Sukabumi, hari ini.
Aku memalukan. Baru saja berkenalan, sudah berani menitipkan harapan. Memang, susah sekali mengadaptasikan hati. Tidak mau mengerti. Berkali-kali diberitahu, tolong jangan kelewatan! Tetap saja keras kepala dan malah mengabaikan.
Di lain waktu sudah diperingati, jangan berandai-andai! Tapi tetap tak mau mendengarkan. Seolah sedang berada dalam keadaan paling aman. Padahal disisi lain ada yang berusaha memberantakkan angan.
Lemah sekali. Semoga tidak ku ulangi.
“Kamu kenapa sih?” tanya Uca.
Sebagai teman yang merasa telah begitu dekat. Aku menatap Uca dalam-dalam. Bibirku sudah manyun-manyun kedepan. Mataku sudah berkaca-kaca. Langsung saja ku peluk Uca, kemudian berteriak menangis tujuannya untuk membuat diri sendiri lega meskipun aku tahu teriakan ini tidak sehat bagi telinga orang lain.
“Udah, Lat. Ada apaan sih?” tanya Tarekha.
Aku tetap berteriak menangis dan mereka tetap tak bisa mengerti.
“Kalian tahu gak sih? Sakit hati aku.”
“Lat, kita gak akan tahu kalau kamu gak bilang”
“Kemarin aku cuma diajak ketemu di si Amang Rotbaq. Pokoknya aku kesel!”
Aku tetap menangis sejadi-jadinya dan mereka hanya bisa menghibur dengan segala upaya. Keberatan memang, jika hanya diri sendiri yang merasa diistimewakan. Maksudku keberatan menanggung bebannya sendiri sedangkan Kak Takdir tidak sama sekali.
Pada saat jam pulang, kita mampir dulu ke toilet perempuan yang ada di ujung koridor kelas untuk merapikan pakaian agar tidak kusut dan berdandan agar tidak kusam. Tentu saja, untuk menutupi mataku yang bengkak sehabis menangis tadi.
“Udah, Dir. Lupakan saja dia. Kau hanya pelarian saat dia bosan, percaya deh sama aku.”
“Emang kalau perempuan bilang belum bisa move on itu serius? Beneran gitu?”
Aku menegang mendengar suara lelaki-lelaki diluar, karena ada suara yang ku kenal. Siapa lagi kalau bukan Kak Takdir. Dan suara lainnya sudah pasti adalah teman-temannya.
Lalu, perempuan yang dimaksudnya itu siapa?
Aku segera menyelesaikan urusanku dengan cermin ajaib yang dapat membuat kita semua seolah terlihat cantik, ini alasan mengapa toilet ini selalu penuh.
Dengan full straight dan kesiapan raga yang utuh. Aku membuka pintu seraya membantingnya. Sudah jelas, geng Kak Takdir melihat pada kami bertiga. Tanpa melihat wajah mereka, aku langsung saja berjalan diikuti kedua temanku dari belakang yang juga tidak menghiraukan mereka.
“Kiblat!”
“Kiblat!” panggil Kak Takdir. Aku tahu persis suaranya.
“Kiblat!”
Kak Takdir berlari mengikuti langkahku yang sudah lumayan jauh.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Kalau aku berani menjawab sudah ku beri dia kata-kata yang menyakitkan, namun aku lemah untuk membuatnya terluka oleh lidahku sendiri. Aku tidak mau menyakitinya.
Aku menghentikan langkah. Begitu pun Kak Takdir, tetapi teman-temanku tidak. Mereka meninggalkanku tanpa basa-basi.
“Kenapa, Kak?”
“Kamu kenapa? Sepertinya menghindar.”
“Aku?” telunjukku menunjuk muka diriku sendiri, seraya tertawa kecil.
Kak Takdir membalasnya dengan anggukan.
“Mana ada” jawabku hemat.
“Terus kenapa?”
“Gak apa-apa. Aku sehat. Baik-baik aja. Kakak sendiri bisa lihat kan?”
Kak Takdir menatapku mataku, kemudian menundukkan kepalanya.
“Mau ku antar pulang?”
Aku menggelengkan kepala.
“Ayo!”
Dengan cepat Kak Takdir mengenggam pergelangan tanganku. Dia berjalan cepat didepanku. Seperti dalam film-film. Tetapi lama kelamaan langkahnya mengalun pelan. Aku tidak lagi kewalahan untuk mengikuti antara tarikan tangan dengan iringan jalannya.
Jemarinya yang menggenggam erat pergelangan tangan, sekarang turun kebawah menyusuri telapak, kemudian mengisi ruas jariku yang kosong. Sempat kaget, tetapi aku mencoba tetap tenang. Walau dalam hati ku tak tenang, takut Kak Takdir tahu apalagi sampe denger suara debaran di dada ku. Takutnya loadspeaker.
Sampai di dalam mobilnya Kak Takdir memulai percakapan.
“Eh, Lat”
“Twitter kamu masih aktif?”
Aku menengokan kepala ke kanan, melihat Kak Takdir yang sedang sibuk dengan tasnya.
“Iya, Kak.” Jawabku singkat.
“Follow Kakak ya.” Pintanya.
“Gak usah sekarang, nanti saja dirumah.” Lanjut Kak Takdir santai.
Diperjalanan aku hanya bisa menatap jalanan lurus, belok kanan, belok kiri, lampu merah, pos polisi, ibu-ibu bawa motor, polisi tidur, jalan berlubang, dan masih banyak lagi.
Kak Takdir pun hanya melirik ku, kemudian kembali fokus mengendarai. Aku tidak tahu pasti kenapa kita menjadi seperti ini dan rasanya sangat tidak enak. Sesekali ku lihat Kak Takdir. Dia pun melihatku.
“Apaan liat-liat?” tanyanya sambil cengengesan.
Aku mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.
“Aku tampan kan?” tanyanya lagi, masih cengengesen.
“Enggak! Biasa aja.”
Kita kembali tenang. Aku melakukannya lagi.
“Apa liat-liat? Naksir nanti” ujarnya sambil terus cengengesan.
“Ih, kepedean”
“ih… aku emang tampan dan mempesona”
“Di mata ku tetap biasa aja”
“Keras kepala memang!”
Kemudian, hening. Sampai depan rumah ku. Ya sudah, aku turun dan sebelumnya mengucapkan terima kasih. Sepersekian detik aku menutup pintu mobil lalu, berdiri menunggu mobil Kak Takdir melaju.
# # #
Setelah makan dan pakai skincare aku segera membaringkan badan di kasur. Tidak lupa sebelumnya shalat Isya. Lalu teringat ucapan Kak Takdir yang meminta di follow akun twitternya.
Tidak berapa lama, Takdir mengikuti anda.
Diiringi sebuah notifikasi direct message.
“Kalau aku telepon di What’s App. Kamu angkat gak?”
Dengan segera aku balas, “Diangkat. Asal gak video call aja.”
“Gak sekarang sih, aku lagi makan.”
Jadi kepikiran, kenapa dia bilang begitu. Padahal aku tidak pernah memberikan nomorku. Aku mencoba positif mungkin dapat dari teman atau dari tembok toilet lelaki yang banyak sekali coretan spidol dari nomor ponsel, pesan untuk kekasih, dan lain-lain. Darimana pun Kak Takdir dapatkan aku tidak peduli, tapi tetap saja kepikiran sih. Aneh.
Malam ini, aku banyak stalking akun twitternya. Ada beberapa foto yang masih menggemaskan. Foto jaman dulu. Tweet-nya pun puitis, sepertinya dia suka menulis. Tapi tak ada tanda-tanda Kak Takdir dekat dengan siapa. Aku jadi merasa sangat percaya diri dengan asumsiku sendiri. Namanya juga perempuan, dikasih nyaman sedikit langsung melabel lelaki itu berperasaan sama. Padahal kan belum tentu juga.
Akhirnya kita berbincang via what’s app. Banyak sekali yang kita bahas pada pukul sebelas malam itu. Rasanya tidak ingin cepat berlalu, tetapi yang disebut waktu bukanlah waktu kalau tidak bergerak perlahan.
“Yaudah, kamu tidur ya jangan begadang. Kesehatan mu itu lho” ucap Kak Takdir diseberang sana.
Aku sebenarnya masih ingin mendengar suaranya, masih ingin berbincang lebih banyak lagi, masih ingin memperpanjang durasi panggilan, namun aku tahu besok harus sekolah dan pasti kita akan bertemu.
Percaya diri dulu aja. Hasilnya, biar belakangan.
Santuy…
Tidak seperti biasanya. Hari ini aku sedang ada pengarahan dari wali kelas tentang banyak hal termasuk nilai. Semenjak kemarin beberapa orang ketahuan menyontek pada saat ulangan harian pelajaran Fisika. Serta betapa gaduhnya kelas kita hingga ditegur berkali-kali.Aku duduk dibarisan kedua dekat jendela. Kebetulan pintu kelas pun dibuka lebar. Aku melihat bayangan seseorang disana. Semakin memanjang dan mulailah raganya terlihat. Raga yang ingin sekali aku miliki. Takdir Abdala Jihad tanpa kedua temannya.“Assalamualaikum, Bu” ucap Kak Takdir sambil melangkahkan kaki menuju Bu guru.“Ada apa, Takdir?”“Bu, saya mau ijin berbicara sebentar dengan Kiblat.”Tentu saja. Ibu Guru dan semua teman-teman melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Meski aku tak tahu betul apa yang ada dalam pikiran mereka.“Untuk apa?” tanya Bu Guru.“Ada hal serius yang harus saya sampaikan, Bu. Ini menyangku
Bismilah, ucapku dalam hati. Dengan rasa percaya diri yang masuk kategori tinggi, aku berjalan menuju tempat yang diberitahu Kak Takdir melalui pesan singkat semalam. Sesampai dilokasi aku tercengang, karena tempatnya gak rapi dan kotor. Aku masih berdiri mematung melihat Kak Takdir dan teman-temannya yang sedang bersendagurau, terlihat nyaman sekali dengan tempat ini. Aku segera mengambil sapu yang berada disisi meja. Maksudnya mau membersihkan buat duduk ku saja, ya kali aku mau bersih-bersih tempat ini. Emangnya aku seksi kebersihan. Aku memperhatikan mereka. Ada yang sedang bermain ponsel, curiga sih lagi main domba hago. Ada yang pusing karena dapet kartu jelek alias lagi main remi pake duit dua ribuan. Ada yang sambil merokok, makan mie, makan cilok. Ada juga yang sambil tadarus dipojokan, kayaknya bertugas menjaga tongkrongan ini agar tidak banyak mahkluk astralnya. Kalau setan, jangan ditanya, ini lagi pada ngumpul. “Aku mau tunjukin sesuatu.” Ucap Kak Takdir. Belum dijawab
Namanya juga orang kaya kadang gak punya etika, tapi gak semuanya gitu. Bisa jadi orang yang saling mengasihi sesama manusia, cuma sayangnya aku belum nemu yang demikian. Semisal ada pun sudah yakin itu karena orang tersebut mencintai aku. Suatu saat nanti, mungkin, kak Takdir akan menjadi orang kaya pertama yang aku temuin dengan perilaku yang sangat baik.Di kamar ku yang tidak luas ini, aku mondar-mandir kebingungan. Harus bawa apa aja kalau berlibur 2 hari. Maklum, aku belum pernah diajak berpergian jauh sama teman. Sewaktu disekolah lama ku itu, sepertinya semua orang disana tidak menyukai aku. Mereka tak ada yang mau menemaniku bahkan untuk sekedar duduk sebangku saat jam pelajaran.Sepi menjadi temanku yang paling lengket, tapi aku gak ngerasa kesepian. Aku punya selalu punya pacar, meskipun sebentar atau baru saja putus. Gosip-gosip disekolah lama ku rasanya sudah kelewatan. Entah siapa yang memulai kalau yang ingin menjadi pacarku adalah mereka yang haus
Kemudian, Kak Takdir menginjak gas untuk menambah kecepatan laju mobil. Terlihat dari samping raut wajahnya tampak kesal atas kejadian tadi yang hampir saja mencelakai kami semua. Aku baru mendengarnya mengucapkan kata binatang saat sedang marah. Pikiranku malah kesana kemari, karena ketakutanku kalau-kalau suatu hari nanti dibentak dan dimaki pakai bahasa kasar oleh kak Takdir.Kak Takdir berusaha mengejar mobil avanza tadi, mengakibatkan tubuh kami terombang-ambing seperti dalam kapal yang diterjang badai. Perasaan takut kian memeluk lebih kencang. Untung saja, dari bangku belakang kak Thawaf bisa memperingatkan kak Takdir yang sedang diselimuti kekesalan."Dir, pelan-pelan saja. Biarin mobil tadi mungkin sedang buru-buru!""Lihat Kiblat! Dia pasti ketakutan" lanjutnya.Kak Takdir melirik ke arah ku, lalu menghembuskan nafas dan selang beberapa detik akhirnya mengurangi kecepatan. Namun kami semua terdiam. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun
Setelah sekian jam melanjutkan perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan, kami semua kelelahan diperjalanan, karena asik bersenda gurau dan bernyanyi. Halaman yang cukup luas bisa untuk parkir mobil, motor, bahkan kalau ada tukang parkir bisa ikut sekalian bangun pos parkir. Semua turun dari mobil. Aku sibuk mengeluarkan semua barang-barang, kak Thawaf pun sama. Berbeda dengan kak Tiara yang langsung duduk selonjoran diteras rumah, pasti sangat capek. Sebab aku juga merasakannya, kalau boleh aku ingin segera menuju kamar mandi. Lengket banget badan ku, seperti habis olahraga lari maraton. "Capek ya?" tanya ku kepada kak Tiara. "Sama aku juga" lanjutku. "Belum dijawab padahal kan?" tanya kak Tiara. "Ya, gak apa-apa. Pasti capek kok, aku udah tahu, hehe" Aku duduk disamping kak Tiara, setelah memasukkan semua barang-barang ke ruang tamu. Di teras rumah yang dingin, aku, kak Tiara, dan kak Thawaf duduk bersama tanpa alas menunggu tuan rumah yang entah kemana setelah kami sam
BRAKKKK!!!Suara pintu yang dibanting dari kamar sebelah. Aku yakin dari kamar Kak Thawaf dan Kak Tiara. Hampir aku keluar kamar saking penasarannya, tapi kuurungkan hanya untuk meratapi perasaan sakit dan kecewa atas apa yang sudah telingaku dengar. Pernyataan yang tidak pernah kuharapkan, terlebih dilontarkan oleh orang yang aku cinta dengan sangat.Aku sedang tidak ingin peduli dengan orang lain. Ada perasaan yang harus kutenangkan sendirian. Perasaan yang tidak pernah bisa kujelaskan, karena semuanya terasa seperti mimpi. Tapi aku harus tetap waras dengan keadaan yang saat ini sedang ku alami. Meski sebenarnya, semua orang akan menjadi gila ketika jatuh cinta.Dalam kamar yang cukup luas bagiku ini, masih terasa pengap karena dipenuhi udara cemburu. Hawa panas yang tidak biasanya menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku yang terkapar lemas tak berdaya, mau tidak mau harus menutup hari dengan rasa paling bajingan yang pernah ada. Namun satu sisi, aku harus mafhum bahwa aku hanya orang
GRUKGUK! GRUKGUK!Aku mengelus perutku sembari melihat tukang roti bakar di seberang sana. Ciri khas gerobaknya yang berwarna putih, body mulus, dan glowing membuatku terpana ingin segera menepuk pundak si penjual roti dan bilang, “Mang, keju ya dua!”Lalu si Amang menyahut, “Siap, Neng!”Melihat tangan si Amang yang sudah berkeriput sedang memarut keju hingga gravitasi bumi membuat butir-butir parutan keju tadi tertabut diatas roti yang telah diolesi mentega, jatuh begitu tak beraturan, namun sangat estetis, tiba-tiba ada suara lembut terdengar dekat sekali dengan telingaku.“Punten, Neng!”Aku langsung menoleh ke arahnya. Lelaki yang berseragam sama dengan ku begitu terlihat keren, ku tebak tingginya sekitar 170 cm. Kita saling tatap beberapa detik sebelum akhirnya sadar kalau pesanan roti bakar ku hanya khayalan semata.“Iya maaf.” ucapku sambil bergeser dua langkah.“K
Hari ke-2 aku belajar disekolah ini. Rasanya senang, karena sekarang ada teman baru. Namanya Tarekha Alanam, orangnya cantik, baik, pintar, dan disekolah ini yang suka sama dia bukan hanya angkatan kita, tetapi kakak kelas juga. Aku saja yang perempuan tidak bosan-bosan melihat wajahnya, apalagi lelaki.“Kha, kantin yuk?” ajak Uca.Uca ini teman ku juga. Nama aslinya Kautsar. Udah, itu saja. Singkat, padat, dan jelas. Panggil saja, Uca. Selain jago dibidang matematika, Uca juga jago dibidang pergibahan. Dia akan membongkar semua gossip-gossip yang beredar disekolah ini. Bahkan, gossip yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, dia tahu detailnya seperti apa. Uca sudah punya pacar, teman sekelas kita. Namanya Satrio Wira. Biasa dipanggil Iyo.“Yuk!” jawab Tarekha yang langsung menggandeng aku dan Uca.Di koridor sekolah udah banyak siswa-siswi yang keluar kelas untuk memenuhi egonya, yaitu makan sepuasnya di kantin. Sepuasnya sampai me
BRAKKKK!!!Suara pintu yang dibanting dari kamar sebelah. Aku yakin dari kamar Kak Thawaf dan Kak Tiara. Hampir aku keluar kamar saking penasarannya, tapi kuurungkan hanya untuk meratapi perasaan sakit dan kecewa atas apa yang sudah telingaku dengar. Pernyataan yang tidak pernah kuharapkan, terlebih dilontarkan oleh orang yang aku cinta dengan sangat.Aku sedang tidak ingin peduli dengan orang lain. Ada perasaan yang harus kutenangkan sendirian. Perasaan yang tidak pernah bisa kujelaskan, karena semuanya terasa seperti mimpi. Tapi aku harus tetap waras dengan keadaan yang saat ini sedang ku alami. Meski sebenarnya, semua orang akan menjadi gila ketika jatuh cinta.Dalam kamar yang cukup luas bagiku ini, masih terasa pengap karena dipenuhi udara cemburu. Hawa panas yang tidak biasanya menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku yang terkapar lemas tak berdaya, mau tidak mau harus menutup hari dengan rasa paling bajingan yang pernah ada. Namun satu sisi, aku harus mafhum bahwa aku hanya orang
Setelah sekian jam melanjutkan perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan, kami semua kelelahan diperjalanan, karena asik bersenda gurau dan bernyanyi. Halaman yang cukup luas bisa untuk parkir mobil, motor, bahkan kalau ada tukang parkir bisa ikut sekalian bangun pos parkir. Semua turun dari mobil. Aku sibuk mengeluarkan semua barang-barang, kak Thawaf pun sama. Berbeda dengan kak Tiara yang langsung duduk selonjoran diteras rumah, pasti sangat capek. Sebab aku juga merasakannya, kalau boleh aku ingin segera menuju kamar mandi. Lengket banget badan ku, seperti habis olahraga lari maraton. "Capek ya?" tanya ku kepada kak Tiara. "Sama aku juga" lanjutku. "Belum dijawab padahal kan?" tanya kak Tiara. "Ya, gak apa-apa. Pasti capek kok, aku udah tahu, hehe" Aku duduk disamping kak Tiara, setelah memasukkan semua barang-barang ke ruang tamu. Di teras rumah yang dingin, aku, kak Tiara, dan kak Thawaf duduk bersama tanpa alas menunggu tuan rumah yang entah kemana setelah kami sam
Kemudian, Kak Takdir menginjak gas untuk menambah kecepatan laju mobil. Terlihat dari samping raut wajahnya tampak kesal atas kejadian tadi yang hampir saja mencelakai kami semua. Aku baru mendengarnya mengucapkan kata binatang saat sedang marah. Pikiranku malah kesana kemari, karena ketakutanku kalau-kalau suatu hari nanti dibentak dan dimaki pakai bahasa kasar oleh kak Takdir.Kak Takdir berusaha mengejar mobil avanza tadi, mengakibatkan tubuh kami terombang-ambing seperti dalam kapal yang diterjang badai. Perasaan takut kian memeluk lebih kencang. Untung saja, dari bangku belakang kak Thawaf bisa memperingatkan kak Takdir yang sedang diselimuti kekesalan."Dir, pelan-pelan saja. Biarin mobil tadi mungkin sedang buru-buru!""Lihat Kiblat! Dia pasti ketakutan" lanjutnya.Kak Takdir melirik ke arah ku, lalu menghembuskan nafas dan selang beberapa detik akhirnya mengurangi kecepatan. Namun kami semua terdiam. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun
Namanya juga orang kaya kadang gak punya etika, tapi gak semuanya gitu. Bisa jadi orang yang saling mengasihi sesama manusia, cuma sayangnya aku belum nemu yang demikian. Semisal ada pun sudah yakin itu karena orang tersebut mencintai aku. Suatu saat nanti, mungkin, kak Takdir akan menjadi orang kaya pertama yang aku temuin dengan perilaku yang sangat baik.Di kamar ku yang tidak luas ini, aku mondar-mandir kebingungan. Harus bawa apa aja kalau berlibur 2 hari. Maklum, aku belum pernah diajak berpergian jauh sama teman. Sewaktu disekolah lama ku itu, sepertinya semua orang disana tidak menyukai aku. Mereka tak ada yang mau menemaniku bahkan untuk sekedar duduk sebangku saat jam pelajaran.Sepi menjadi temanku yang paling lengket, tapi aku gak ngerasa kesepian. Aku punya selalu punya pacar, meskipun sebentar atau baru saja putus. Gosip-gosip disekolah lama ku rasanya sudah kelewatan. Entah siapa yang memulai kalau yang ingin menjadi pacarku adalah mereka yang haus
Bismilah, ucapku dalam hati. Dengan rasa percaya diri yang masuk kategori tinggi, aku berjalan menuju tempat yang diberitahu Kak Takdir melalui pesan singkat semalam. Sesampai dilokasi aku tercengang, karena tempatnya gak rapi dan kotor. Aku masih berdiri mematung melihat Kak Takdir dan teman-temannya yang sedang bersendagurau, terlihat nyaman sekali dengan tempat ini. Aku segera mengambil sapu yang berada disisi meja. Maksudnya mau membersihkan buat duduk ku saja, ya kali aku mau bersih-bersih tempat ini. Emangnya aku seksi kebersihan. Aku memperhatikan mereka. Ada yang sedang bermain ponsel, curiga sih lagi main domba hago. Ada yang pusing karena dapet kartu jelek alias lagi main remi pake duit dua ribuan. Ada yang sambil merokok, makan mie, makan cilok. Ada juga yang sambil tadarus dipojokan, kayaknya bertugas menjaga tongkrongan ini agar tidak banyak mahkluk astralnya. Kalau setan, jangan ditanya, ini lagi pada ngumpul. “Aku mau tunjukin sesuatu.” Ucap Kak Takdir. Belum dijawab
Tidak seperti biasanya. Hari ini aku sedang ada pengarahan dari wali kelas tentang banyak hal termasuk nilai. Semenjak kemarin beberapa orang ketahuan menyontek pada saat ulangan harian pelajaran Fisika. Serta betapa gaduhnya kelas kita hingga ditegur berkali-kali.Aku duduk dibarisan kedua dekat jendela. Kebetulan pintu kelas pun dibuka lebar. Aku melihat bayangan seseorang disana. Semakin memanjang dan mulailah raganya terlihat. Raga yang ingin sekali aku miliki. Takdir Abdala Jihad tanpa kedua temannya.“Assalamualaikum, Bu” ucap Kak Takdir sambil melangkahkan kaki menuju Bu guru.“Ada apa, Takdir?”“Bu, saya mau ijin berbicara sebentar dengan Kiblat.”Tentu saja. Ibu Guru dan semua teman-teman melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Meski aku tak tahu betul apa yang ada dalam pikiran mereka.“Untuk apa?” tanya Bu Guru.“Ada hal serius yang harus saya sampaikan, Bu. Ini menyangku
Sukabumi, hari ini.Aku memalukan. Baru saja berkenalan, sudah berani menitipkan harapan. Memang, susah sekali mengadaptasikan hati. Tidak mau mengerti. Berkali-kali diberitahu, tolong jangan kelewatan! Tetap saja keras kepala dan malah mengabaikan. Di lain waktu sudah diperingati, jangan berandai-andai! Tapi tetap tak mau mendengarkan. Seolah sedang berada dalam keadaan paling aman. Padahal disisi lain ada yang berusaha memberantakkan angan.Lemah sekali. Semoga tidak ku ulangi.“Kamu kenapa sih?” tanya Uca.Sebagai teman yang merasa telah begitu dekat. Aku menatap Uca dalam-dalam. Bibirku sudah manyun-manyun kedepan. Mataku sudah berkaca-kaca. Langsung saja ku peluk Uca, kemudian berteriak menangis tujuannya untuk membuat diri sendiri lega meskipun aku tahu teriakan ini tidak sehat bagi telinga orang lain.“Udah, Lat. Ada apaan sih?” tanya Tarekha.Aku tetap berteriak mena
Hari ke-2 aku belajar disekolah ini. Rasanya senang, karena sekarang ada teman baru. Namanya Tarekha Alanam, orangnya cantik, baik, pintar, dan disekolah ini yang suka sama dia bukan hanya angkatan kita, tetapi kakak kelas juga. Aku saja yang perempuan tidak bosan-bosan melihat wajahnya, apalagi lelaki.“Kha, kantin yuk?” ajak Uca.Uca ini teman ku juga. Nama aslinya Kautsar. Udah, itu saja. Singkat, padat, dan jelas. Panggil saja, Uca. Selain jago dibidang matematika, Uca juga jago dibidang pergibahan. Dia akan membongkar semua gossip-gossip yang beredar disekolah ini. Bahkan, gossip yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, dia tahu detailnya seperti apa. Uca sudah punya pacar, teman sekelas kita. Namanya Satrio Wira. Biasa dipanggil Iyo.“Yuk!” jawab Tarekha yang langsung menggandeng aku dan Uca.Di koridor sekolah udah banyak siswa-siswi yang keluar kelas untuk memenuhi egonya, yaitu makan sepuasnya di kantin. Sepuasnya sampai me
GRUKGUK! GRUKGUK!Aku mengelus perutku sembari melihat tukang roti bakar di seberang sana. Ciri khas gerobaknya yang berwarna putih, body mulus, dan glowing membuatku terpana ingin segera menepuk pundak si penjual roti dan bilang, “Mang, keju ya dua!”Lalu si Amang menyahut, “Siap, Neng!”Melihat tangan si Amang yang sudah berkeriput sedang memarut keju hingga gravitasi bumi membuat butir-butir parutan keju tadi tertabut diatas roti yang telah diolesi mentega, jatuh begitu tak beraturan, namun sangat estetis, tiba-tiba ada suara lembut terdengar dekat sekali dengan telingaku.“Punten, Neng!”Aku langsung menoleh ke arahnya. Lelaki yang berseragam sama dengan ku begitu terlihat keren, ku tebak tingginya sekitar 170 cm. Kita saling tatap beberapa detik sebelum akhirnya sadar kalau pesanan roti bakar ku hanya khayalan semata.“Iya maaf.” ucapku sambil bergeser dua langkah.“K