mas Arkana?" gumam Safira. Perasaan yang pertama kali dia rasakan adalah takut. Ketakutan lebih mendominasi perempuan bercelena jeans panjang dan memakai Hoodie itu. "Tenang, Fir ... Tenang ...." Dia mengelus dada sambil menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Lekas-lekas Safira melanjutkan langkah menuju ke teras rumahnya, meski rasa nyeri di antara pangkal paha masih terasa. Semoga tidak ada yang memerhatikan cara berjalannya yang agak sedikit aneh, pikirnya.Sementara Arkana yang sedari tadi entah melamunkan apa, seketika mengalihkan pandangannya pada sosok perempuan yang semalaman membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Arkana bergegas berdiri, dan menghampiri Safira yang berjalan mendekat. "Fir." Lega rasanya melih
Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Kai menatap Safira dengan tatapan berkabut gairah, begitu juga perempuan yang masih duduk di meja kitchen island. Telapak tangan pria berjaket hitam itu perlahan menyusuri punggung Safira, merayap sampai ke tengkuk. Kai lantas menekan tengkuk Safira seraya memangkas jarak yang ada, hingga napas mereka saling menerpa permukaan kulit wajah lalu bibir keduanya pun sudah saling menempel. Bibir Kai lebih dulu terbuka, menelusupkan lidah ke dalam rongga mulut Safira yang masih malu-malu. "Buka bibir lu, Fir. Bales ciuman gue," bisik Kai sambil tak membiarkan sang calon kakak iparnya menghindar. Telapak tangan kanannya masih menekan tengkuk, sementara tangan kirinya sudah berada di atas hot pants yang dipakai Safira. Sekujur tubuh Safira pun mulai bereaksi, setelah telapak tangan Kai yang hangat mengelus kulit pahanya, dan bibir lelaki itu terus melumat bibir Safira tanpa jeda. Memagut hingga terdengar bunyi decapan yang menggema di seluruh
Kai keluar kamar setelah meyakinkan Safira jika semuanya akan baik-baik dan aman-aman saja. Padahal, di dalam hatinya, Kai ingin sekali mengatakan pada Arkana bahwa saat ini dia memiliki hubungan dengan calon istri kakak tirinya itu. Dan sangat ingin merebutnya. Kai ingin memiliki Safira seutuhnya. Kai juga ingin menikahi calon kakak iparnya itu. Namun, dia sendiri sudah terlanjur menyanggupi permintaan Safira sebelumnya. Kai juga tidak keberatan apabila harus menjadi yang kedua. Dia tidak mempermasalahkan hal tersebut—asalkan tetap bisa berada di sisi perempuan yang dia sayang. Kai akui, Safira telah mencuri separuh hatinya yang dia pikir tidak akan pernah mengenal cinta lagi. Yang tak dia habis pikir adalah 'kenapa dia harus kembali bersaing dengan Arkana?' ck!"Gue cuma punya ini." Kai meletakkan kaleng bir non alkohol ke hadapan Arkana yang duduk santai di sofa. Lantas, dia menyusul duduk dan membuka kaleng yang dipegangnya. Meneguknya sambil melirik Arkana yang juga melakukan h
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya