Bismilah, ucapku dalam hati. Dengan rasa percaya diri yang masuk kategori tinggi, aku berjalan menuju tempat yang diberitahu Kak Takdir melalui pesan singkat semalam. Sesampai dilokasi aku tercengang, karena tempatnya gak rapi dan kotor. Aku masih berdiri mematung melihat Kak Takdir dan teman-temannya yang sedang bersendagurau, terlihat nyaman sekali dengan tempat ini. Aku segera mengambil sapu yang berada disisi meja. Maksudnya mau membersihkan buat duduk ku saja, ya kali aku mau bersih-bersih tempat ini. Emangnya aku seksi kebersihan.
Aku memperhatikan mereka. Ada yang sedang bermain ponsel, curiga sih lagi main domba hago. Ada yang pusing karena dapet kartu jelek alias lagi main remi pake duit dua ribuan. Ada yang sambil merokok, makan mie, makan cilok. Ada juga yang sambil tadarus dipojokan, kayaknya bertugas menjaga tongkrongan ini agar tidak banyak mahkluk astralnya. Kalau setan, jangan ditanya, ini lagi pada ngumpul.
“Aku mau tunjukin sesuatu.” Ucap Kak Takdir.
Belum dijawab udah main gusur aja. Seperti biasa, tanganku ditarik. Kami berdua ke samping tempat itu. Dan baru tahu, ternyata itu merupakan denah belakang dari sebuah warung pinggir jalan. Gak nyangka.
“Ada apa, Kak?” tanyaku.
“Aku mau kasih kamu surat.”
“Aku juga mau nerima surat kamu.”
Kak Takdir melihatku sebentar, lalu aku balas dengan senyum yang sangat indah sampai membekas dipikirannya. Semoga saja.
Setelah merogoh tasnya cukup lama, akhirnya kak Takdir memberikan kertas sketchbook ukuran A4.
“Ini suratnya harus baca sekarang. Biar bu Ricak yang baca.” katanya dengan penuh keyakinan.
“Yaudah, kita duduk disini.” Lanjutnya.
Segera saja Kak Tadir memanggil bu Ricak.
“Bu Ricak, Bu, Bu!”
“Iya, Dir?” sahut bu Ricak.
“Duduk, Bu. Ibu sebagai saksi ya disini.”
“Emangnya teh ada apa, Dir? Ibu mah gak mau ikut-ikutan, nanti jadi terjerat kasus yang enggak-enggak.” Kata bu Ricak.
“Tenang aja, Bu. Percaya sama Takdir.”
“Emang teh mau apa?” si ibu kayaknya penasaran banget.
“Mau akad, bu.” Jelas kak Takdir singkat.
Aku kaget, lalu bertanya, “Serius?”
“Jangan serius-serius dulu, aku masih sekolah” lanjutku.
Kak Takdir tertawa sendirian. Dipikir-pikir ini lelaki kenapa ya, selalu berubah-ubah. Kadang sehangat surabi duren baru diangkat atau sedingin suhu di alun-alun surya kencana gunung gede. Tapi selalu yakin kalau kak Takdir bukan siluman susuk biduan.
Kemudian, kak Takdir menyuruh bu Ricak untuk segera membacakan isi dari surat ini. Pas aku tidak sengaja ngintip, itu tulisannya panjang banget kaya teks undang-undang. Sempet melihat ke kak Takdir, tapi dari mimik mukanya terlihat seperti berkata, BURUAN WOY WAKTU NIH WAKTU!
Dengan pura-pura tenang dan sedikit penasaran. Aku bersiap mendengarkan bu Ricak membaca isi surat tersebut dengan sangat berhati-hati. Bu Ricak yang baca, aku yang deg-degan. Takut lidahnya keseleo.
Berharap bu Ricak tidak salah baca, amin.
- AKTA BERSAMA -
- Pada hari, tanggal, bulan, dan tahun ini.
- Saling berhadapan dengan saya, BU RICAK, pemilik warung, tempat nongkrong. Dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya ketahui dan tanpa disebutkan pada bagian akhir :
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak :
- Tuan TAKDIR ABDALA JIHAD, lahir di Pulau Sumatera, Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal sementara di Jawa Barat, selaku pria suku Bugis ;
- Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA ;
- Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA ;
- Terlebih dahulu menerangkan :
- Pasal 1 -
- DEMIKIANLAH AKTA INI -
- Dibuat dan dilangsungkan di Jawa Barat. Dan dibuat tanpa memakai perubahan.
***
Kemudian, aku dan kak Takdir menandatangani Akta Bersama tersebut diatas materai.
Bu Ricak juga ikut tandatangan sebagai saksi.
“Kamu kan sudah tandatangan. Mana sini, ponselmu” pinta kak Takdir.
Aku berikan ponselku yang belum di upgrade ke ponsel yang lebih bagus, bukan karena aku nyaman dengan ponsel ini, tapi emang gak ada uang aja. Tidak lama, kak Takdir mengembalikan ponselku. Dalam hati bertanya, dia ngapain ya?
“Ini aktanya kamu bawa, laminating, lalu pake figura dan simpan dikamar kamu. Boleh kok kalau kamu mau pajang diruang tamu.” Jelas kak Takdir.
“Kenapa gak di fotocopy dulu?”
“Buat apaan?”
“Masa hanya aku yang nyimpen benda pusaka ini?”
“Terus siapa yang mau simpan?”
“Ya kak Takdir juga dong! Masa bu Ricak?!” jawabku kesal.
“YAELAH GITU DOANG NGAMBEK! OKE KITA FOTOCOPY DAN SEBAR KE PERPUSTAKAAN KOTA”
“Gak gitu” ucapku lirih sembari menunjukkan muka sedih, tapi bohong.
Aku gak sedih beneran, justru hari ini aku senang sekali akhirnya kita resmi. Lha iya! Kita cuma resmi dekat bukan pacaran. Mau protes pun aku gak berani, aku kan perempuan masa mulai duluan sih. Nunggu aja sampai kak Takdir yang minta jadian duluan. Aku sih yakin namanya hubungan kan bertahap. Kita lihat saja sejauh mana kak Takdir ingin mengenalku, berbagi suka dan duka, menjadi jeda saat ada ribu-ribut diduniaku.
Sebenarnya dari semalam aku sudah gelisah dan gak bisa tidur nyenyak. Mau kasih tahu Uca dan Tarekha sebagai sahabat baik ku sekarang, tapi ku urungkan. Bukan gak enak mengabarinya tengah malam cuma pastinya gak akan dibalas, karena sudah pada tidur. Kalau pun belum palingan sedang telfonan sama pasangannya.
Karena semalaman aku kepikiran hal yang tidak-tidak tentang hari ini, kalau kata anak jaman sekarang sih “Over Thinking”. Ya, aku jadi ngantuk sekarang. Apalagi perjalanan ke tukang fotocopy cukup jauh dan harus pakai motor. Aku dan kak Takdir pakai motor punya temannya, kebetulan hari ini Kak Thawaf gak ada. Gak tahu kemana, tumben banget sih dia gak ada. Biasanya kemana pun kak Takdir pergi, dia selalu ngintil aja.
Lagi duduk sambil minum teh Gelas yang seribuan berdua dengan kak Takdir. Dari deket kita melihat seseorang yang sepertinya kita kenal, tapi siapa gitu. Orangnya pakai helm dan masker. Gak lupa kacamata item juga. Jaket kulit hitam dan kebawahan jeans butut yang harusnya sudah pensiun, lebih cocok jadi keset buat didepan kamar mandi.
Menunggu antrean alias capek banget gerah dan panas. Kita santai aja. Meskipun memakai baju seragam, kami terlihat keren. Sedang menyeruput tetes terakhir dari teh Gelas ini, kak Takdir berdiri dan menepuk pundak orang yang tadi kami lihat tanpa henti.
BUKK!
“Takdir!”
“Lu ngapain disini, karet keyboard?”
Orang itu membuka masker, kacamata, dan helm-nya. Benar kan orang yang kami kenal. Siapa lagi kalau bukan kak Thawaf. Dia sendirian pakai baju kayak begitu kaya dikejar ormas. Gak ngerti lagi.
“Aku mau beli alat tulis, Dir”
“Eh, aku mau cerita. Gawat nih, aku lagi kena masalah serius.” Lanjut kak Thawaf.
Mereka kini duduk dengan ku. Aku disebelah kanan dan kak Takdir disebelah kiri. Ditengah-tengah ada Kak Thawaf. Gak usah nyaut ‘cakeeeeepppppp’ Ini posisi duduk, ya, bukan pantun. Penasaran aja masalah apa yang begitu serius. Namanya anak sekolah mentok-mentok kan orang tua dipanggil ke sekolah. Apa lagi?
“Kalian harus janji. Jangan kasih tahu orang lain. Kita aja ya!”
Kami berdua mengangguk tanda setuju dengan perjanjian ini.
“Sini rapetan lagi.”
“Jadi, sebenarnya …”
Kak Thawaf diam sejenak. Menatap kami berdua bergantian, kemudian melanjutkan kalimatnya “Pacarku sedang hamil”
Aku yang mendengar ini bener-bener gak percaya. Mata ku membesar dan memakai ekspresi terkejut sampai refleks menutup mulut ku. Kaget aku itu seperti kebanyakan orang, ya, celangap. Namun melihat kak Takdir yang santai malah menghembuskan nafas kemudian bersandar dibangku yang sedang kita duduki. Aku jadi merasa aneh sendiri.
“Alah siah. Kok bisa?” Tanya kak Takdir.
“Ya, aku gak tahu kenapa jadi seperti itu.” Jelas kak Thawaf.
Aku hanya diam melihat dan mendengarkan mereka berbincang.
“Aku gak pake pengaman, karena aku pikir ya tidak akan sampai begini. Seingatku, aku selalu keluarkan diluar.”
“Tapi itu kan yang kamu ingat, bodoh. Yang gak ingatnya pasti banyak.”
“Kayaknya aku bakalan berhenti sekolah” ucap kak Thawaf dengan nada yang lemas.
“Jangan dong!” akhirnya aku bersuara.
“Pasti ada jalan keluarnya. Jangan sampe berhenti sekolah. Sebentar lagi juga lulus kok.” Lanjut ku.
“Iya, tapi gimana dengan pacarku?”
Kami terdiam sejenak, kemudian diam lama. Ya, kami belum punya solusi. Hanya menatap langit, karena bingung juga harus gimana.
Kak Takdir berdiri.
“Butuh apaan tadi, Waf?”
“Spidol aja kok.”
“Oke, tunggu disini. Mau fotocopy dulu”
Sembari nunggu kak Takdir. Aku dan kak Thawaf bicara soal pacarnya. Aku baru tahu kalau dia punya pacar. Gak pernah lihat dia berduaan sama perempuan. Bener, ya. Lelaki itu kadang menyembunyikan hubungannya. Gak mau banyak orang yang tahu.
“Kak Thawaf udah pacaran lama?”
“Sudah mau 5 tahun, Lat.”
“Terus kenapa kak Thawaf gak pernah bawa ke tongkrongan? Aku kan jadi ada temen”
“Untuk apa? Aku malas kalau bawa pacar kalau sedang dengan temanku. Diluar dari ketakutan aku ketikung temen sendiri, ya. Aku gak mau dia ngerasa bete kalau-kalau aku keasikan sama temanku. Bahkan aku juga ngerasa gak enak kalau nanti teman-teman gak nyaman dengan adanya pacarku. Mending seandainya pacarku bisa langsung berbaur, ini, sepertinya kurang .” jelas kak Thawaf.
“Kan ada aku. Lain kali bawa aja, Kak. Kenal di mana sama … emm, siapa namanya, Kak?”
“Tiara.”
“Iya, itu ceritanya gimana bisa sampe pacaran dan sekarang malah mengandung?”
Kak Thawaf menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya.
“Aku kenal di sekolah. Dia seangkatan dengan ku. Cari saja yang selalu dengan kawan-kawannya dikantin. Kaya cerita kebanyakan orang saja. Aku sama dia gak sengaja ketemu dikantin waktu SMP kelas 2. Niatku mau beli sesuatu yang seger, aku masih inget, aku beli sprite dan susu kental putih. Dia juga ikutan beli itu, padahal aku sudah lihat jelas lho, dia sudah genggam susu ultramilk. Lalu, aku cari tempat duduk eh dia malah ikut aku. Baru deh kami kenalan dan sampai pacaran lama begini. Kami niatnya berpisah sekolah, tapi tidak jadi. Dia mau selalu dengan aku.”
“Oh begitu, eh, Kak. Kok bisa hamil? Ngelakuinnya di mana?” tanyaku penasaran.
“Gak akan ku beri tahu. Kamu pasti ingin juga ya dengan Takdir?”
“ASTAGFIRULLAH!! Enggak atuh, Kak. Itu mulut asal bunyi aja”
“Ya lagian kenapa kamu mau tahu.”
“PE-NA-SA-RAN” ejaku sembari memaju mundurkan kepala ku ke depan muka kak Thawaf.
"Enggak, aku takut kamu melakukan percobaan"
Aku menatap kak Thawaf dengan wajah penuh kerutan didahi dan dia menatap balik memasang muka datar yang tampaknya minta digampar.
Kemudian, kak Takdir selesai dengan urusannya. Kami berkumpul lagi duduk seperti semula. Walaupun terlihat jelas kak Thawaf memperlihatkan muka cemas, tetapi sebagai sahabat yang baik, Kak Takdir mencoba untuk menghiburnya dengan mengajak kami untuk bermain dirumahnya yang kosong, tepatnya berada di kota sebelah.
"Bawa pacar aja, Kak" ucapku kedapa kak Thawaf sembari melirik wajah kak Takdir.
"Iya biar dia gak stress, karena kehamilan yang tidak diharapkan." lanjut kak Takdir.
Setelah sekian lama mempertimbangkan ajakan kami, akhirnya kak Thawaf mau bersedia untuk berangkat bersama-sama. Mungkin selain bingung dengan kehamilan pacarnya, sepertinya memang masalah terbesar anak sekolah adalah tidak punya uang. Sama kayak aku.
Untungnya disana ada pembantu yang menjaga rumah tersebut, tanpa pikir panjang lagi kak Takdir menghubungi orang disana agar segera menyiapkan semuanya. Jadi, kami tak perlu repot-repot lagi untuk membeli ini dan itu saat diperjalanan menuju kesana.
Aku rasa udah cukup buat berdiskusi dan merencanakan apa saja yang akan kami lakukan disana. Bercandaan kami membuat kak Thawaf lupa dengan masalahnya. Seneng sih bisa lihat kak Thawaf tertawa lagi. Daripada murung terus jelek banget dilihatnya udah kayak zombie.
"Hayu atuh kita pulang!" ajak kak Takdir kepada ku.
"Yaudah ayo!"
Aku bangkit bukan dari kubur, melainkan dari tempat duduk ku.
"Aku jemput kalian semuanya sore ya! Yang telat gak usah ditungguin, beban aja." ucap kak Takdir sedikit mengancam.
"YA ALLAH KEBANGETAN KAU JADI TEMAN!"
"Ngegas banget, kak Thawaf. Istighfar!" ucapku sambil mengelus punggungnya.
"Hahahaha" tawa menggelegar dari mulut kak Takdir yang gak pernah ngucap salam kalau pamit. Langsung pergi aja.
Namanya juga orang kaya kadang gak punya etika, tapi gak semuanya gitu. Bisa jadi orang yang saling mengasihi sesama manusia, cuma sayangnya aku belum nemu yang demikian. Semisal ada pun sudah yakin itu karena orang tersebut mencintai aku. Suatu saat nanti, mungkin, kak Takdir akan menjadi orang kaya pertama yang aku temuin dengan perilaku yang sangat baik.Di kamar ku yang tidak luas ini, aku mondar-mandir kebingungan. Harus bawa apa aja kalau berlibur 2 hari. Maklum, aku belum pernah diajak berpergian jauh sama teman. Sewaktu disekolah lama ku itu, sepertinya semua orang disana tidak menyukai aku. Mereka tak ada yang mau menemaniku bahkan untuk sekedar duduk sebangku saat jam pelajaran.Sepi menjadi temanku yang paling lengket, tapi aku gak ngerasa kesepian. Aku punya selalu punya pacar, meskipun sebentar atau baru saja putus. Gosip-gosip disekolah lama ku rasanya sudah kelewatan. Entah siapa yang memulai kalau yang ingin menjadi pacarku adalah mereka yang haus
Kemudian, Kak Takdir menginjak gas untuk menambah kecepatan laju mobil. Terlihat dari samping raut wajahnya tampak kesal atas kejadian tadi yang hampir saja mencelakai kami semua. Aku baru mendengarnya mengucapkan kata binatang saat sedang marah. Pikiranku malah kesana kemari, karena ketakutanku kalau-kalau suatu hari nanti dibentak dan dimaki pakai bahasa kasar oleh kak Takdir.Kak Takdir berusaha mengejar mobil avanza tadi, mengakibatkan tubuh kami terombang-ambing seperti dalam kapal yang diterjang badai. Perasaan takut kian memeluk lebih kencang. Untung saja, dari bangku belakang kak Thawaf bisa memperingatkan kak Takdir yang sedang diselimuti kekesalan."Dir, pelan-pelan saja. Biarin mobil tadi mungkin sedang buru-buru!""Lihat Kiblat! Dia pasti ketakutan" lanjutnya.Kak Takdir melirik ke arah ku, lalu menghembuskan nafas dan selang beberapa detik akhirnya mengurangi kecepatan. Namun kami semua terdiam. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun
Setelah sekian jam melanjutkan perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan, kami semua kelelahan diperjalanan, karena asik bersenda gurau dan bernyanyi. Halaman yang cukup luas bisa untuk parkir mobil, motor, bahkan kalau ada tukang parkir bisa ikut sekalian bangun pos parkir. Semua turun dari mobil. Aku sibuk mengeluarkan semua barang-barang, kak Thawaf pun sama. Berbeda dengan kak Tiara yang langsung duduk selonjoran diteras rumah, pasti sangat capek. Sebab aku juga merasakannya, kalau boleh aku ingin segera menuju kamar mandi. Lengket banget badan ku, seperti habis olahraga lari maraton. "Capek ya?" tanya ku kepada kak Tiara. "Sama aku juga" lanjutku. "Belum dijawab padahal kan?" tanya kak Tiara. "Ya, gak apa-apa. Pasti capek kok, aku udah tahu, hehe" Aku duduk disamping kak Tiara, setelah memasukkan semua barang-barang ke ruang tamu. Di teras rumah yang dingin, aku, kak Tiara, dan kak Thawaf duduk bersama tanpa alas menunggu tuan rumah yang entah kemana setelah kami sam
BRAKKKK!!!Suara pintu yang dibanting dari kamar sebelah. Aku yakin dari kamar Kak Thawaf dan Kak Tiara. Hampir aku keluar kamar saking penasarannya, tapi kuurungkan hanya untuk meratapi perasaan sakit dan kecewa atas apa yang sudah telingaku dengar. Pernyataan yang tidak pernah kuharapkan, terlebih dilontarkan oleh orang yang aku cinta dengan sangat.Aku sedang tidak ingin peduli dengan orang lain. Ada perasaan yang harus kutenangkan sendirian. Perasaan yang tidak pernah bisa kujelaskan, karena semuanya terasa seperti mimpi. Tapi aku harus tetap waras dengan keadaan yang saat ini sedang ku alami. Meski sebenarnya, semua orang akan menjadi gila ketika jatuh cinta.Dalam kamar yang cukup luas bagiku ini, masih terasa pengap karena dipenuhi udara cemburu. Hawa panas yang tidak biasanya menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku yang terkapar lemas tak berdaya, mau tidak mau harus menutup hari dengan rasa paling bajingan yang pernah ada. Namun satu sisi, aku harus mafhum bahwa aku hanya orang
GRUKGUK! GRUKGUK!Aku mengelus perutku sembari melihat tukang roti bakar di seberang sana. Ciri khas gerobaknya yang berwarna putih, body mulus, dan glowing membuatku terpana ingin segera menepuk pundak si penjual roti dan bilang, “Mang, keju ya dua!”Lalu si Amang menyahut, “Siap, Neng!”Melihat tangan si Amang yang sudah berkeriput sedang memarut keju hingga gravitasi bumi membuat butir-butir parutan keju tadi tertabut diatas roti yang telah diolesi mentega, jatuh begitu tak beraturan, namun sangat estetis, tiba-tiba ada suara lembut terdengar dekat sekali dengan telingaku.“Punten, Neng!”Aku langsung menoleh ke arahnya. Lelaki yang berseragam sama dengan ku begitu terlihat keren, ku tebak tingginya sekitar 170 cm. Kita saling tatap beberapa detik sebelum akhirnya sadar kalau pesanan roti bakar ku hanya khayalan semata.“Iya maaf.” ucapku sambil bergeser dua langkah.“K
Hari ke-2 aku belajar disekolah ini. Rasanya senang, karena sekarang ada teman baru. Namanya Tarekha Alanam, orangnya cantik, baik, pintar, dan disekolah ini yang suka sama dia bukan hanya angkatan kita, tetapi kakak kelas juga. Aku saja yang perempuan tidak bosan-bosan melihat wajahnya, apalagi lelaki.“Kha, kantin yuk?” ajak Uca.Uca ini teman ku juga. Nama aslinya Kautsar. Udah, itu saja. Singkat, padat, dan jelas. Panggil saja, Uca. Selain jago dibidang matematika, Uca juga jago dibidang pergibahan. Dia akan membongkar semua gossip-gossip yang beredar disekolah ini. Bahkan, gossip yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, dia tahu detailnya seperti apa. Uca sudah punya pacar, teman sekelas kita. Namanya Satrio Wira. Biasa dipanggil Iyo.“Yuk!” jawab Tarekha yang langsung menggandeng aku dan Uca.Di koridor sekolah udah banyak siswa-siswi yang keluar kelas untuk memenuhi egonya, yaitu makan sepuasnya di kantin. Sepuasnya sampai me
Sukabumi, hari ini.Aku memalukan. Baru saja berkenalan, sudah berani menitipkan harapan. Memang, susah sekali mengadaptasikan hati. Tidak mau mengerti. Berkali-kali diberitahu, tolong jangan kelewatan! Tetap saja keras kepala dan malah mengabaikan. Di lain waktu sudah diperingati, jangan berandai-andai! Tapi tetap tak mau mendengarkan. Seolah sedang berada dalam keadaan paling aman. Padahal disisi lain ada yang berusaha memberantakkan angan.Lemah sekali. Semoga tidak ku ulangi.“Kamu kenapa sih?” tanya Uca.Sebagai teman yang merasa telah begitu dekat. Aku menatap Uca dalam-dalam. Bibirku sudah manyun-manyun kedepan. Mataku sudah berkaca-kaca. Langsung saja ku peluk Uca, kemudian berteriak menangis tujuannya untuk membuat diri sendiri lega meskipun aku tahu teriakan ini tidak sehat bagi telinga orang lain.“Udah, Lat. Ada apaan sih?” tanya Tarekha.Aku tetap berteriak mena
Tidak seperti biasanya. Hari ini aku sedang ada pengarahan dari wali kelas tentang banyak hal termasuk nilai. Semenjak kemarin beberapa orang ketahuan menyontek pada saat ulangan harian pelajaran Fisika. Serta betapa gaduhnya kelas kita hingga ditegur berkali-kali.Aku duduk dibarisan kedua dekat jendela. Kebetulan pintu kelas pun dibuka lebar. Aku melihat bayangan seseorang disana. Semakin memanjang dan mulailah raganya terlihat. Raga yang ingin sekali aku miliki. Takdir Abdala Jihad tanpa kedua temannya.“Assalamualaikum, Bu” ucap Kak Takdir sambil melangkahkan kaki menuju Bu guru.“Ada apa, Takdir?”“Bu, saya mau ijin berbicara sebentar dengan Kiblat.”Tentu saja. Ibu Guru dan semua teman-teman melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Meski aku tak tahu betul apa yang ada dalam pikiran mereka.“Untuk apa?” tanya Bu Guru.“Ada hal serius yang harus saya sampaikan, Bu. Ini menyangku
BRAKKKK!!!Suara pintu yang dibanting dari kamar sebelah. Aku yakin dari kamar Kak Thawaf dan Kak Tiara. Hampir aku keluar kamar saking penasarannya, tapi kuurungkan hanya untuk meratapi perasaan sakit dan kecewa atas apa yang sudah telingaku dengar. Pernyataan yang tidak pernah kuharapkan, terlebih dilontarkan oleh orang yang aku cinta dengan sangat.Aku sedang tidak ingin peduli dengan orang lain. Ada perasaan yang harus kutenangkan sendirian. Perasaan yang tidak pernah bisa kujelaskan, karena semuanya terasa seperti mimpi. Tapi aku harus tetap waras dengan keadaan yang saat ini sedang ku alami. Meski sebenarnya, semua orang akan menjadi gila ketika jatuh cinta.Dalam kamar yang cukup luas bagiku ini, masih terasa pengap karena dipenuhi udara cemburu. Hawa panas yang tidak biasanya menyelimuti setiap sudut ruangan. Aku yang terkapar lemas tak berdaya, mau tidak mau harus menutup hari dengan rasa paling bajingan yang pernah ada. Namun satu sisi, aku harus mafhum bahwa aku hanya orang
Setelah sekian jam melanjutkan perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan, kami semua kelelahan diperjalanan, karena asik bersenda gurau dan bernyanyi. Halaman yang cukup luas bisa untuk parkir mobil, motor, bahkan kalau ada tukang parkir bisa ikut sekalian bangun pos parkir. Semua turun dari mobil. Aku sibuk mengeluarkan semua barang-barang, kak Thawaf pun sama. Berbeda dengan kak Tiara yang langsung duduk selonjoran diteras rumah, pasti sangat capek. Sebab aku juga merasakannya, kalau boleh aku ingin segera menuju kamar mandi. Lengket banget badan ku, seperti habis olahraga lari maraton. "Capek ya?" tanya ku kepada kak Tiara. "Sama aku juga" lanjutku. "Belum dijawab padahal kan?" tanya kak Tiara. "Ya, gak apa-apa. Pasti capek kok, aku udah tahu, hehe" Aku duduk disamping kak Tiara, setelah memasukkan semua barang-barang ke ruang tamu. Di teras rumah yang dingin, aku, kak Tiara, dan kak Thawaf duduk bersama tanpa alas menunggu tuan rumah yang entah kemana setelah kami sam
Kemudian, Kak Takdir menginjak gas untuk menambah kecepatan laju mobil. Terlihat dari samping raut wajahnya tampak kesal atas kejadian tadi yang hampir saja mencelakai kami semua. Aku baru mendengarnya mengucapkan kata binatang saat sedang marah. Pikiranku malah kesana kemari, karena ketakutanku kalau-kalau suatu hari nanti dibentak dan dimaki pakai bahasa kasar oleh kak Takdir.Kak Takdir berusaha mengejar mobil avanza tadi, mengakibatkan tubuh kami terombang-ambing seperti dalam kapal yang diterjang badai. Perasaan takut kian memeluk lebih kencang. Untung saja, dari bangku belakang kak Thawaf bisa memperingatkan kak Takdir yang sedang diselimuti kekesalan."Dir, pelan-pelan saja. Biarin mobil tadi mungkin sedang buru-buru!""Lihat Kiblat! Dia pasti ketakutan" lanjutnya.Kak Takdir melirik ke arah ku, lalu menghembuskan nafas dan selang beberapa detik akhirnya mengurangi kecepatan. Namun kami semua terdiam. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun
Namanya juga orang kaya kadang gak punya etika, tapi gak semuanya gitu. Bisa jadi orang yang saling mengasihi sesama manusia, cuma sayangnya aku belum nemu yang demikian. Semisal ada pun sudah yakin itu karena orang tersebut mencintai aku. Suatu saat nanti, mungkin, kak Takdir akan menjadi orang kaya pertama yang aku temuin dengan perilaku yang sangat baik.Di kamar ku yang tidak luas ini, aku mondar-mandir kebingungan. Harus bawa apa aja kalau berlibur 2 hari. Maklum, aku belum pernah diajak berpergian jauh sama teman. Sewaktu disekolah lama ku itu, sepertinya semua orang disana tidak menyukai aku. Mereka tak ada yang mau menemaniku bahkan untuk sekedar duduk sebangku saat jam pelajaran.Sepi menjadi temanku yang paling lengket, tapi aku gak ngerasa kesepian. Aku punya selalu punya pacar, meskipun sebentar atau baru saja putus. Gosip-gosip disekolah lama ku rasanya sudah kelewatan. Entah siapa yang memulai kalau yang ingin menjadi pacarku adalah mereka yang haus
Bismilah, ucapku dalam hati. Dengan rasa percaya diri yang masuk kategori tinggi, aku berjalan menuju tempat yang diberitahu Kak Takdir melalui pesan singkat semalam. Sesampai dilokasi aku tercengang, karena tempatnya gak rapi dan kotor. Aku masih berdiri mematung melihat Kak Takdir dan teman-temannya yang sedang bersendagurau, terlihat nyaman sekali dengan tempat ini. Aku segera mengambil sapu yang berada disisi meja. Maksudnya mau membersihkan buat duduk ku saja, ya kali aku mau bersih-bersih tempat ini. Emangnya aku seksi kebersihan. Aku memperhatikan mereka. Ada yang sedang bermain ponsel, curiga sih lagi main domba hago. Ada yang pusing karena dapet kartu jelek alias lagi main remi pake duit dua ribuan. Ada yang sambil merokok, makan mie, makan cilok. Ada juga yang sambil tadarus dipojokan, kayaknya bertugas menjaga tongkrongan ini agar tidak banyak mahkluk astralnya. Kalau setan, jangan ditanya, ini lagi pada ngumpul. “Aku mau tunjukin sesuatu.” Ucap Kak Takdir. Belum dijawab
Tidak seperti biasanya. Hari ini aku sedang ada pengarahan dari wali kelas tentang banyak hal termasuk nilai. Semenjak kemarin beberapa orang ketahuan menyontek pada saat ulangan harian pelajaran Fisika. Serta betapa gaduhnya kelas kita hingga ditegur berkali-kali.Aku duduk dibarisan kedua dekat jendela. Kebetulan pintu kelas pun dibuka lebar. Aku melihat bayangan seseorang disana. Semakin memanjang dan mulailah raganya terlihat. Raga yang ingin sekali aku miliki. Takdir Abdala Jihad tanpa kedua temannya.“Assalamualaikum, Bu” ucap Kak Takdir sambil melangkahkan kaki menuju Bu guru.“Ada apa, Takdir?”“Bu, saya mau ijin berbicara sebentar dengan Kiblat.”Tentu saja. Ibu Guru dan semua teman-teman melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Meski aku tak tahu betul apa yang ada dalam pikiran mereka.“Untuk apa?” tanya Bu Guru.“Ada hal serius yang harus saya sampaikan, Bu. Ini menyangku
Sukabumi, hari ini.Aku memalukan. Baru saja berkenalan, sudah berani menitipkan harapan. Memang, susah sekali mengadaptasikan hati. Tidak mau mengerti. Berkali-kali diberitahu, tolong jangan kelewatan! Tetap saja keras kepala dan malah mengabaikan. Di lain waktu sudah diperingati, jangan berandai-andai! Tapi tetap tak mau mendengarkan. Seolah sedang berada dalam keadaan paling aman. Padahal disisi lain ada yang berusaha memberantakkan angan.Lemah sekali. Semoga tidak ku ulangi.“Kamu kenapa sih?” tanya Uca.Sebagai teman yang merasa telah begitu dekat. Aku menatap Uca dalam-dalam. Bibirku sudah manyun-manyun kedepan. Mataku sudah berkaca-kaca. Langsung saja ku peluk Uca, kemudian berteriak menangis tujuannya untuk membuat diri sendiri lega meskipun aku tahu teriakan ini tidak sehat bagi telinga orang lain.“Udah, Lat. Ada apaan sih?” tanya Tarekha.Aku tetap berteriak mena
Hari ke-2 aku belajar disekolah ini. Rasanya senang, karena sekarang ada teman baru. Namanya Tarekha Alanam, orangnya cantik, baik, pintar, dan disekolah ini yang suka sama dia bukan hanya angkatan kita, tetapi kakak kelas juga. Aku saja yang perempuan tidak bosan-bosan melihat wajahnya, apalagi lelaki.“Kha, kantin yuk?” ajak Uca.Uca ini teman ku juga. Nama aslinya Kautsar. Udah, itu saja. Singkat, padat, dan jelas. Panggil saja, Uca. Selain jago dibidang matematika, Uca juga jago dibidang pergibahan. Dia akan membongkar semua gossip-gossip yang beredar disekolah ini. Bahkan, gossip yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, dia tahu detailnya seperti apa. Uca sudah punya pacar, teman sekelas kita. Namanya Satrio Wira. Biasa dipanggil Iyo.“Yuk!” jawab Tarekha yang langsung menggandeng aku dan Uca.Di koridor sekolah udah banyak siswa-siswi yang keluar kelas untuk memenuhi egonya, yaitu makan sepuasnya di kantin. Sepuasnya sampai me
GRUKGUK! GRUKGUK!Aku mengelus perutku sembari melihat tukang roti bakar di seberang sana. Ciri khas gerobaknya yang berwarna putih, body mulus, dan glowing membuatku terpana ingin segera menepuk pundak si penjual roti dan bilang, “Mang, keju ya dua!”Lalu si Amang menyahut, “Siap, Neng!”Melihat tangan si Amang yang sudah berkeriput sedang memarut keju hingga gravitasi bumi membuat butir-butir parutan keju tadi tertabut diatas roti yang telah diolesi mentega, jatuh begitu tak beraturan, namun sangat estetis, tiba-tiba ada suara lembut terdengar dekat sekali dengan telingaku.“Punten, Neng!”Aku langsung menoleh ke arahnya. Lelaki yang berseragam sama dengan ku begitu terlihat keren, ku tebak tingginya sekitar 170 cm. Kita saling tatap beberapa detik sebelum akhirnya sadar kalau pesanan roti bakar ku hanya khayalan semata.“Iya maaf.” ucapku sambil bergeser dua langkah.“K