Kesepakatan malam itu rupanya sangat mempengaruhi konsentrasi Safira. Setiap harinya perempuan bermanik cokelat dan berkulit putih itu selalu dirundung gelisah dan cemas. Setiap detiknya, dia bahkan merasa tidak nyaman serta takut. Takut, apabila sewaktu-waktu ulahnya terendus oleh Arkana.Safira mungkin bisa bernapas untuk saat ini sebab calon adik iparnya yang brengsek dan licik sedang berada di luar kota hampir dua pekan ini. Sehingga kesepakatan yang telah dia sepakati dengan Kai belum terlaksana. Entah apa yang dikerjakan oleh Kai di luaran sana. Safira tak pernah ingin tahu apalagi ikut campur urusan pemuda itu. Hanya saja yang membuat Safira heran, kenapa Kai memiliki banyak uang. Padahal adik tiri Arkana itu tak pernah sudi memakai atau menggunakan fasilitas dari Barack—papinya. Bahkan, saham perusahaan yang menjadi bagiannya saja tak sedikit pun Kai ambil. Akan tetapi, ditilik dari gaya hidup seorang Arthur Barack Kai, putra kedua dari Barack tersebut sangatlah berkecukupan
Entah sudah ke berapa kalinya Safira menggerutu hari ini. Semenjak Kai menemuinya di Kafe, sampai detik ini di apartemen lelaki itu. Harusnya, dia kini sudah berada di Bar untuk bekerja. Namun, Kai melarangnya pergi dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal."Padahal dia lagi seneng-seneng sama cewek lain. Bisa-bisanya gak ngebolehin aku berangkat kerja. Ck! Apa, sih, maunya dia?" Mulut Safira mengerucut sambil berguling-guling di atas kasur—mencoba mengusir rasa bosan yang melanda. Sejak tiba, dia sama sekali tidak keluar kamar— dikarenakan malas jika harus menyaksikan kemesraan dua sejoli di ruang tamu. "Ngapain juga, Kai ngajak itu cewek! Seenggaknya dia bisa mikir kalo ada manusia di apartemennya ini." Safira bangkit dan duduk bersila sambil mengembuskan kasar napasnya. Meraup wajahnya berulang kali, lalu menyambar ponsel di atas nakas samping tempat tidur.Ternyata, ada banyak sekali pesan dari Lolita yang menanyakan perihal Safira yang tidak berangkat malam ini. Safira pu
Efek dari peringatan yang dilontarkan Kai sebelum pemuda itu masuk ke kamar, membuat Safira jadi tak bisa tidur semalaman. Perempuan cantik itu pastinya terus kepikiran dengan semua poin-poin yang dibuat Kai tanpa persetujuannya sama sekali. Dengan kata lain—'suka tidak suka, dan mau tidak mau', Safira harus menurut tanpa diperbolehkan protes mau pun bernegosiasi. Seperti pagi ini. Safira yang sudah terbiasa bangun pagi, sudah terlihat berkutat dengan seabrek pekerjaan. Dari mencuci baju bekas pakai Kai, membersihkan seluruh unit apartment serta memasak untuk sarapan. Dia harus menyelesaikan semua itu sebelum pukul delapan karena hari ini dia masih masuk shift pagi. "Bikinin nasi goreng aja, deh. Masih ada sisa nasi semalem." Lekas membuat bumbu untuk nasi goreng, dan menyiapkan berbagai macam pelengkapnya; bakso, sosis dan telur. Tak lupa sedikit sayuran instan Safira tambahkan sebagai serat. "Fir, bikinin gue kopi dong." Kai muncul ke dapur dengan malas serta wajah bangun tidur.
"Ini Villa siapa?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Safira, ketika dia baru turun dari mobil dan kakinya menginjak paving di sekitar halaman bangunan yang terbilang sangat mewah. Sepasang maniknya tak berhenti mengedar ke sekeliling yang nampak asri dan sejuk. "Punya si Eve." Kai menjawab setelah turun dari mobil dan menutup pintunya. Sejenak Safira tertegun mendengar nama Eve disebut. Dia menoleh dan bertanya, "Eve? Eve pa—" "Kai!" Perkataan Safira terpotong dengan kehadiran seorang perempuan cantik dan seksi yang menghampiri mereka. Eve muncul di sana, lalu tanpa malu langsung memeluk Kai dan mencium pipi lelakinya. Bola mata Safira sontak saja melebar dengan kemunculan Eve di sana. Pertanyaan yang belum sempat terlontar pun dia telan kembali. 'Ya ampun ... Kenapa, sih, tuh, orang gak punya malu banget! Gak liat apa, kalo ada manusia di sini! ck!' Tentu saja Safira menggerutu kesal di dalam hatinya—menyaksikan pemandangan yang tidak layak untuk dipertontonkan. Lebih baik dia
Duaaarrr!"Fira!" Suara petir yang terdengar menggelegar di langit sontak mengagetkan Kai yang tengah terlelap di tempat tidur. Lelaki yang masih dalam keadaan polos itu terduduk, dan masih mengumpulkan sisa-sisa kesadaran sambil meringis menahan denyutan di kepala yang terasa menusuk-nusuk. "Sial! Kepala gue sakit banget!" Kai menyugar rambutnya ke belakang dan menjambaknya. Memejamkan matanya erat-erat, seraya mendesah kesal. "Kai? Kenapa?" Eve yang tidur di samping Kai pun ikut terbangun. Perempuan itu mengapit selimut di antara ketiak untuk menutupi tubuhnya yang polos. Alih-alih menjawab, Kai hanya menghela napas panjang. Pemuda itu lantas bergegas beranjak dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Mengenakannya satu persatu sampai selesai, meski denyutan masih samar-samar terasa di kepala."Ini jam berapa, Eve?" Kai bertanya sebab melihat kondisi langit di luar sana yang sudah gelap serta tidak menemukan jam dinding di kamar itu. Di luar juga sedang
"Gue mesti nyari, tuh, bangsat, ke mana lagi, coba? Sialan, memang!" Umpatan itu terlontar dari mulut Kai yang merasa sangat kesal sebab tak kunjung menemukan keberadaan Juan di mana pun. Sudah hampir sepekan, tetapi orang-orang suruhannya tak ada yang bisa menemukan bajingan itu. Di ruang tamu, saat ini lelaki bertato itu sedang berbicara dengan Danis yang datang beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan, Danis berkunjung ke apartemen Kai. Setelah mendengar kabar yang cukup mengejutkan, Danis merasa ingin tahu bagaimana kondisi Safira yang katanya sangat terguncang setelah hampir diperkosa oleh Juan—temannya. Dan sekarang, Kai sedang memburu Juan untuk membuat perhitungan. Tetapi, tak semudah yang dibayangkan. Juan berhasil bersembunyi dari kejaran anak buah Kai. "Kemungkinan dia balik ke luar negeri, sih ...." Danis berasumsi demikian setelah beberapa saat berpikir dan menyesap kaleng bir. Menyilangkan kaki seraya menggaruk dagu. Kalau seperti itu, Kai tidak bisa berbuat ban
Kai tiba-tiba terbangun karena merasakan kram di tangan kanannya. Dia menoleh pelan lalu menarik kedua sudut bibir saat menatap seseorang yang tengah terlelap dengan damai di sampingnya. Kepala Safira bertumpu pada lengan lelaki itu. Perempuan yang semalam merengek padanya dan terus saja gelisah, kini sedang tidur sangat nyenyak sekali. Sampai-sampai Kai tidak tega untuk membangunkannya. 'Gara-gara gue, lu jadi kayak gini, Fir. Elu pasti takut banget malem itu. Emang anjing si Juan. Liat aja kalo anak buah gue berhasil nemuin lu. Bakal abis lu sama gue.' Batin Kai mengutuk kelakuan Juan terhadap Safira.Memandang Safira dalam keadaan damai seperti sekarang adalah hal yang sangat langka bagi Kai. Apalagi, bila diingat-ingat, selama beberapa bulan ini hubungannya dengan Safira hanya berlandaskan kesepakatan gila yang telah ditentukan olehnya. Tak pernah sama sekali Kai menduga akan berada di posisi seperti ini—Safira tidur di lengannya dan memeluknya erat. 'Mungkin emang gue yang udah
Seperti yang dikatakan Kai tempo hari—jika Safira tak perlu lagi berangkat kerja menjadi SPG. Kekhawatiran Kai yang berlebihan seperti itu justru menimbulkan banyak sekali pertanyaan di dalam benak Safira. Mengingat, jika selama kenal dengan pemuda yang memiliki tatto hampir di seluruh tubuhnya itu, Kai terkenal sebagai orang yang sangat menjengkelkan. Apalagi jika mengingat perangainya yang sangat licik. Safira tak sepenuhnya percaya. Namun, bila diperhatikan selama tiga hari ini, Kai memang banyak berubah. Dari caranya bicara sampai sikap sekaligus kelakuannya. Tak jarang, Kai tidak ragu membantu Safira membersihkan unit serta memasak. Contohnya seperti malam ini ketika Safira yang baru saja keluar kamar hendak menyiapkan makan malam. Keberadaan Kai di dapur, dengan memakai apron dan sudah berdiri di depan kompor, cukup mengejutkan Safira."Kai? Kamu kapan pulang?" tanya Safira, yang sudah berdiri di belakang Kai, dan menatap heran. Safira melangkah mendekati Kai lalu meneliti pen