"What the fuck are you doing? Stop it, Dumb!" Teriakan yang kudengar mengiringi suara klakson. Tampak pelakunya berada dalam mobil yang menyejajari kendaraanku di jalur satu arah ini."Get outta my way!" Aku membalasnya tak kalah nyaring. Sengaja kuinjak pedal gas dalam-dalam dan menyalip kendaraan di depan, berharap mereka tidak mengikuti.Sepertinya harapanku tidak terkabulkan. Pada jalan datar cenderung lurus ke depan, mobil yang mengikutiku berhasil mendahului dan memotong pergerakan. Aku terpaksa menghentikan laju kendaraan daripada harus mengalami kerugian berat.Dua pemuda brengsek yang kukenal turun dari mobil murahan di depan. Jelas lebih mahal milikku, masih stabil dan bersuara mulus di sepanjang perjalanan."Jalan nenek lo?" Randy lebih dulu menyapa ketika kaca mobil kuturunkan. Dia tetap berdiri tegak di luaran seraya membakar batang tembakau di selipan bibirnya.Elzar yang membuka pintu di sampingku. "Cari mati?" Dia memaksaku keluar dengan menarik lengan atasku, memastika
"Abra?"Pertanyaan berintonasi tinggi itu rasanya menarik jiwa sampai ke ubun-ubun. Tubuhku seketika sakit saat harus menyapa kenyataan di balik kelopak mata. Melirik pada penghuni ranjang di samping, Caca tampak menggulung tubuhnya di balik seprai dengan susah payah."Hai, Aya," sapa Caca sambil melambaikan tangan dalam mode lambat ke arah pemilik teriakan. Caca berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang.Aku sendiri berhasil mengambil celana panjang di ujung ranjang, mengenakan tanpa dalaman sambil menyesuaikan guncangan di kepala. Serangan lelah pasca pergumulan menyisakan pegal luar biasa di kedua tungkaiku."Aku bisa jelasin ini." Memaksa berdiri, mengejar Aya, aku hampir oleng di anak tangga.Namun, keberadaan Randy yang menghalangi Aya di ujung anak tangga menyematkan curiga. Dia terus melangkah mengikuti pergerakan Aya yang terus merangsek, mendesak pertahanan temanku satu itu.Tidak cukup, Aya terlihat menyerang Randy dengan tinju yang mampu dihindari. Enggak mungkin aku
Penegasan penggunaan masker di kalangan tenaga medis masih belum diikuti secara menyeluruh. Beberapa instansi tampak berinteraksi langsung tanpa perlindungan dengan pasien yang datang meski sebenarnya sejak menempuh pendidikan sudah berkali-kali diingatkan untuk tetap steril di tempat kerja.Hand sanitizer pun tersedia di setiap dekat pintu masuk ruangan bukan hanya sebagai hiasan, loh. Aku sendiri mulai membiasakan penggunaan sarung tangan steril semenjak merebaknya info di antara para petugas medis mengenai penyebaran penyakit dari wilayah utara."Isunya bener, Mbak?" tanyaku, sekadar ngobrol waktu ketemu Mbak Dara yang mengisi presensi.Bukan hanya soal penyakitnya, tapi juga kemungkinan persiapan daerah buat menghadapi penyebaran. Apalagi kabarnya terakhir kali ada pertemuan besar di ibukota yang melibatkan tamu dari berbagai negara. Who knows?"APD tambahan udah datang dari pusat, Mas. Itu juga terbatas." Info terbaru darinya.Mbak Dara mengambil cairan sanitasi dari botol di deka
Mbak Dara mampir ke ruanganku dan memberi beberapa amplop cokelat hasil rontgen. Isinya? Cakram yang hanya bisa dibuka melalui perangkat lunak khusus untuk memperlihatkan tampilan abu-abu dari organ dalam."Gimana hasil toraksnya?" tanya Mbak Dara setelah duduk pada kursi di hadapanku, turut memperhatikan tampilan yang terlihat dari layar laptopku."Positif pneumonia." Kuembuskan napas perlahan setelah memperhatikan banyaknya cairan yang mendominasi organ pernapasan dalam. "Tadi sudah ambil sampel lendir nasofaring, sama dokter paru yang bertugas diminta kirim ke pusat."Jariku bergerak bergantian mengetuk papan sentuh laptop. Bukan hal khusus, lebih seperti mempertimbangkan langkah berikutnya kalau ingat, "Di rumah sakit sebelah juga ternyata banyak kasus," berdasarkan informasi yang kuterima barusan melalui saluran telepon. "Enggak bisa digabung ke ICCU kan kalau belum tahu hasil sampelnya?""Inkubasi virusnya bisa sampai dua minggu, Mas. Mungkin kita bisa tempatkan pasien ke ruang i
"Belum pasti hasilnya kan, Pak?" Nanda ngotot menyarangkan cakarnya di pergelangan tanganku. "Bilang aja ini alasan Pak Abra hindarin aku mulu. Apa karena aku bilang aku hamil?""Tolong, menjauh." Kulepas setiap jarinya dari permukaan kulit seraya mengamati sekitar. Suaraku menekankan, "Ini bukan hal yang perlu dibahas di tempat umum, Nanda."Beberapa pengunjung tampak memperhatikan, tetapi aku lebih waswas jika rekan sejawat kami melintas dan mulai bertanya-tanya. Pertengkaran seperti ini bisa jadi bahasan yang tidak nyaman."Kapan lagi aku bisa nemuin Bapak?" rengek Nanda. Bola matanya tampak berkaca meski tidak terlihat cairan luruh di pipinya. "Telepon enggak boleh, kirim pesan enggak dibales. Aku harus gimana?"Gimana? "Sakit jiwa kamu!" Aku menggeleng, hempaskan usahanya yang terus menahanku tetap dekat.Langkahku bergegas menjauh meski Nanda berusaha mengejar. Langkahnya terdengar mengikuti di belakang."Bapak yang buat aku kayak gini!” teriak Nanda.Spontan jejak kakiku memuta
"Lagi ngapain?" Tanpa suara, aku mengejutkan Aya yang tampaknya sibuk dengan piring-piring kotor di bak cuci dapur.Jemariku menyelip di antara lengannya dan kusandarkan dagu di pundak Aya."Enggak ngabarin bakal pulang?" Intonasi suara Aya terdengar datar dan dingin. Apa mungkin masih marah?"Kangen." Kuelus perut Aya yang membuncit maju. Padat, terasa ganjalan yang bergerak di permukaan kulitnya. Sepertinya aku sedang disambut.Aya menyingkirkan peganganku di depan tubuhnya. "Apaan datang-datang bilang kangen?"Akan tetapi reaksi menghindarnya tidak berlaku padaku jika kami sedang berdua seperti ini. Semakin dia menghalau gangguan dariku, semakin menarik lancarkan tiap sentuhan sengaja ke bagian sensitif di depan tubuhnya."Rasanya seperti seribu tahun tau," keluhku sambil menggusel, menciumi bertubi-tubi sepanjang garis bahu Aya. Bisa kudengar setiap desisan yang keluar dari bibir Aya, menahan suara keluar dari mulutnya.Aya juga menikmati meski hanya sesaat. Dia berusaha melepaskan
"Bra, ada panggilan masuk." Aya menyodorkan ponselku tanpa beranjak dari ranjang. Dia tampak bergelung dalam selimut yang menjadi saksi percintaan kami semalaman, menyamarkan perut buncitnya.Aku meraih benda pipih itu seraya mengeringkan rambut dan bertanya dulu ke Aya. "Siapa pagi-pagi gini?""Aku enggak ngecek." Bahu telanjang Aya sempat naik, menegaskan tanda tidak tahu. Wajah polos yang jarang tersapu riasan, cantik. Mata sayunya kembali terpejam, lalu bergelung lagi.Aya benar-benar enggak peduli atau kelelahan?Aku menggeleng, menepis bayangan panas semalam yang menyisakan bercak kemerahan di permukaan kulit Aya, juga kulitku tentunya. Sangat kentara saat bercermin pasca mandi.Getar dari benda dalam genggaman mengingatkanku pada panggilan telepon yang Aya sebutkan. Nama Nanda tertera jelas di layar dengan embel-embel IGD pada awalan.Bukannya dia masih harus dirawat, ya?Aku hanya berlagak tidak tahu meski grup pesan yang mengumpulkan para rekan terus membahas mengenai masalah
Satu minggu, dua minggu, daftar suspek penyebaran virus yang harus di-tracking semakin meluas. Gejalanya beragam. Aku? Belum berani pulang meski tes yang kujalani awalnya menunjukkan hasil negatif.Dokter IGD yang standby sekarang cuma bisa tidur di ruang kerja atau mengambil kamar di asrama. Penuh, sih. Ada juga tawaran menginap di salah satu hotel yang bekerja sama dengan pihak rumah sakit.Mau pulang, takut nularin. Siapa tahu virus masih melekat di pakaian atau benda yang aku bawa meski pihak dinas kesehatan bilang penularan hanya melalui media droplet alias liur. Mana Aya lagi hamil besar, bisa berbahaya buat calon anak kami.Prang!"Mas! Ada pasien ngamuk di ruang isolasi!" Dokter baru yang tidak sempat kulihat penanda namanya menunjuk arah gedung rawat inap untuk penyakit berat di belakang. Harusnya bukan aku yang dipanggil, melainkan dokter jaga untuk kawasan di sana meski enggak sendiri."Apa lagi sekarang?" Mbak Dara sampai mendesis. Mungkin enggak habis pikir dengan penolak