Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi.
Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Romeo, pria itu sengaja mengatakannya lirih tepat di telinga Bianca. “Tidak ada satupun sudut rumah ini yang jauh dari jangkauanku,” lanjutnya, mengigit telinga Bianca, membuatnya meringis kesakitan. “Apa maksudmu mengatakan hal tidak berguna itu kepadaku, Tuan.” Bianca bertanya dengan nada malas. Sementara Romeo tersenyum miring, detik berikutnya ia melepaskan bathrobe yang membalut tubuhnya, lantas masuk ke dalam bathub yang sama. Bianca sedikit terkejut, saking terkejutnya tubuh yang bertabrakan dengan Romeo, dengan cepat Romeo mendekap tubuh Bianca di dalam air. “Luka Anda!” teriak Bianca. Romeo masih tertawa miring. “Oh... daripada kau yang mengkhawatirkanku, aku lebih khawatir jika istri manisku ini berbuat hal diluar batas,” ucap Romeo dengan tenang. “Apa maksud—” Sebelum bisa protes, Romeo berhasil membungkam mulut Bianca menggunakan bibirnya. Romeo melepaanya sejenak, lantas mengecup pucuk rambut Bianca yang setengah basah. “Jangan mencoba untuk mengkhianatiku, karena kau! Kau satu-satunya milikku!” kecam Romeo dengan suaranya yang menggelegar memenuhi langit-langit kamar mandi. Bianca hampir menangis mendengar teriakan Romeo, dengan suaranya yang bergetar... dia memohon satu hal. “Aku akan hidup untukmu, Tuanku. Tapi dengan satu hal. Biarkan aku bebas menemui orang-orang yang kusayangi,” ucap Bianca memohon, dirinya teramat kesepian dan merindukan keluarga serta teman-temannya. “Tidak, Sayang. Tidak kuizinkan kau menemui para pengkhianat.” Romeo kembali berbisik tepat di telinga Bianca yang mulai bergetar ketakutan. “Ka-kalau begitu...” Bianca menjeda ucapannya, air matanya tak tertahan lagi dan berhasil menetes. “Biarkan aku untuk berkunjung ke makam Ayah!” sekuat tenaga Bianca mengucapkannya dengan lantang. Detik itu juga Romeo keluar dari bathub, pria bertubuh jangkung itu kembali mengenakan bathrobenya yang sebelumnya tergeletak di lantai. “Pengkhianat tidak dikuburkan.” Mata Bianca terbelalak, amarahnya seakan kembali tersulut. “Kau kemanakan jasad Ayahku, dasar Monster Kejam!” umpat Bianca dengan keberanian yang entah datang dari mana. Rome menoleh dan menatap Bianca, tersenyum sinis. “Kulempar jasadnya ke tengah lapangan, kubiarkan para gagak kesayanganku menyantap jasad busuknya!” Suara Romeo kembali menggelegar diikuti tawa yang mengerikan. Detik berikutnya Bianca mengepalkan kedua tangannya, dia bersiap keluar dari bathub dan menyerang tubuh besar Romeo, namun belum sempat serangannya mengenai Romeo, dirinya malah ambruk tak sadarkan diri.*** “Orang bodoh mana yang menyerahkan jantung berharganya untuk wanita yang masih saja sekarat?” Setelah menyadari bahwa Bianca telah sadar, Romeo kembali membuka suara. Bianca terbaring di atas ranjang besar kamarnya. Sembari menatap langit-langit kamar, ia tersenyum tipis. “Dia bukan hanya wanita yang sekarat. Dia Ibuku yang berharga.” “Wanita lemah yang membuat anaknya sekarat juga?” tukas Romeo, pria itu duduk di sofa kamar Bianca. “Setidaknya aku berterimakasih karena dia sudah membawaku ke dunia ini.” Romeo tertawa mendengar ucapan Bianca. “Para pengkhianat itu pantas mati.” Bianca sontak bangun dari tempatnya berbaring, matanya terbuka lebar menatao Romeo dengan penuh kemarahan. “Monster kejam sepertimu yang tak memiliki hati tidak bisa merasakan apa yang kami rasakan!” “Mereka hanya seonggok sampah yang perlu di bersihkan. Atas kepentingan dan kebajagiaannya sendiri, bisa saja mereka menggeser orang terdekatnya untuk bisa bergerak sesuai keinginan mereka!” Bianca sudah naik pitam, ia sangat marah. Romeo beranjak dari tempat duduknya, tanpa melanjutkan basa-basi panjangnya lagi, ia keluar dari kamar Bianca. Beberapa saat setelah kepergian Romeo, Bianca yang mencoba untuk menenangkan dirinya turun dari ranjang, ia pergi ke arah mana saja untuk mencari seseorang, menanyakan suatu hal penting agar hatinya lega.*** “Kau Alex, kan?” tanya Bianca kepada salah seorang pria yang dia temui di Koridor. Pria yang beberapa saat lalu memperkenalkan dirinya sebagai Ajudan Romeo itu mengangguk, lantas segera melanjutkan langkah. Bianca tidak menyerah, ia berlari mengikuti Alex dan berhasil menghadangnya lagi. “Hei Ajudan, kau berani mengabaikanku?“ Alex memberhentikan langkah. Pria itu menundukkan badan memberi salam kepada Bianca. “Maaf, Nyonya. Ada keperluan apa Anda menemui saya.” “Aku perlu memastikan satu hal.” Bianca mulai berbicara serius sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau tahu lapangan mana yang Romeo gunakan untuk menghukum para pengkhianatnya?” Alex mengangguk. “Bagus, aku ingin mengunjunginya. Bisakah kau membantuku?” “Maaf tidak bisa, saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Romeo.” Bianca mengangguk samar. “Kau tahu bahwa Tuanmu itu tergila-gila kepadaku? Aku bisa menyuruhnya untuk membunuhmu kapan saja jika aku mau!” ancam Bianca. Alex menggeleng. “Saya akan meminta izin kepada Tuan Romeo terlebih dahulu.” Alex membungkukkan badannya lagi, memberi salam kepada Bianca sejenak dan kembali melanjutkan langkahnya. Sementara itu Bianca hanya melihatnya dari belakang dengan raut wajah kecewa. Pikirnya, mana mungkin Romeo mengizinkannya untuk melakukan ini. Padahal, ia hanya ingin mengucapkan salam perpisahan terakhir dan memberi bunga untuk mendiang Ayahnya, walau sudah sangat terlambat.*** “Ini Bunga Krisan putih, Nyonya.” Bianca mengangguk sembari melepas kacamata hitamnya. Angin sore hampir menerbangkan topi dan dressnya yang serba hitam. Setelah menerima bunga pemberian Alex, Bianca kembali masuk ke dalam mobil. Beberapa saat setelahnya mobil mewah yang mereka tumpangi mulai melaju. Perjalanan berlangsung beberapa menit hingga akhirnya mereka tiba di tanah lapang atas bukit. Angin di sana sangat sejuk, namun setelah Bianca memijak kaki di tanah lapang itu, mulai tercium aroma-aroma busuk. Mata Bianca tertuju ke arah lubang yang ada di bawah pohon rindang, dia segera berlari ke sana dan menutup mulut tidak percaya ketika menemukan bongkahan-bongkahan tulang yang sebagian telah remuk. “Ini… apakah manusia yang tega melakukan ini?” tanya Bianca, berteriak parau. Alex yang baru saja tiba menyusul hanya bisa menundukkan kepalanya di belakang Bianca. Detik berikutnya pria berkulit pucat itu melangkah sejajar dengan Bianca, lantas bersimpuh sembari menunduk menatap lubang tersebut. “Pengkhianat hannyalah sampah yang harus segera dibuang dan dihancurkan. Begitulah yang terucap dari mulut Tuan Romeo saat melempar jasad-jasad mereka ke tanah lapang ini.” Mendengar ucapan Alex—mata Bianca memerah, perlahan air matanya jatuh. Bersamaan dengan itu ia melempar bunga krisan putih ke lubang. Membiarkan segala rasa sesaknya ikut jatuh ke sana. Memejamkan matanya yang sembab sembari merapalkan doa untuk mendiang Ayahnya—Rodriguez. “Maaf karena sekarang seutuhnya aku milik orang kejam yang membunuh Ayah,” lirih Bianca. “Maaf…” lanjutnya lantas berbalik. “Kau membawanya?” tanya Bianca kepada Alex. Pria itu mengangguk sembari berdiri, lantas bergegas cepat ke arah mobil untuk mengambil sesuatu. “Terima kasih.” Bianca mengucapkannya dengan suara bergetar sembari menerima sekeranjang bunga mawar yang diberikan oleh Alex. Setelahnya ia mulai menaburkan mawar merah itu ke sepanjang tanah lapang. Sekejap saja aroma mawar mulai merubah angin sepoi-sepoi yang tadinya berbau busuk. “Aku tidak tahu seberapa besar kesalahan mereka hingga harus berakhir tragis di sini. Kuharap, kalian semua bisa tenang di atas sana.” Setelah selesai menabur bunga, Bianca menatap ke langit yang mulai mendung. Ia segera kembali ke mobil di temani oleh Alex dan supir pribadi mereka, segera meninggalkan tanah lapang itu, kembali menuruni bukit dan melewati hutan tanpa pemukiman. Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di padatnya lalu lintas kota. Saat mobil berhenti di lampu merah, perasaan cemas mulai menyergap Bianca. Ia menyandarkan kepalanya ke kaca mobil, otaknya berpikir keras dan ada sedikit rasa ketakutan dalam benaknya. Karena dia… telah melakukan sebuah kesalahan. “Emmm, Alex. Apakah kau tahu kapan Tuan Romeo pulang dari perjalanan bisnisnya?” “Ya, Nyonya. Waktu itu Tuan mengatakan bahwa perjalanannya kali ini mungkin memakan waktu lima hari. Hm bukankah terakhir kali Tuan Romeo berbicara dengan Anda?” Pertanyaan Alex membuat jantung Bianca seketika berdebar kencang. “Emmm, dia…” “Saya pikir memang perjalanannya sangat lama hingga mengizinkan Nyonya Bianca pergi ke tanah lapang itu dengan saya.” Alex yang duduk di kursi samping sopir mengatakannya sambil menatap wajah pucat Bianca lewat kaca dasboard. “I-iyaa!” Bianca menjawabnya dengan tergagap. Bersamaan dengan itu lampu lalu lintas berubah hijau, mobil yang mereka tumpangi kembali melaju melewati perempatan. “A-Alex… sebenarnya aku—” Bianca tak melanjutkan ucapannnya karena tiba-tiba dari arah samping—sebuah mobil sedan hitam melaju kencang dengan suara klakson yang berbunyi nyaring. Sebelum Bianca menoleh ke arah mobil tersebut berasal, sekejap saja mobil yang ia tumpangi terhantam cukup keras. Bianca menyadari bahwa mobil yang ia tumpangi berguling, membenturkan kepalanya cukup keras hingga menimbulkan perih yang menjalar ke tubuh. Ia menatap ke kursi sopir dan kursi Alex, keduanya telah tak sadarkan diri. Ketika mobil mereka yang berguling mulai mengeluarkan asap, Bianca mencoba untuk berteriak meminta tolong. Namun… bibirnya perih berdarah. Sekejap saja, dirinya mulai tak sadarkan diri.“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag