“Kau marah kepadaku?”
Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lemas. Alex menoleh walau bibirnya yang sobek masih tetap diam, lantas tersenyum tipis. “Astaga, apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku ini?” Bianca masih saja menyesal. Reaksi Alex tetap sama, bedanya kali ini ia sedikit menggelengkan kepalanya. Keadaannya benar-benar terlihat menyedihkan. Lebam di sekujur tubuh hingga bibirnya yang robek mungkin membuatnya cukup kesakitan untuk membuka mulut. “Oh ayolah, aku merasa sangat bersalah.” Kali ini Alex menggeleng cepat walau setelahnya ia meringis kesakitan karena lehernya yang mungkin terasa nyeri. Dengan susah payah ia juga mulai membuka suara, meyakinkan Nyonyanya bahwa semuanya baik-baik saja. “Ti-tidak, Nyonya.” Bianca merengut, bahkan matanya terlihat berkaca-kaca karena sangat iba dengan kondisi Alex. Karena itu, Alex turut tidak tega melihat nyonyanya itu mengasihaninya. Lantas tidak ada pilihan lain, Alex menyerahkan obat-obatannya kepada Bianca dengan perasaan yang gugup. “E-eee saya tidak bisa mengobati punggung saya yang terluka. Apakah Nyonya mau membantu? Emm itu pun kalau Nyonya tidak keberatan menyentuh kulit kotor saya.” Alex mengatakannya dengan suaranya yang bergemetar, bahkan kepalanya menunduk karena tidak berani menatap lama ke arah mata indah Bianca. “Itu saja? Tentu itu akan membuatku merasa sangat lega karena bisa membantu,” ucap Bianca, segera menerima obat-obatan itu dan mulai mengoleskannya ke punggung Alex. Dia ikut meringis mendengar rintihan kesakitan Alex, tak terbayang rasa perih yang dirasakan pria berkulit pucat itu karena harus merasakan kemalangan yang bertubi. Pertama, Bianca telah mengelabuinya dan menyeretnya ke dalam kebohongan besar. Kedua, mereka juga terlibat kecelakaan yang mungkin juga turut membuat tubuh Alex terluka dan nyeri di tulang-tulang persendiannya. Dan yang paling parahnya karena kebohongan itu, Alex dihukum habis-habisan oleh Romeo. “Jangan hiraukan rintihan saya ini, Nyonya. Kami para Ajudan memang dilatih untuk kuat menghadapi dunia perdagangan gelap ini.” Mendengar akan hal itu, Bianca seolah membeku untuk beberapa saat. Dia tersadar kalau dunia gelap yang terhubung oleh para Mafia memanglah menyeramkan. Mereka bisa saja membunuh atau pun dibunuh jika melakukan hal yang tidak diinginkan oleh penguasanya. Dadanya terasa sesak ketika mengingat bahwa hal menyeramkan seperti itu terjadi kepada Rodriguez—Ayahnya. Walau tidak tahu jelas apa masalahnya, seolah peristiwa mengerikan itu telah membawanya masuk ke dunia gelap ini. “Seperti sedang menggenggam bara api, ya?” lirih Bianca, kemudian ia mengoleskan obatnya lagi. Alex tersenyum teduh. “Mungkin saya telah salah karena tidak patuh dengan Tuan Romeo. Tapi tidak mengapa jika kesalahan saya bisa membantu Anda, Nyonya.” Bianca telah selesai mengobati luka yang ada di punggung Alex, dia berdiri di hadapan pria itu dan sedikit membungkukkan badannya. “Terima kasih, walau taruhannya Nyawa kau telah banyak membantuku, Ajudan!” Alex terkejut dengan sikap Bianca, ia reflek berdiri dan hampir saja ambruk jika Bianca tida degera menopang tubuhnya. “Hati-hati!” “Tidak Nyonya! Jangan membungkuk seperti itu. Saya hanya merasa kasihan kepada Anda!” racau Alex. Dia bahkan sampai berlutut di hadapan Bianca. Bianca mundur satu langkah sembari mengangkat kedua alisnya karena bingung. “Kasihan?” “Maaf jika saya lancang. Anda masih sangat muda dan mengingatkan saya dengan mendiang adik perempuan saya,” lirih Alex. Bianca tertegun. Mendadak resah yang ada dihatinya meredup dan terharu sekaligus mendapatkan simpati dari Alex. Dia hampir menangis, tangannya bergerak perlahan meraih ujung kepala Alex. Dia ingin mengusapnya lembut, dan mengatakan beberapa kalimat terima kasih karena telah peduli terhadap wanita yang benar-benar kehilangan semua pelukan dari orang-orang terdekatnya. Namun belum sampai ia berhasil melakukan itu, mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang kuat dan memekakkan telinga. Bahkan menyebabkan kediaman para pelayan yang bodyguard ini bergetar dan hampir runtuh. “Su-suara apa barusan?” tanya Bianca panik. Segera Alex berdiri dengan susah payah, keringat dingin mulai memenuhi dahi. “Berasal dari belakang kediaman ini. Mungkin, dari lapangan tembak yang biasa Tuan Romeo gunakan untuk meredam amarahnya,” terang Alex tak kalah panik. Setelah itu datang seorang pelayan wanita dengan wajah panik menghampiri Alex. Sebelum menyampaikan sesuatu, pelayan itu memberi hormat sejenak kepada Bianca dan menyampaikan maksud kedatangannya di tengah-tengah mereka. “Tu-Tuan Romeo memanggil Ajudan Alex untuk datang ke lapangan tembak.” Alex mengerutkan kening, jantungnya langsung berdetak kencang. “Apakah terjadi sesuatu?” Pelayan itu masih berwajah panik, dia menjawab pertanyaan Alex dengan terburu-buru. “Jika Ajudan tidak ada dihadapan Tuan Romeo dalam waktu lima menit, beliau mengancam akan meledakkan kediaman ini beserta semua pelayan dan bodyguardnya.”Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag