Rupanya, Kai bersungguh-sungguh tidur di dalam mobil yang masih terparkir di sebuah lahan kosong tidak jauh dari rumah Safira. Kecemasannya akan kondisi perempuan itu ternyata mulai berlebihan. Padahal, Safira juga sudah meminta Kai untuk pulang saja ke apartemen. Hingga pukul satu dini hari, Kai belum juga bisa memejamkan mata akibat pergerakkan yang tak sebebas saat tidur di kamarnya. Berkali-kali dia menggerutu saat kakinya yang panjang tidak bisa berselonjor dengan bebas di jok belakang. Punggungnya juga mulai terasa sakit akibat posisi yang tidak pas. "Ck! Susah banget, sih!" Pemuda bertato itu lantas terduduk dan membuang kasar napasnya. "Safira bisa tidur gak, ya?" Pikirannya lagi-lagi tertuju pada Safira. Karena tak mau menduga-duga, Kai berinisiatif mengirim pesan. Hampir sepuluh menit terlewat, belum juga ada balasan dari Safira. Padahal, pesannya sudah centang biru. "Kok, gak langsung dibales? Padahal udah dibaca." Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari langit, dan tak
Nyatanya, kesiapan yang diucapkan Safira beberapa saat yang lalu hanyalah sebuah bentuk dari keputusasaannya saja. Safira tak bisa merespon apa pun yang dilakukan Kai pada tubuhnya. Dia justru semakin ketakutan dan bergetar hebat. Maniknya terpejam sangat erat seraya mengepalkan telapak tangan sampai berkeringat.Kai menuruti kemauan Safira yang memintanya untuk membantu menghilangkan bayangan kejadian malam itu. Dengan sabar, dia melakukan apa yang biasa dilakukan terhadap perempuan yang ditidurinya. Mulai dari memberikan sentuhan-sentuhan lembut di setiap titik sensitif, serta kecupan-kecupan ringan di kening, pipi, ujung hidung, kedua kelopak mata dan yang terakhir bibir.Kai memperlakukan Safira seperti memperlakukan barang yang mudah pecah. Sangat hati-hati sebab tak ingin mengundang rasa takut bagi perempuan cantik itu. Namun, alih-alih merespon, Safira malah tak berhenti memejamkan mata dan menggigil ketakutan. Bulir-bulir keringat dingin yang bermunculan di sekitar kening dan
Safira mengira bila Arkana akan tiba di rumahnya saat langit sudah menggelap. Namun, tak diduga, lelaki yang usianya dua tahun di atasnya itu telah memberinya sebuah kejutan dengan tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya."Masuk, Mas." Safira membuka lebar-lebar pintu kayu bercat putih yang warnanya sudah memudar karena dimakan usia. Dia bergeser memberi celah supaya Arkana bisa masuk ke dalam. Senyum mengembang di bibir Arkana yang sedari tadi belum surut itu semakin lebar. "Makasih, Fir." Dia lantas masuk, dan mengulurkan tangan. "Buat kamu." Buket bunga dan paper bag, Arkana sodorkan ke Safira.Pandangan Safira turun pada apa yang disodorkan Arkana. "Apa itu, Mas?" tanyanya lantas menerima hadiah itu. "Bunga?" Pipi Safira tiba-tiba merona, karena buket mawar pemberian Arkana. "Cantik sekali, Mas." Hidungnya mengendus setiap aroma wangi yang menguar dari kelopak mawar itu."Cantik kayak orangnya." Tangan Arkana terulur mengusap pipi Safira sebentar, lalu masuk ke kantong celana wa
"Kira-kira Mas Arkana kenapa, ya? Kok, mendadak dia jadi tanya-tanya soal Kai?" Safira bermonolog seraya menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel sambil mencuci tangan. Setelah menjawab pertanyaan Arkana perihal Kai; apakah sering berkunjung ke rumahnya. Safira pamit ke toilet untuk mencuci tangan. Namun, alasan dibalik itu semua adalah—Safira hanya ingin menghindari Arkana yang bisa saja bertanya lebih jauh lagi. Itu sebabnya, Safira memilih pergi sementara waktu supaya Arkana tidak mencecarnya lagi. Safira mengeringkan tangannya dengan tisu toilet sambil bergumam, "Tapi, kira-kira Mas Arkana percaya gak, ya, sama jawabanku. Gimana kalo dia gak percaya?" Hatinya semakin tidak tenang saat mengingat jawaban yang dia berikan pada Arkana. Jawaban yang kurang lebih tidak sepenuhnya benar. Dan Safira terpaksa melakukan itu. Hal wajar sebenarnya, bila Arkana bertanya dan ingin tahu soal Kai yang diberinya amanah. Mungkin, Arkana hanya ingin memastikan; Apakah adiknya itu sungguh-
Awalnya, hari ini Kai berniat pergi bersama Anggun ke Hotel—tempat biasa mereka berbagi peluh. Namun, saat di jalan, dia justru tidak sengaja melihat mobil Arkana. Tanpa berpikir panjang, Kai memutuskan untuk mengikutinya sebab dia juga melihat keberadaan Safira di dalam mobil. Anggun sempat terheran-heran karena Kai malah mendadak merubah rencana mereka. Pemuda itu beralasan hendak menemui seseorang yang sangat penting di Restoran tersebut. Anggun pun percaya, dan tak banyak bertanya. Dia akan mengikuti ke mana pun Kai pergi asalkan tetap bersama pria itu.Kai mengikuti sampai ke Restoran, dan merasa sangat kesal sekali karena Arkana dan Safira malah menempati ruang VIP. Dia tak menyerah dan tetap memilih menunggu kesempatan. Di saat kesempatan datang, Kai tentu tak menyia-nyiakan. Saat tahu Safira hendak ke toilet, Kai pun nekad menyusulnya meski dia harus mempertaruhkan harga diri bila ada orang yang memergoki.Dan gilanya lagi. Kini, dia dan Safira terjebak dalam situasi yang tak
Di balik meja kerjanya, Arkana terlihat gelisah sebab Safira tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Hujan di luar sana juga semakin deras serta suara gemuruh petir yang tak berhenti di langit gelap itu hampir memekakkan telinga. Arkana menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Meletakkan benda pipih ke meja lalu mengendurkan lilitan dasi yang terasa mencekik."Safira kenapa gak ngangkat teleponku? Apa dia udah tidur?" Arkana mengusap wajah gusarnya, dan menatap ponselnya yang tak kunjung mendapat balasan pesan mau pun telepon balik dari Safira. Seakan seharian ini pikiran lelaki yang memakai kacamata itu terus saja tertuju pada sang calon istri. Terakhir kali dia dan Safira saling bertukar pesan pagi tadi, dan sampai sekarang belum berkomunikasi lagi. Arkana merasa cemas dengan keadaan Safira yang dia pikir sendirian di rumah."Hujannya dari tadi gak berhenti-berhenti." Beberapa hari Arkana sering menghabiskan waktu bersama dengan sang calon istri. Arkana senang karen
Di suatu pagi yang sangat cerah karena semalaman hujan tak berhenti mengguyur kota Jakarta. Di kamar tidur itu terlihat berantakan. Aroma percintaan masih tercium di seluruh penjuru ruangan. Bahkan, masih ada beberapa potong pakaian tergeletak asal di lantai. Sementara di atas ranjang, kedua manusia tanpa sehelai benang pun masih nampak terlelap dalam selembar selimut warna putih. Sang perempuan tidur di samping sang lelaki yang tidur tengkurap dengan posisi kepala miring.Safira mulai menggeliat lantas membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Dia bangkit sambil memegangi selimut yang menutupi tubuh polosnya. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang lalu menoleh ke samping pada sosok pria yang semalam mengajaknya berpetualang. Safira mendesah berat, meraup wajah dan menyugar rambutnya ke belakang. Senyum miris terulas di bibirnya. Dia bergumam, "Hubungan macam apa ini? Di satu sisi aku milik Arkana, tetapi di sisi lain aku tidur satu ranjang dengan adiknya. Oh, ya ampun, Safira ...."
"Sepuluh panggilan tak terjawab? Dari Mas Arkana?" Safira bergumam dengan mata melebar saat membaca notifikasi di ponsel yang semalaman tak dia jamah. "Gimana ini? Mas Arkana pasti khawatir banget sama aku ..." gerutunya sambil mengetuk-ngetuk kening dengan ponsel dan berjalan mondar-mandir. Niat berganti baju pun terlupakan. Harusnya Safira tidak boleh ceroboh seperti ini. Bagaimana jika Arkana memang betul-betul mencemaskannya? Semalam karena sibuk dengan urusan ranjang, dia sampai tak melirik ponsel sama sekali. Keasyikan bercinta malah membuat segalanya menjadi berantakan. ck! "Aku harus telepon Mas Arkana. Biar dia gak kepikiran terus," putus Safira setelah beberapa saat menenangkan pikiran dan menata perasaan yang tidak menentu. Ada banyak hal yang sedang menantinya di depan. Safira harus siap menanggung segala risiko karena telah mencoba bermain api di belakang Arkana. "Gak diangkat?" Kening Safira mengernyit lalu menggigiti kuku-kukunya sambil berjalan mondar-mandir. "Ayo,
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya