“Apakah dia akan mati?”
Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila.Brak… Brak…Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar.“Nyonya, buka pintunya!”Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis.“Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk.Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah kehangatan dari selimut yang Alex lilitkan ke tubuhnya.“Jangan khawatir, Nyonya. Tuan Romeo baik-baik saja.”Seolah sedang menunggu kabar itu, Bianca segera mendongak. Mata merahnya tak sengaja bertatapan dengan mata Alex, dia seperti tidak asing dengan mata indah itu.“Kau…”“Ah, Tuan Romeo memanggil Anda untuk cepat menemuinya,” ucap Alex. Pria tinggi itu kembali berdiri dan membungkuk hormat sebelum akhirnya beranjak meninggalkan ruangan.Tubuh Bianca kembali bergetar. Entah mengapa dia merasa takut dan lega secara bersamaan. Perlahan kaki lemasnya mulai beranjak, menghampiri kamar khusus Romeo yang di dalamnya terdapat dua orang berjas putih. Setelah Bianca memasuki kamar tersebut, seolah paham mereka langsung meninggalkan ruangan seraya memberi sapaan hormat.Bianca yang masih kalut hanya bisa diam. Setelah mereka pergi, keheningan mulai menyergap, menyisakan Bianca yang menatap sendu ke arah Romeo yang terbaring di atas ranjang.“Ohh jangan khawatirkan aku, Istriku.”Bianca hampir melompat karena terkejut ketika Romeo tiba-tiba bersuara.“Aku tidak akan mati begitu saja meninggalkanmu…” Kini suara Romeo terdengar lirih dan lemas.“Bagus, aku akan mencoba untuk terus membunuhmu!” jawab Bianca tegas meski sedikit bergetar.Sementara Romeo hanya tersenyum, tatapannya masih tak beralih dari Bianca.“Kau semakin cantik jika sedang marah, Istriku.”Mendengar segala yang diucapkan Romeo membuat Bianca semakin kesal. Dia mendekat untuk sekadar menodongkan telunjuknya mengancam Romeo.“Aku… Kupastikan kau mati di tanganku!” emosi Bianca makin menggebu.Romeo masih tak berhenti tersenyum bahkan kali ini ia tertawa terahak-bahak sembari mendudukkan diri di atas ranjang.Detik berikutnya Romeo mulai melepas kancing kemejanya mulai dari atas hingga bawah. Sekejap saja pria itu berhasil menangalkan pakaian atasnya.Bianca meneguk liur kasar. Pikirnya hal gila apa lagi yang akan dilakukan oleh suaminya itu. Namun setelah matanya menatap tubuh Romeo beberapa saat ia kembali tertegun.“Lihat, Sayang! Bahkan aku tidak hanya mendapatkan luka seperti ini darimu.” Romeo tersenyum miring.Mata Bianca tak berkedip sama sekali. Dia benar-benar terkejut melihat tubuh Romeo yang terdapat banyak luka sayatan dan jahitan. Membuatnya berpikir sebenarnya seperti apa sosok Romeo yang dia kenal kejam ini?"Mendekat kemari!" titah Romeo dengan suaranya yang masih lemas.Langit-langit ruangan dipenuhi rasa mencekam, Bianca dengan penampilan acak-acakannya mendekati Romeo dengan hati-hati. Ia berpikir bahwa mungkin pria yang ada dihadapannya ini sangatlah bahaya mengingat bahwa beberapa jam lalu ia berusaha untuk membunuhnya.Namun persis seperti dugaan. Sebelum Bianca berhasil menghindar--tangan besar dan panjang Romeo berhasil mencengkeram pergelangan tangan dan menariknya hingga menubruk tubuh Romeo yang setengah telanjang."Kupikir kau wanita yang polos, Istriku..." bisik Romeo membuat Bianca menggeliat.Detik berikutnya Romeo membaringkan paksa tubuh Bianca ke atas ranjang tanpa melepas cengkeraman tangannya."Berengsek! Apakah sekarang kau akan membunuhku?" teriak Bianca di bawah kungkungan Romeo.Sementara itu Romeo hanya memasang wajah bengisnya sambil tersenyum miring."Ya! Aku akan membunuhmu secara perlahan-lahan dan... kuharap kau menikmatinya, Istriku!" Suara berat Romeo memenuhi langit-langit ruangan sehingga menambah kesan mencekam ketika Romeo mulai merobek-robek dress selutut Bianca yang hampir penuh dengan lumuran darah.Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag