“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.”
Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yang turut serta dalam kebohonganmu itu?” Romeo meninggikan suara, membuat Bianca terdiam untuk sementara waktu sembari mengingat apa yang telah ia lakukan. Ya, dia telah berbohong dan parahnya ia juga menyeret Alex dalam kebohongannya. Dia sengaja memanfaatkan ketidak-hadiran Romeo beberapa hari ini agar ia bisa ke tempat di mana jasad Ayahnya dibuang. “A-aku telah salah, Tuan!” Mengabaikan segala rasa sakit di tubuhnya, Bianca beranjak dan berusaha menyentuh kaki Romeo. Mengingat tulang-belulang yang tersisa di tanah lapang tadi megingatkan Bianca betapa menyeramkannya sosok Romeo yang berdiri dihadapannya ketika dalam keadaan murka. “Aku salah karena menyeret salah satu Ajudanmu ke dalam kebohonganku.” Tanpa berbalik, Romeo tersenyum miring. Dia mulai mengabaikan Bianca dan berjalan cepat keluar dari ruangan kamar Bianca. “Pengkhianat memanglah pengkhianat. Tidak bisa kumaafkan meski kau mati-matian membelanya!” teriak Romeo, menggema di seluruh koridor yang menghubungkan kamar Bianca dengan ruangan-ruangan penting lainnya. “Tuan!” Bianca berada di ambang pintu, dengan tertatih-tatih ia berusaha mengejar Romeo yang telah menghilang di ujung koridor. *** Bianca tersandung salah satu anak tangga, dia terjatuh dan berguling. Sebelum ia semakin jatuh, dengan seluruh kekuatan yang tersisa ia mencoba bangkit sembari memegangi tiang pinggiran tangga. Kepalanya masih sangat pusing, dia hampir ambruk lagi namun beberapa pelayan telah datang dan menolongnya dengan raut panik. “Nyonya, apa yang terjadi? Mengapa Tuan membawa Alex ke ruang bawah tanah?” salah seorang pelayan perempuan yang terlihat lebih muda mengatakannya dengan nada ketakutan. Sementara pelayan lainnya berusaha membungkam mulut pelayan muda itu. Mereka berdua tampak ketakutan, membuat hati Bianca semakin resah. Dengan tegas akhirnya Bianca bertanya untuk memastikan sesuatu. “Alex, dia masih hidup?” Mereka masih tetap diam, sebelum akhirnya pelayan paling muda sengaja menggigit tangan yang membungkamnya dan mulai menjawab pertanyaan Bianca dengan nada panik. “Anda dan Ajudan Alex berhasil di selamatkan oleh Tuan Romeo sebelum akhirnya mobil yang Anda tumpangi meledak dan membakar supir yang mengemudikan mobil.” Mendengar pernyataan itu membuat Bianca bingung apakah harus lega atau malah sebaliknya. Dengan hati gusar ia kembali melanjutkan langkah, walau dua orang pelayan yang berada di sekitarnya berlarian kecil mengikutinya dengan raut khawatir pula. Teringat akan sesuatu, Bianca kembali berhenti—lantas menoleh. “Dimana aku bisa menemukan ruang bawah tanah tempat Alex dibawa?” Lagi-lagi pelayan paling muda yang menunjukkan semuanya. Sampai di depan pintu ruang bawah tanah, Bianca memukul-mukul kepalanya sendiri karena frustasi. Pintunya tertutup dan bahkan membukanya harus menggunakan sandi. Bianca menoleh ke belakang berharap bahwa dua pelayan tadi masih mengikutinya dan bisa membantunya. Tetapi nahas, ternyata mereka sudah pergi. Wajar saja, pikir Bianca mungkin mereka takut jikalau nantinya dituduh sebagai pengganggu aktivitas Tuannya—yaitu Romeo Albert yang sedang dilanda api amarah. Bahkan Bianca sendiri juga takut, namun di sisi lain ia harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan Alex. Karena dirinyalah Alex berada di posisi bahaya dan ia harus segera menolongnya sebisa mungkin walaupun terbesit kata mustahil dalam kepala. “Aku harus menekan angka berapa agar pintu ini segera terbuka!” Bianca masih saja menepuk-nepuk kepalanya, berpikir keras untuk memecahkan sandi pintu yang ada dihapadannya. Kepalanya serasa berputar-putar. Ia mencoba menekan beberapa angka secara acak namun pintu tak kunjung terbuka. Ia hampir menyerah dan kembali mengingat-ingat angka atau mungkin tanggal penting sejak dia datang ke rumah ini. “Tanggal lahir Romeo?” Bianca mulai menekan kembali angka yang tertera. “Sial! Aku tidak ingat berapa tahunnya karena waktu itu aku hanya melihatnya sekilas saat menandatangi surat perjanjian sebelum menikah,” gumamnya. Beberapa saat setelah berusaha memutar otak, Bianca terdiam sejenak. Sesuatu bagaikan ide yang cemerlang mulai terbesit. “Menikah! Mungkinkah itu tanggal saat kami menikah? Hanya tanggal itu yang kuingat sejak datang ke rumah ini.” Walau masih penuh keraguan—Bianca mencoba menekan kembali. Matanya membulat dan berpikir jika ini benar maka, “Astaga!” Sembari membungkam mulut tidak percaya. Setelah pintu terbuka, perlahan Bianca mulai menginjakkan kaki ke dalam ruang bawah tanah. Beberapa langkah maju ke depan, pintu ruangan mendadak tertutup otomatis membuat Bianca terkejut. Apalagi hawa ruangannya sangat menyeramkan. Sangat minim cahaya dan hanya terdapat lampu-lampu kuning yang temaram. Yang mengejutkannya lagi, aroma anyir mulai tercium. Benda-benda tajam dan berbagai senjata terpampang menghiasi dinding-dindingnya yang telah menguning. Hinga sampai di depan koridor yang sangat gelap, Bianca mulai mendengar suara cambukan dan teriakan seorang pria. Tubuhnya mulai bergetar ketakutan. Ketika Bianca hendak mendekat ke sumber suara, beberapa serangga seperti kecoa dan tikus mendatanginya dan melewati kakinya. Bianca segera membungkam mulut dan berusaha agar tidak bersuara. Mengabaikan semua rasa takutnya—Bianca mulai berjalan cepat dan sampai di ujung koridor dimana pemandangan yang tersuguhkan membuat dirinya hampir menangis. Pria bersetelan serba hitam yang berdiri membawa sebuah cambuk besar itu menoleh ke arah Bianca, tersenyum dan tertawa mengerikan melihat kedatangannya. “Selamat datang di tempatku bersenang-senang, Bianca Istriku.” Suara beratnya menggema memenuhi langit-langit ruangan. Di depan Romeo, keadaan Alex begitu mengerikan. Pria bermata sipit dan berkulit kuning itu bertelanjang dada dengan posisi kedua tangannya dirantai ke atas. Darah mengucur dari pelipis, hidung serta bibirnya. Bahkan seluruh tubuhnya memerah karena berulang kali telah dicambuk. “Nyo-nya…” lirih Alex dengan tatapan matanya yang sayu. Membuat batin Bianca begitu tersiksa melihatnya. Karena ini murni kesalahannya, Alex hanyalah orang tidak bersalah yang dia seret ke dalam kebohongannya. “Tu-Tuan, dia tidak bersalah. Aku yang telah menjebaknya ke dalam rencanaku. Dia… dia Ajudanmu yang setia—” Bianca belum selesai menjelaskan namun kalimatnya terhenti karena Romeo kembali mencambuk badan Alex dengan sangat keras, kembali menimbulkan bekas yang mengerikan di kulit kuning pucat pria yang telah sekarat itu. “Kumohon!” Bianca bahkan berlutut di hadapan Romeo sembari menangis. “Sangat sulit untuk membohonginya karena dia adalah Ajudanmu yang setia. Bahkan aku… aku sampai mengancamya dan mengatakan bahwa hukuman mengerikan akan dia dapatkan jika berani meragukanku.” Bianca berusaha menjelaskannya meski suaranya terdengar bergetar. Suasana di antara mereka lengang sejenak. Untuk beberapa saat Romeo memejamkan kedua matanya sembari menengadahkan kepalanya ke langit-langit. Sebelum akhirnya ia mendorong tubuh Bianca hingga membuat wanita bertubuh kecil itu tersungkur ke lantai. Romeo mendekatinya perlahan sembari menyeret cambuk besarnya yang terbuat dari besi pipih. Suara gesekannya dengan lantai ruangan terkesan mencekam, membuat siapapun merinding. “Tuan.. maafkan aku…” Bianca bersujud di hadapan Romeo sembari menangis tersedu-sedu. Sementara Alex di belakang sana tengah menarik paksa kedua tangannya dari ranta-rantai berkarat yang membelenggunya. Hingga darah mulai bercucuran dari pergelangan tangan. “Kurasa… darah pengkhianat tetap mengalir dalam tubuhmu… Bianca Caterina!” Saat Romeo mulai mengangkat cambuknya, Alex yang telah berhasil melepas rantai di tangannya meski hampir mematahkan pergelangannya berlari mendekat, mendekap tubuh kecil Bianca dan sekali lagi menerima cambukan dari Romeo. “Saya tidak berani meragukan Nyonya Bianca karena tahu bahwa Anda sangat mencintainya, Tuan. Dan jika harus ada pertumpahan darah di sini, akulah yang berhak Anda bunuh, bukan Nyonya—karena Anda sangat mencintainya..” Setelah mengatakan semua itu dengan suaranya yang terdengar lemah, Alex ambruk tak sadarkan diri di hadapan Bianca. Segera Bianca mengecek napas dan denyut nadi pria itu. “Dia…” “Katakan kepadaku! Jika dia mati maka aku akan membuang jasadnya ke tanah lapang yang telah kalian kunjungi. Dan jika tidak… kau bisa membawanya ke kamarnya,” ucap Romeo dengan nada dingin. Setelah itu ia beranjak meninggalkan mereka berdua begitu saja.“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
Mungkin matahari telah terbit, itulah yang diyakini Bianca saat dia membuka matanya. Aroma kopi dan roti panggang yang tertata di atas nakas semerbak memenuhi ruangan. Semakin menyadarkan alam bawah sadar Bianca. Bianca bangkit, memandangi nampan berisikan sarapan itu lantas menghela napas. Dia kembali sadar jika kini berada di kamar Romeo ketika melihat tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut. "Bisa gila aku! Si brengsek itu benar-benar melakukannya," umpatnya. Bianca turun dari ranjang hendak membersihkan diri terlebih dahulu namun ia malah tersungkur karena kedua kakinya terasa lemas. "Kakiku seakan mati rasa! Brengsek gila, dia benar-benar menyiksaku!" Bianca mengumpat lagi. Namun detik berikutnya pipinya mulai memerah karena mengingat kejadian kemarin malam antara dirinya dengan Romeo di tengah emosi mereka berdua yang meluap-luap. Pikirnya ada hal yang berbeda dari biasanya, atau Bianca baru menyadarinya kali ini. Segera menepis pikirannya yang entah ke mana, Bia
Dengan jantung berdebar, Bianca menemani Alex—mendorong kursi roda untuknya karena tidak mungkin Alex berjalan menemui Romeo dengan kakinya yang terluka. “Sekali lagi maaf jika karenaku semuanya menjadi seperti ini.” “Saya juga meminta maaf karena membuat Anda ikut menemani saya,” timpal Alex, susah payah menampilkan senyum. Bianca masih saja merasa resah, dirinya gugup untuk sekadar ingin tahu apa yang selanjutnya akan Romeo lakukan kepada Alex dan semua orang di kediaman ini karena kesalahannya. Melewati jalanan dengan banyak rumput liar, mereka hampir sampai di lapangan tembak. Bianca pikir, waktunya tidak lebih dari lima menit sesuai dengan perintah Romeo suaminya. “Sampai sini saja, Nyonya. Di depan adalah lapangan tembak. Saya tidak ingin Anda terlibat dengan masalah saya dengan Tuan Romeo.” Bianca mengerutkan kening, “Bagaimana mungkin aku tidak terlibat sementara akulah penyebab ini semua.” “Nyonya, waktunya tidak banyak. Akan lebih bah
“Kau marah kepadaku?” Bianca bertanya kepada Alex setelah tubuhnya yang terluka parah dibawa ke tempat tinggal para pelayan dan bodyguard. Tetapi alih-alih menjawab, Alex masih tetap diam dan fokus untuk mengoleskan obat luka ke tubuhnya. Dia sempat pingsan di hadapan Romeo setelah hukuman berat yang dia terima, namun Bianca meminta bantuan para bodyguard lain untuk membawanya kemari. Setelah sadar, ia menyuruh semua orang untuk pergi meninggalkannya sendirian, lalu dengan kedua tangannya yang turut terluka ia mengobati tubuhnya sendiri. Semua orang telah menyingkir dari hadapannya, namun Bianca tetap menerobos masuk. Lagipula dia adalah Nyonya di kediaman ini, tidak siapa pun berani menolaknya. “Yah... arti dari diammu itu adalah jawabannya.” Bianca mendekat dan duduk tepat di pinggiran ranjang tempat Alex, matanya sayu dan perasaan bersalah masih menghantui pikirannya. “Maaf. Aku telah memanfaatkan ketaatanmu,” sesal Bianca. Suaranya terdengar lem
“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.” Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan. “A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi. Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas. “Kau membohongiku?” Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo. “A-aku hanya…” “Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!” “A-alex, dia…” Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca. “Alex? Laki-laki yan
Bianca memandangi sekelilingnya yang terbuat dari marmer. Ubin dan keramik yang bernuansa putih. Sesaat sebelum matanya menangkap sosok pria yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa permisi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain merendam tubuhnya ke dalam bathub yang didalamnya terdapat busa-busa wangi yang hangat. Romeo yang membawanya kemari setelah merobek-robek dress yang sebelumnya ia kenakan. Sekarang, pria itu telah kembali dengan mengenakan bathrobe putih, menghampiri Bianca. “Jangan gila!” Bianca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Romeo tersenyum miring. “Tidak usah malu, Istriku. Lagipula aku bisa memandangnya setiap saat jika aku menginginkannya. Bukankah, kau juga menikmatinya?” Ucapan Romeo berhasil membuat Bianca meneguk liur kasar. Detik berikutnya Romeo duduk di pinggiran bathub, mengambil beberapa wewangian dan sengaja menuangkannya ke tubuh Bianca uang hanya tertutup busa. “Kau tahu... di sini kau tidak boleh bertindak semaumu, Istriku,” desis Ro
“Apakah dia akan mati?” Bianca meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tangannya yang masih berlumuran cairan kental warna merah bergetar. Mata indahnya terus terbelalak, bekas tetesan air mata di kedua pipinya belum mengering, bibirnya tak berhenti terbuka dan bergumam seperti orang gila. Brak… Brak… Atensi Bianca beralih menatap pintu kamar yang digebrak beberapa kali, bersamaan dengan itu suara berat seorang pria yang Bianca yakin adalah salah satu Bodyguard Romeo mulai terdengar. “Nyonya, buka pintunya!” Bianca semakin menenggelamkan kepalanya. Dia tidak berani untuk sekadar menemui orang-orang diluar sana. Tubuh kecilnya masih terus meringkuk sampai akhirnya mendongak ketika pintu didobrak dan masuklah seorang pria bertubuh atletis. “Saya Alex, Nyonya. Ajudan Tuan Romeo Albert.” Pria berkulit putih dengan mata sipit itu memperkenalkan diri seraya membungkuk. Namun Bianca masih tak memedulikan itu, dirinya benar-benar kalut. Beberapa saat kemudian ia bisa merasakan sebuah keh
"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?" "Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya." "Ayah!" Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat. Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis wala
“Andai bukan karenamu, markas kita masih aman. Aku tidak perlu repot-repot datang kemari.” Setelah suara berat pria bertopi koboi itu terdengar sarkas, Bianca melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dua orang bertubuh besar memegang kedua tangan dan kaki Ayahnya, seakan mereka ingin menangkap paksa Ayah Bianca. “Tuan Romeo, maafkan saya. Ini bukan seperti yang Anda pikirkan.” Di tengah kepanikan, Ayah Bianca berteriak meminta ampun. Bianca yang tak tega pun juga tak berani mendekat, yang bisa dia lakukan hanyalah bersembunyi di balik patung harimau dekat tangga dengan tetap memegang nampan berisikan beberapa minuman. . “Lantas, apa yang seharusnya kupikirkan?” Suara yang tadinya terdengar berat, kini sangat lembut namun masih terkesan mengerikan. Bersamaan dengan itu, pria bertopi koboi bernama Romeo itu mengeluarkan pistol yang terselip di saku celananya dengan cepat dan mengarahkannya ke kepala Ayah Bianca. “Ouhh, kerugian yang kau timbulkan cukup besar, Rodriguez. Sebag