Rookie membiarkan Lucy masuk sendirian ke dalam ruangan pemeriksaan. Tidak bisa berbuat banyak, karena itu adalah perintah wanita itu yang memintanya untuk menunggu diluar alih-alih ikut masuk ke dalam. Meski Rookie seorang bajingan tetapi dia cukup tahu diri untuk tidak banyak berlagak, atau paling tidak dia bisa sedikit menyesuaikan diri terhadap kondisi yang terjadi diantara mereka bertiga. Alasannya karena Wahyu adalah pria baik yang berhak atas Lucy-nya sebab lelaki itu adalah suami sang wanita yang dia cinta. Kalau saja diantara mereka tidak ada ikatan itu, sudah barang tentu Rookie tidak akan mau peduli dan tetap akan merangsek masuk seperti pria brengsek yang tidak tahu norma. Dalam kasusnya, Rookie jelas tidak punya hak untuk melarang Lucy bertemu dengan pria itu. Ya, karena dia sendirilah pihak ketiga dihubungan mereka berdua.Kalau dipikir lagi dengan logikanya yang tajam untuk hal-hal bisnis, sebenarnya mudah pula bagi Rookie untuk memakaikan dalam situasi ini. Kalau diing
Setelah agak lama Lucy keluar dari ruangan dokter. Raut muka wanita itu tidak terlihat bagus, dia terlihat sangat lelah dan hal itu jelas memunculkan sebuah tanda tanya besar bagi Rookie. Sepertinya Wahyu sudah memberikan sebuah vonis tertentu dan diam-diam Rookie sedikit penasaran dengan apa yang lelaki itu katakan. Entah murni soal pemeriksaan atau ada obrolan secara pribadi, yang jelas Rookie ingin tahu segalanya.“Bagaimana?”“Dikatakan buruk tidak begitu buruk, tetapi dikatakan bagus juga tidak bagus,” sahut Lucy yang membuat Rookie menaikan sebelah alisnya.“Boleh aku bertanya pada Wahyu soal hasil pemeriksaannya?” tanya Rookie lagi dengan cara yang sehalus mungkin. Wanita itu tidak menjawab tidak pula menggeleng untuk memberikan penolakan secara pasti. Gerak-gerik Lucy yang hanya diam setelah keluar dari ruangan membuat Rookie mengambil keputusan secara sepihak. Tanpa aba-aba, Rookie masuk ke dalam ruangan Wahyu dan mendapati lelaki itu juga sama termenungnya.Kehadiran Rookie
Lucy pikir dia mengenal Wahyu lebih dari siapa pun. Mengingat dua tahun terakhir ini dia habiskan bersama pria itu sebagai istrinya. Tetapi malam ini …“Kita akhiri saja.” Nyatanya, Lucy nyaris tidak bisa percaya begitu lelaki yang tenang itu menyuarakan sebuah ungkapan yang sejatinya telah susah payah Lucy coba untuk rangkai sedemikian rupa agar terdengar lebih baik. Memang sangat egois mengingat dirinya sudah berselingkuh dari pria itu dengan tidur bersama orang yang dia cinta tapi masih pula berpikir untuk terlihat menjadi orang baik dengan perpisahan secara baik-baik. Tetapi perpisahan mana yang bisa dikatakan baik-baik?“Apa yang—”“Pernikahan kita, mari kita selesaikan disini.” Bahkan untuk sekadar bertanya saja, Wahyu tidak memberinya kesempatan. Ya, wajar saja dia demikian. Lelaki mana pun di dunia ini tidak mungkin mau menerima istrinya yang sudah pernah tidur dengan lelaki lain. Memang apa lagi yang Lucy pikirkan? Mau bagaimana pun ini adalah sesuatu yang tidak akan terhin
Ketika sendirian begini, tiba-tiba saja ingatan masa lampau muncul. Tentang Lucy yang pernah bilang kalau Wahyu itu enigma. Wahyu sendiri menanggapinya dengan senyuman kecil dan berkata bahwa dia adalah sebaliknya. Tetapi wanita itu bilang kalau Wahyu itu seperti hantu pengelana yang kesepian yang memicu tawa kecil sebelum wanita itu menarik perkataannya sendiri dengan berkata bahwa Wahyu itu lebih seperti malaikat yang tengah turun ke bumi untuknya.“Kenapa bisa kau bilang begitu?”“Bukankah dari perlakuanmu padaku sudah jelas?” Lucy tengah berbaring dengan kepala yang bersandar pada kedua paha sang pria. Wajahnya dia tatap sedemikian intens, lalu bibirnya langsung menciptakan kurva. “Kau itu orang baik tapi misterius, aku tidak pernah mendengar apa-apa soal hidupmu atau hal-hal yang sifatnya pribadi padahal kita sudah serumah dan sudah jadi suami istri. Aku tidak pernah lihat saat kau tidur karena kita tidur terpisah. Kadang kau pergi saat aku masih tertidur dan pulang saat aku suda
“Lucy.”Suara Yuichi menyadarkan Lucy. “A—apa?”“Ponselmu bunyi,” tunjuk wanita itu kepada ponsel Lucy yang mengeluarkan suara sekaligus berkedap-kedip tanda ada panggilan masuk. Lucy meraih ponselnya, keningnya berkerut saat mendapati nomor yang tertera di layar ponsel miliknya itu bukanlah nomor yang dia kenali. Jantung Lucy seketika memacu, diliriknya sang bibi yang memandanginya penuh dengan ingin tahu.“Siapa?” akhirnya kata itu keluar dari mulut si wanita. Lucy menggelengkan kepala pertanda bahwa dia sendiri tidak punya petunjuk siapa orang yang menghubungi dirinya. Yuichi pada akhirnya memberi isyarat kepada Lucy yang telah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu untuk mengangkat telepon tersebut. Meski sedikit ragu akhirnya Lucy menekan tombol hijau.Saat ini dia baru saja keluar dari kantor pengadilan. Perceraian di percepat, dan Lucy rasa Wahyu mengatur segalanya agar tidak ada hal yang perlu disia-siakan. Lucy mengenal Wahyu sebagai orang yang efisien dan tepat. Karenanya ti
Sebuah suara membuyarkan lamunan Rookie. Dia agak terkesiap tetapi segera kembali mengatur ekspresi mukanya sendiri.“Eh, kau sudah datang rupanya.”“Siapa yang tidak senang?” ulang Lucy lagi seolah dia tidak menerima alasan apapun dengan merepetisi pertanyaanya.“Bukan siapa-siapa, tadi aku hanya sedang tidak fokus jadi tanpa sadar aku bicara sendiri,” elak Rookie.“Kau melamun?”“Tidak,” bantah Rookie lagi.“Tidak?” Lucy menaikan sebelah alisnya. Semakin ditanya semakin pria itu berusaha menyembunyikan segalanya.“Oh baiklah, iya memang aku tadi sempat melamun,” aku Rookie karena dia merasa bahwa kini sudah betulan di pojokan.“Memangnya apa yang kau lamunkan?”“Kamu.”Jawaban Rookie membuat Lucy terkejut sampai tanpa sadar kedua matanya melebar menatap Rookie. Kedua mulutnya terbuka, tampak sedikit gelagapan untuk memberikan jawaban yang paling tepat dalam situasi ini.“Kena kau,” kata Rookie yang seketika langsung membuat Lucy memasang wajah cemberut. Lucy berbalik dan melangkah c
“Apa kau punya masalah dengannya tanpa aku ketahui?” Rookie membuka percakapan setelah mereka mulai melakukan perjalanan dengan mobil di tengah jalanan yang sedikit lebih padat.“Kurasa memang ada beberapa,” jawab Lucy seadanya.Rookie menaikan sebelah alisnya. “Aku tidak ingat apa aku pernah melakukan kesalahan padanya. Terakhir kali saat kami bertemu dia masih sedikit ramah padaku. Ya, tapi kurasa karena saat itu dia masih jadi pemilik bar, sih.”“Sudahlah, ini akan jadi peringatan untukku untuk tidak mempertemukan kalian secara tidak sengaja lagi seperti tadi,” sahut Lucy.“Oh ya? Tapi sepertinya itu akan sulit,” timpal Rookie lagi.“Kenapa?”Rookie menghentikan laju kendaraannya karena kebetulan saat itu mereka berada di persimpangan lampu merah. Dia memutar kepalanya sedikit agar bisa melihat Lucy secara leluasa, bukan hanya sekadar dari sudut mata. “Karena aku punya niat untuk lebih sering menemuimu,” jawab lelaki itu dengan lugas.Kedua mata Lucy melebar. “Maksudmu kita—”“Aku
“Ice cream,” Lucy menunjuk penjual ice cream tidak jauh dari restoran tempat mereka makan beberapa saat lalu.“Lagi? kau masih belum kenyang memangnya?” tanya Rookie tidak percaya. Dia tidak tahu kalau sebenarnya perempuan yang disebelahnya ini punya nafsu makan yang lumayan tinggi. Pasalnya setelah menghabiskan semua pesanan dan dalam kategori yang cukup banyak, dia masih bisa menunjuk pada penjual ice cream seperti ini.Lucy menggeleng, “Aku mau ice cream,” pintanya dengan cara manja.“Iya, iya. Aku belikan.”Lucy tersenyum senang. “Terima kasih, Rookie.”Rookie hanya bisa menggelengkan kepala lalu beranjak dari sisi perempuan itu menghampiri penjual ice cream untuk Lucy. Buat Rookie, Lucy itu terbilang seorang perempuan yang unik. Dia jadi yakin bahwa kepribadiannya sebelum ini memang hanyalah buatan perempuan itu saja untuk menjauhkan diri dari Rookie. Bukan semata-mata sikapnya yang asli.Meski mereka sudah bersama sejak dulu, tetapi dalam jangka waktu yang terbilang singkat ini
Saat itulah pintu kamar Lucy terbuka, menampakan sosok mungil yang dibalut oleh kaos oversize dan celana panjang training. “Kalau kalian ingin berkelahi di rumahku, aku tidak akan membiarkan kalian masuk rumahku lagi.”“Kau seharusnya tetap berada di dalam, Lucy.”“Tapi semakin aku menahan diriku, semakin aku mendengar Bibi memancing keributan. Aku tahu betul bagaimana Bibi kalau sedang marah.”“Tidak akan ada yang terjadi, selama dia mengangkat jarinya padaku. Kalau dia berani memukulku aku akan pastikan dia tidak bisa berjalan lagi dengan kedua kakinya seumur hidup.”“Justru itu, Bibi orang yang mudah terpancing emosi.”Percakapan diantara kedua orang itu membuat Rookie diam saja. Dia menyadari seberapa dekat hubungan keduanya, dan itu menyadarkan Rookie bahwa ada dinding tidak kasat mata yang tidak bisa dia pisahkan dari kedua orang ini. Bagaimana pun juga, Yuichi pastinya sudah Lucy anggap sebagai pengganti orangtuanya. Mengingat masa lalunya yang cukup buruk dan hanya orang itu s
Sepeninggal Rookie, Lucy tercenung di tempat duduknya. Kedua matanya menatap tanpa minat pada seluruh makanan yang tersaji di atas meja. Saat dia memutuskan untuk menganggap semua itu bukanlah apa-apa dan waktunya bagi dia untuk menahan diri dan tahu diri saat itulah dia mendengar seseorang mengetuk pintu dan menekan bel di luar.Lucy sempat berpikir bahwa barangkali itu adalah Rookie, hanya saja begitu dia membuka pintu Lucy malah tercengang.“Bibi Yuichi?!”“Lama tidak bertemu, Lucy.” Wanita itu tersenyum padanya dengan ramah.Lucy segera menghapus semua ekspresi yang sempat mengganggunya. Kemudian memberi bibinya senyuman yang sama sebagai balasan.“Masuklah. Aku tidak tahu kalau Bibi akan datang.”“Cukup sulit menghubungimu sejak kau meninggalkan aku di kantor pengadilan waktu itu. Jadi, bagaimana sekarang? kau masih berhubungan dengan orang itu?” cerocos Bibi Yuichi sambil meletakan beberapa paper bag di konter dapur. Sesaat dia melihat makanan yang tersaji di meja makan. Masih h
Rookie melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Beberapa kali atas ulahnya dia mendapatkan hadiah berupa umpatan dan juga bunyi klakson dari pengguna jalan lain gara-gara dia mencoba terus menyalip mereka dengan cara serampangan, tetapi lelaki itu tidak peduli. Semua itu demi upayanya memperpendek jarak tempuh menuju tujuannya sekarang. Rumah sakit.Semua itu karena sebuah kalimat yang terlontar dari mulut Bima. Sebenarnya hanya beberapa kata saja, tetapi hal tersebut cukup membuat jantung lelaki itu berdebar kencang dan hatinya di penuhi dengan kecemasan. Kekhawatiran yang memicu dirinya bertindak gegabah dan nekad. Tentu saja. Mengemudi secara ugal-ugalan di jalan raya bukan tindakan terpuji dan sejujurnya dia pun saat ini sedang menantang maut pula.“Senna mencoba bunuh diri, Rookie. Aku menemukan dia ada di kamar mandi hotel …”Rookie menginjak pedal gasnya lagi, memutar setir ke kiri dan merebut jalan sebuah truk pengantar barang yang membuatnya sekali lagi mendapatkan klakson
Bunyi bel dari pintu kamar hotel yang dia sewa membuat Senna segera bangun dari sofa dan melangkah menuju pintu masuk dengan sumringah. Sebelumnya dia menyempatkan waktu untuk mematut di depan cermin seukuran setengah badan yang terpasang di dekat pintu hanya untuk sekadar mengecek penampilannya sendiri. Senna tentu saja ingin berpenampilan terbaik di hadapan Rookie. Tanpa merasa perlu mengintip dari lubang pintu Senna segera membuka lebar-lebar pintu kayu tersebut dengan senyum termanis yang bisa dia buat. Namun dengan segera harapan yang terpupuk di dalam dirinya harus pupus seketika tatkala melihat siapa orang yang sekarang berdiri dihadapannya. Dia seorang pria tetapi bukan Rookie. Ya, bukan Rookie melainkan kakaknya sendiri, Bima.“Kenapa kakak ada disini?” tanya Senna dengan marah.“Dia tidak akan datang,” kata Bima seraya menerobos masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. “Setelah kau menelepon dia, Rookie menghubungiku karena itulah kesepakatan kami. Dia juga berpesan padaku un
Lagi-lagi telepon berdering, ini sudah kesekian kalinya sejak Rookie angkat kaki dari restoran tempat dia berbincang bersama sang Ibu. Begitu mengetahui siapa yang ibunya libatkan dalam pertemuan mereka, Rookie langsung naik pitam. Tanpa perlu basa-basi lelaki itu langsung meninggalkan mereka. Dan sekarang ponselnya jadi dua kali lipat lebih berisik. Sampai titik dimana akhirnya Rookie menyerah dan mengangkat panggilan telepon yang berasal dari nomor ponsel ibunya.“Ya, Bu?”“Ini aku,” sahut seseorang dari balik panggilan. Kernyitan di dahi Rookie menguat. Saat ini Rookie sangat emosi, tetapi perempuan ini justru menyiram minyak ke dalam kobaran api. Dia jelas tahu bahwa menghubunginya sekarang sudah merupakan sebuah kesalahan besar.“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu. Kau tahu kalau kita sudah berakhir kan? kenapa kau melibatkan ibuku?”“Kenapa kau berubah, Rookie? Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?” tanya perempuan itu lagi yang membuat Rookie semakin muak.“Kau berharap a
Rookie melangkah cepat memasuki sebuah restoran keluarga yang letaknya tidak jauh dari gedung perkantoran tempat dimana dia bekerja. Langkahnya terburu karena tidak ingin membuat orang tuanya menunggu. Terlebih adalah hal yang aneh mendapati kabar dari sang ibu setelah konflik yang terjadi dan wanita itu tiba-tiba saja memintanya bertemu. Ya, beberapa saat yang lalu setelah obrolan kecilnya bersama Bima. Ibunya menelepon dan mengatakan bahwa dia telah berada di Jakarta dan meminta untuk bertemu.Restoran tempat janji temu tampak mulai ramai saat Rookie melangkah memasukinya. Restoran tersebut menyediakan makanan hasil laut dan selalu penuh apalagi setiap weekend. Seorang pramusaji dengan seragam sailor mengantarkan Rookie ketika dia berkata punya janji temu.“Maaf membuat ibu menunggu lama,” ujar Rookie kepada ibunya yang sudah terlebih dahulu datang.“Duduklah, kita makan dulu sebelum bicara,” kata ibunya. “Ibu sudah pesankan udang saus inggris untukmu. Kau masih suka itu kan?”Rooki
Hari-hari berikutnya berlalu dengan begitu cepat dan baik. Hubungan Lucy dan Rookie semakin erat dan hangat. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama. Beberapa kali Rookie bahkan selalu mengajaknya sarapan sebelum dia berangkat kerja, juga mengantar Lucy untuk pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa keperluan sehari-hari yang wanita itu butuhkan. Sungguh, situasi ini seperti mereka sudah melangkah jauh. Bisa dikatakan seperti mereka telah terhubung sebagai sepasang pengantin baru. Validasinya dari beberapa penjaga toko paruh baya yang mendoakan mereka, tentu saja. Dan hal itu membuat Rookie bahagia bukan kepalang mendengarnya.Tidak hanya sampai disana, bahkan dibeberapa kesempatan Rookie juga selalu mampir setelah pulang kerja ke kediaman Lucy untuk makan malam bersama. Bahkan sampai titik dimana dia menginap juga. Rookie benar-benar merasa nyaman dengan dinamika yang terjadi diantara mereka berdua. Karena Lucy sekarang sudah mulai mengisi kehidupan sehari-harinya dan
Bima mengulurkan tangan, menggenggam erat pergelangan tangan adiknya. Memberikan isyarat agar dia tidak pergi kemana pun atau melakukan sesuatu yang mungkin akan mengakibatkan keributan yang tidak diperlukan. Sejujurnya dia cukup terkejut atas situasi barusan. Niatan yang Bima lakukan dengan membawa adik bungsunya keluar untuk pertama kalinya ini adalah karena dia punya rencana untuk mengubah suasana hati Senna. Tetapi belum usai pula harapannya mencapai titik sukses, Bima malah harus menelan pil pahit bahwa upayanya tidak sepenuhnya berhasil. Semuanya serasa kembali ke titik nol hanya karena kemunculan Rookie dan Lucy.Bima tentu tidak akan menjudge adiknya atas aksi yang gadis itu buat dengan segera keluar mengikuti mereka tanpa pikir panjang saat mendengar suaranya. Dia juga bisa memahami kalau Senna sudah pasti sangat terpukul dengan kenyataan yang ada di depan matanya. Dia paham akan hal itu sebab dirinya pun merasakan hal yang serupa.“Lepaskan aku, Kak,” kata Senna dengan suara
Senna tercenung begitu dirinya dihadapkan pada sebuah kedai yang ditunjukan oleh sang kakak. Bagian dindingnya di tempeli banner yang berisi menu yang kedai tersebut jual. Ada pula spanduk yang berisi informasi nama kedai tersebut bersamaan dengan nomor telepon bagi yang punya keinginan untuk pesan antar. Sebuah tempat yang termalpau sederhana untuk Senna yang tidak pernah makan di tempat yang telah dia cap sebagai tempat makan orang dengan kasta rendah.“Kenapa kita disini?” tanyanya kepada Bima yang terlihat sama sekali tidak terganggu dengan pemandangan yang ada didepan mereka. Fakta bahwa pria ini pula yang mengajaknya kemari pun sudah bisa dimasukan ke dalam salah satu keajaiban dunia.“Aku sudah bosan sarapan hanya dengan sereal dan kopi atau makanan yang dimasak koki di rumah kita. Apa salahnya bila kita sedikit berganti suasana?” jawab Bima dengan tenang dan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Otot wajah Senna sedikit berkerut mendengar pernyataan sang kakak. “Dari semua tempat y