Setelah agak lama Lucy keluar dari ruangan dokter. Raut muka wanita itu tidak terlihat bagus, dia terlihat sangat lelah dan hal itu jelas memunculkan sebuah tanda tanya besar bagi Rookie. Sepertinya Wahyu sudah memberikan sebuah vonis tertentu dan diam-diam Rookie sedikit penasaran dengan apa yang lelaki itu katakan. Entah murni soal pemeriksaan atau ada obrolan secara pribadi, yang jelas Rookie ingin tahu segalanya.“Bagaimana?”“Dikatakan buruk tidak begitu buruk, tetapi dikatakan bagus juga tidak bagus,” sahut Lucy yang membuat Rookie menaikan sebelah alisnya.“Boleh aku bertanya pada Wahyu soal hasil pemeriksaannya?” tanya Rookie lagi dengan cara yang sehalus mungkin. Wanita itu tidak menjawab tidak pula menggeleng untuk memberikan penolakan secara pasti. Gerak-gerik Lucy yang hanya diam setelah keluar dari ruangan membuat Rookie mengambil keputusan secara sepihak. Tanpa aba-aba, Rookie masuk ke dalam ruangan Wahyu dan mendapati lelaki itu juga sama termenungnya.Kehadiran Rookie
Lucy pikir dia mengenal Wahyu lebih dari siapa pun. Mengingat dua tahun terakhir ini dia habiskan bersama pria itu sebagai istrinya. Tetapi malam ini …“Kita akhiri saja.” Nyatanya, Lucy nyaris tidak bisa percaya begitu lelaki yang tenang itu menyuarakan sebuah ungkapan yang sejatinya telah susah payah Lucy coba untuk rangkai sedemikian rupa agar terdengar lebih baik. Memang sangat egois mengingat dirinya sudah berselingkuh dari pria itu dengan tidur bersama orang yang dia cinta tapi masih pula berpikir untuk terlihat menjadi orang baik dengan perpisahan secara baik-baik. Tetapi perpisahan mana yang bisa dikatakan baik-baik?“Apa yang—”“Pernikahan kita, mari kita selesaikan disini.” Bahkan untuk sekadar bertanya saja, Wahyu tidak memberinya kesempatan. Ya, wajar saja dia demikian. Lelaki mana pun di dunia ini tidak mungkin mau menerima istrinya yang sudah pernah tidur dengan lelaki lain. Memang apa lagi yang Lucy pikirkan? Mau bagaimana pun ini adalah sesuatu yang tidak akan terhin
Ketika sendirian begini, tiba-tiba saja ingatan masa lampau muncul. Tentang Lucy yang pernah bilang kalau Wahyu itu enigma. Wahyu sendiri menanggapinya dengan senyuman kecil dan berkata bahwa dia adalah sebaliknya. Tetapi wanita itu bilang kalau Wahyu itu seperti hantu pengelana yang kesepian yang memicu tawa kecil sebelum wanita itu menarik perkataannya sendiri dengan berkata bahwa Wahyu itu lebih seperti malaikat yang tengah turun ke bumi untuknya.“Kenapa bisa kau bilang begitu?”“Bukankah dari perlakuanmu padaku sudah jelas?” Lucy tengah berbaring dengan kepala yang bersandar pada kedua paha sang pria. Wajahnya dia tatap sedemikian intens, lalu bibirnya langsung menciptakan kurva. “Kau itu orang baik tapi misterius, aku tidak pernah mendengar apa-apa soal hidupmu atau hal-hal yang sifatnya pribadi padahal kita sudah serumah dan sudah jadi suami istri. Aku tidak pernah lihat saat kau tidur karena kita tidur terpisah. Kadang kau pergi saat aku masih tertidur dan pulang saat aku suda
“Lucy.”Suara Yuichi menyadarkan Lucy. “A—apa?”“Ponselmu bunyi,” tunjuk wanita itu kepada ponsel Lucy yang mengeluarkan suara sekaligus berkedap-kedip tanda ada panggilan masuk. Lucy meraih ponselnya, keningnya berkerut saat mendapati nomor yang tertera di layar ponsel miliknya itu bukanlah nomor yang dia kenali. Jantung Lucy seketika memacu, diliriknya sang bibi yang memandanginya penuh dengan ingin tahu.“Siapa?” akhirnya kata itu keluar dari mulut si wanita. Lucy menggelengkan kepala pertanda bahwa dia sendiri tidak punya petunjuk siapa orang yang menghubungi dirinya. Yuichi pada akhirnya memberi isyarat kepada Lucy yang telah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu untuk mengangkat telepon tersebut. Meski sedikit ragu akhirnya Lucy menekan tombol hijau.Saat ini dia baru saja keluar dari kantor pengadilan. Perceraian di percepat, dan Lucy rasa Wahyu mengatur segalanya agar tidak ada hal yang perlu disia-siakan. Lucy mengenal Wahyu sebagai orang yang efisien dan tepat. Karenanya ti
Sebuah suara membuyarkan lamunan Rookie. Dia agak terkesiap tetapi segera kembali mengatur ekspresi mukanya sendiri.“Eh, kau sudah datang rupanya.”“Siapa yang tidak senang?” ulang Lucy lagi seolah dia tidak menerima alasan apapun dengan merepetisi pertanyaanya.“Bukan siapa-siapa, tadi aku hanya sedang tidak fokus jadi tanpa sadar aku bicara sendiri,” elak Rookie.“Kau melamun?”“Tidak,” bantah Rookie lagi.“Tidak?” Lucy menaikan sebelah alisnya. Semakin ditanya semakin pria itu berusaha menyembunyikan segalanya.“Oh baiklah, iya memang aku tadi sempat melamun,” aku Rookie karena dia merasa bahwa kini sudah betulan di pojokan.“Memangnya apa yang kau lamunkan?”“Kamu.”Jawaban Rookie membuat Lucy terkejut sampai tanpa sadar kedua matanya melebar menatap Rookie. Kedua mulutnya terbuka, tampak sedikit gelagapan untuk memberikan jawaban yang paling tepat dalam situasi ini.“Kena kau,” kata Rookie yang seketika langsung membuat Lucy memasang wajah cemberut. Lucy berbalik dan melangkah c
“Apa kau punya masalah dengannya tanpa aku ketahui?” Rookie membuka percakapan setelah mereka mulai melakukan perjalanan dengan mobil di tengah jalanan yang sedikit lebih padat.“Kurasa memang ada beberapa,” jawab Lucy seadanya.Rookie menaikan sebelah alisnya. “Aku tidak ingat apa aku pernah melakukan kesalahan padanya. Terakhir kali saat kami bertemu dia masih sedikit ramah padaku. Ya, tapi kurasa karena saat itu dia masih jadi pemilik bar, sih.”“Sudahlah, ini akan jadi peringatan untukku untuk tidak mempertemukan kalian secara tidak sengaja lagi seperti tadi,” sahut Lucy.“Oh ya? Tapi sepertinya itu akan sulit,” timpal Rookie lagi.“Kenapa?”Rookie menghentikan laju kendaraannya karena kebetulan saat itu mereka berada di persimpangan lampu merah. Dia memutar kepalanya sedikit agar bisa melihat Lucy secara leluasa, bukan hanya sekadar dari sudut mata. “Karena aku punya niat untuk lebih sering menemuimu,” jawab lelaki itu dengan lugas.Kedua mata Lucy melebar. “Maksudmu kita—”“Aku
“Ice cream,” Lucy menunjuk penjual ice cream tidak jauh dari restoran tempat mereka makan beberapa saat lalu.“Lagi? kau masih belum kenyang memangnya?” tanya Rookie tidak percaya. Dia tidak tahu kalau sebenarnya perempuan yang disebelahnya ini punya nafsu makan yang lumayan tinggi. Pasalnya setelah menghabiskan semua pesanan dan dalam kategori yang cukup banyak, dia masih bisa menunjuk pada penjual ice cream seperti ini.Lucy menggeleng, “Aku mau ice cream,” pintanya dengan cara manja.“Iya, iya. Aku belikan.”Lucy tersenyum senang. “Terima kasih, Rookie.”Rookie hanya bisa menggelengkan kepala lalu beranjak dari sisi perempuan itu menghampiri penjual ice cream untuk Lucy. Buat Rookie, Lucy itu terbilang seorang perempuan yang unik. Dia jadi yakin bahwa kepribadiannya sebelum ini memang hanyalah buatan perempuan itu saja untuk menjauhkan diri dari Rookie. Bukan semata-mata sikapnya yang asli.Meski mereka sudah bersama sejak dulu, tetapi dalam jangka waktu yang terbilang singkat ini
Terdengar suara ketukan agak kasar dari luar pintu kamar yang tertutup rapat setelah sang empunya masuk ke dalam dengan raut muka penuh emosi. Tetapi sebanyak apapun pintu tersebut diketuk, tidak membuat orang yang berada di dalam bergeming. Malah dia lebih memilih memeluk lututnya seperti bola di bagian sudut ranjang.“Senna buka pintunya!”Kali ini ketukan tersebut diikuti oleh teriakan.Namun si empunya kamar tetap saja bergeming, enggan menjawab apalagi bergerak dari posisinya. Malah dia semakin erat memeluk lututnya sambil menyembunyikan wajah.“Apa lagi sekarang? sampai kapan kau akan bersikap begini?” kali ini si pengetuk alias kakaknya sendiri terdengar sudah sangat kelelahan dengan tingkah polah adiknya. Terakhir kali mereka sudah berselisih paham dan lelaki itu sudah tidak mau menambah masalah baru dengan perdebatan yang tidak perlu. Dia lelah karena selama ini nasehat dan perkataannya sebagai seorang kakak sama sekali tidak digubris. Senna betul-betul keras kepala dan sulit