Sejak kejadian terakhir, Aaris selalu murung dan tidak bersemangat. Untuk mengusir kebosanan, dia memutuskan untuk mengajak wanita baru yang dia dekati belakangan ini, yaitu Clara untuk keluar bersama. Tujuannya sederhana, hanya untuk bersantai dan melepas penat.Namun setelah mendengar bahwa Clara berhasil mendapatkan tiga ekor anak harimau, tiba-tiba muncul ide di kepalanya untuk kembali mendekati Tirta.Aaris memberi tahu, "Clara, tiga ekor anak harimau itu sebenarnya sangat berguna untukku. Berikan semuanya padaku. Aku berencana menjadikannya sebagai hadiah untuk seorang tokoh besar!"Aaris berpikir jika bisa memberikan anak-anak harimau itu kepada Tirta, dia pasti bisa menjalin hubungan baik dengannya. Dengan begitu, di kota ini tidak akan ada lagi yang berani macam-macam dengannya. Posisinya juga akan menjadi makin kuat."Um ... Kak Aaris, kamu pasti mau kasih anak harimau itu pada Naura, 'kan?" Mendengar itu, Clara langsung menebak maksudnya. Dia pun menunjukkan ekspresi kesal s
"Haha. Tenang saja, Clara. Nanti, aku pasti akan membawamu untuk bertemu dengannya!" balas Aaris, tetapi di matanya tersirat sedikit ejekan.Pria itu menambahkan, "Kalau bukan karena kamu yang mendapatkan anak-anak harimau ini, aku mungkin nggak akan punya kesempatan untuk bertemu Tirta.""Wah, Kak Aaris, kamu baik sekali padaku. Makasih ya!" seru Clara dengan manja. Namun di dalam hatinya, dia sudah memikirkan bagaimana caranya agar bisa menjalin hubungan dengan Tirta setelah bertemu nanti."Kak Aaris, tunggu kami!"Anak-anak muda lainnya bergegas keluar dari ruang VIP dan mengikuti Aaris. Mereka berpikir kalau tidak bisa mendekati orang sehebat Tirta, mendekati Aaris saja sudah cukup bagus.....Pada saat yang sama. Di tepi desa kecil, tepatnya di Desa Atmaja, sebuah mobil polisi melaju pelan di atas jalan beton yang lurus.Dhio duduk di kursi belakang. Dia menunjuk ke arah sebuah rumah dua lantai sederhana yang tidak jauh di depan mereka.Dhio bertanya dengan ragu-ragu, "Tirta, Bu S
Dhio berujar, "Semua ini salahku yang nggak berguna sebagai anak .... Kalau saja aku punya uang, Ibu nggak akan sampai berpikir untuk mengakhiri hidup ...."Dhio berlutut di lantai sambil memegang erat tangan ibunya yang sudah dingin. Dia menangis tersedu-sedu penuh penyesalan.Seorang kepala desa berusia 30 tahunan, Yanti, menepuk pundak Dhio dan mencoba menghiburnya, "Orang yang sudah meninggal nggak akan bisa hidup kembali. Jangan menangis lagi, Dhio. Lebih baik pikirkan gimana caranya mengurus pemakaman ibumu agar dia bisa pergi dengan tenang."Tubuh dan rambut Yanti basah kuyup karena baru saja menyelamatkan ibu Dhio dari sungai. Dia terlihat sangat lelah. Rambutnya menempel satu per satu di kepalanya.Begitu melihat seorang wanita berseragam polisi masuk ke dalam rumah, Yanti awalnya mengira bahwa Susanti datang untuk menyelidiki kasus bunuh diri ini. Dia pun hendak menjelaskan kejadian tersebut.Namun sebelum sempat bicara, Tirta langsung menyela sambil mengernyit, "Nggak perlu
"Sebenarnya ... kamu nggak perlu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kalau Tirta bilang dia bisa menyelamatkan orang, berarti dia memang punya cara. Lebih baik kita tunggu dan lihat dulu," ujar Susanti dengan nada selembut mungkin kepada Yanti.Yanti membalas, "Apa? Benar-benar nggak kusangka. Meskipun masih muda, dia ternyata penipu yang sangat cerdik, sampai-sampai bisa menipu polisi juga. Kalau begitu, baiklah. Aku akan buka mataku lebar-lebar dan lihat dengan jelas gimana dia akan menyelamatkan ibu Dhio!"Di dalam hatinya, Yanti sudah melabeli Tirta sebagai seorang penipu. Bahkan, kata-kata Susanti sama sekali tidak memengaruhi pendapatnya.Berhubung Yanti tidak percaya, Rauf mencoba membujuk, "Bu Yanti, anak muda ini jauh lebih hebat daripada yang kamu pikirkan. Jangan terbelenggu oleh pandanganmu sendiri.""Siapa tahu dia benar-benar bisa menyelamatkan ibu Dhio? Dibandingkan dengan nyawa, mengguncang tubuhnya beberapa kali bukan masalah besar, 'kan?" tanya Rauf.Yanti mendengus s
Bahkan ada beberapa orang yang maju untuk meminta maaf pada Tirta, "Nggak seharusnya kami ngomong begitu tadi.""Nggak apa-apa, lagian aku nggak rugi apa pun," balas Tirta sambil tertawa. Dia tidak ambil pusing tentang masalah ini. Jika tidak, dia pasti sudah kesal sejak awal."Hei, Nak, maaf ya. Aku memang salah paham padamu. Nggak kusangka kamu ternyata benar-benar sanggup menolong orang .... Kalau kamu merasa permintaan maafku kurang tulus, aku rela dipenjara beberapa hari."Melihat hal ini, Yanti juga meminta maaf dengan malu. Hatinya benar-benar merasa bersalah. Seandainya saja dia mengusir Tirta tadi, bukankah itu berarti mencelakai ibu Dhio?"Kak, untuk apa aku penjarain kamu? Nggak ada untungnya untukku, yang penting kamu sadar sama kesalahanmu saja. Aku nggak mau permasalahkan hal kecil begini," ujar Tirta dengan santai."Kak? Apa aku setua itu? Aku baru berumur 31 tahun, bahkan masih belum punya pasangan," ucap Yanti sambil mengerutkan alisnya. Sepertinya dia sangat keberatan
"Lagi-lagi dokter di kota? Bibi, aku nggak bohong sama kamu. Dokter di kota itu yang bersekongkol untuk bohong kamu. Kalau tebakanku nggak salah, mereka pasti rekomendasiin kamu ke sebuah rumah sakit untuk periksa, bukan?""Aku punya seorang teman yang juga dibohongi sama dokter-dokter itu. Mereka bilang dia mengidap kanker, padahal sebenarnya nggak ada masalah kesehatan sama sekali.""Kalau kamu nggak percaya, kubawa saja kamu ke kota atau rumah sakit lain di provinsi untuk periksa. Masalah uang nggak perlu dipikirkan, aku yang tanggung semuanya!"Mendengar hal itu, Tirta langsung marah besar. Namun, yang paling penting saat ini adalah menenangkan ibu Dhio terlebih dahulu agar dia tidak berpikiran untuk mengakhiri hidup lagi."Ini .... Mereka memang rekomendasiin aku ke rumah sakit di kota untuk pengobatan .... Apa aku ... benaran tertipu?" Mendengar perkataan Tirta, ibu Dhio mulai meragukan apakah dirinya benar-benar telah dibohongi."Pak Tirta, apa yang kamu bilang tadi itu sungguha
Tirta terkejut hingga sekujur tubuhnya gemetaran. Dia buru-buru mengalihkan kemaluannya ke arah lain. Setelah diperhatikn dengan saksama, ternyata ada seorang wanita yang sedang berjongkok untuk buang air kecil.Paha dan bokongnya terpampang jelas di depan mata. Bukankah orang ini adalah Yanti yang buru-buru pergi tadi?Ternyata, Yanti merasa sakit perut setelah masuk ke sungai tadi. Rumahnya cukup jauh dari tempat ini, sehingga dia terpaksa menumpang di toilet Dhio. Namun sialnya, dia malah bertemu dengan Tirta di sini. Setelah terkena pancuran air seni Tirta tadi, sekujur tubuh Yanti basah kuyup."Ternyata kamu? Memangnya mau bersuara gimana kalau orang lagi buang air kecil? Justru kamu yang seharusnya lihat dulu sebelum masuk ke toilet! Cepat keluar! Masalah ini nggak boleh bilang sama siapa pun atau kamu akan kubunuh!"Tirta berdiri di depan pintu toilet, sehingga tidak sengaja menghalangi cahaya masuk. Setelah beberapa saat, Yanti akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa yang ada
"Pak Tirta, Bu Susanti, itu dia Clara! Putri direktur rumah sakit kota!"Clara dan Aaris tidak turun dari mobil. Mereka hanya membuka jendela mobil dan melihat ke sekitarnya. Namun, Dhio bisa mengenali suara Clara. Karena masalah ibunya dibohongi, kini Dhio sangat membenci Clara yang merupakan putri dari direktur rumah sakit kota."Sialan, banyak sekali kotoran anjing di sepanjang jalan ini! Lingkungannya jelek sekali, apa ini bisa ditinggali orang?" Terdengar suara keluhan Aaris sambil menutupi hidungnya."Kak, pedesaan memang begini. Nggak bisa dibandingkan sama kota. Demi harimau itu, sebaiknya kamu bersabar. Tanpa harimau itu, mau gimana kamu dekatin Tirta?" ucap Clara seraya mengernyit. Meski dia sendiri juga merasa jijik, Clara tetap membujuk Aaris."Benar juga. Ayo, turun dari mobil!" ucap Aaris sambil berjalan turun."Ada banyak yang datang ya. Wah, tenyata ada kenalan lama juga ...," kata Tirta saat melihat Aaris yang berada di dalam mobil.Mendengar pembicaraan kedua orang it
Tirta berkata dengan serius, "Sebenarnya kamu juga kekasihku. Aku nggak mungkin membiarkanmu menderita."Mendengar perkataan Tirta, Selina menanggapi dengan senang, "Benaran? Tirta, aku sangat senang kamu bisa bilang begitu. Aku sama sekali nggak menyesal masuk ke gua bawah tanah bersamamu waktu itu."Selina menambahkan, "Sekarang aku masih muda. Aku ingin bekerja di tim reserse beberapa tahun lagi. Kalau ke depannya aku merasa lelah, aku akan mencarimu. Aku jamin aku nggak akan berhubungan intim dengan pria lain selain kamu seumur hidupku."Kemudian, keduanya mengobrol sejenak sebelum mengakhiri panggilan telepon. Tirta tidak mengantuk. Dia menenangkan dirinya, lalu mulai meneliti Mantra Evolusi Semesta semalaman.Hanya saja, Tirta tidak bisa tenang karena Susanti belum bangun. Alhasil, dia baru mengingat sebagian kecil mantra saat subuh. Tirta masih membutuhkan usaha yang lebih keras untuk mengingat semua Mantra Evolusi Semesta.Belasan menit berlalu, Idris dan Rasmi yang berusaha me
Mendengar perkataan Marila, Tirta langsung menelan ludah dan membalas, "Ha? Bu Marila ... mana mungkin kamu bantu aku untuk masalah begini? Sudahlah, aku cuma perlu tahan sebentar."Tirta memang ingin melakukan hal itu, bahkan sekarang dia sangat tersiksa. Namun, Tirta tidak boleh meniduri Marila. Kalau tidak, ke depannya dia akan merasa malu bertemu dengan Saba.Marila menanggapi, "Pak Tirta ... kamu salah paham. Maksudku ... kalau aku bantu kamu keluarkan, apa kamu bisa merasa lebih nyaman? Aku sudah merasa sangat nyaman. Aku bisa memahami perasaan tersiksa seperti itu, tubuh terasa panas sehingga membuat kita gelisah."Marila menambahkan, "Pak Tirta sudah bantu aku memperbesar payudara, tapi nggak meminta imbalan. Aku juga ingin melakukan sesuatu untukmu. Yang penting Pak Tirta nggak menganggapku wanita liar ...."Marila yang perhatian memikirkan kepentingan Tirta. Saat bicara, dia memasukkan tangannya ke dalam baju Tirta, lalu meluncur ke dalam celananya."Tentu saja ... aku nggak
Melihat ekspresi Marila yang penuh penantian, Tirta yang genit tentu tidak bisa menolak permintaannya. Selain payudara Marila yang kecil, sebenarnya dia adalah wanita yang sempurna. Tentu saja, Tirta tidak keberatan bermesraan dengan Marila. Lagi pula, Marila sendiri yang memintanya. Jadi, Tirta sama sekali tidak merasa bersalah. Setelah memikirkan hal ini, hasrat Tirta membara.Tirta berkata, "Bu Marila, aku bisa bantu kamu. Tapi, cuma kita berdua yang tahu hal ini. Kamu nggak boleh beri tahu orang lain."Saat bicara, Tirta melakukan akupunktur pada payudara kiri Marila terlebih dahulu. Marila mengeluarkan suara yang bergetar, lalu Tirta membungkuk ...."Iya ... Pak Tirta ... tenang saja. Aku pasti ... nggak akan beri tahu siapa pun," ucap Marila. Suaranya menjadi aneh. Tubuh hingga jari kakinya menegang.Marila disiksa oleh Tirta, tetapi dia tampak sangat menikmatinya. Ini baru permulaan. Dalam waktu kurang dari 1 menit, kedua kaki Marila gemetaran.Kemudian, Marila yang malu beruca
Ekspresi Marila terlihat gugup dan malu karena hendak dia meminta Tirta memperbesar payudaranya. Marila berujar, "Pak Tirta, aku sudah beli bahan obat-obatan dan 2 bungkus jarum. Apa sekarang kamu ada waktu memperbesar payudaraku?"Tirta mengangguk. Dia teringat pengalaman memperbesar payudara Shinta sebelumnya, jadi dia mengingatkan, "Tentu saja sekarang aku ada waktu. Bu Marila, tapi sebelum memperbesar payudara, aku sarankan kamu siapkan 2 pakaian dalam dan celana bersih dulu.""Ha? Kenapa? Oke, aku siapkan dulu," sahut Marila. Dia sedikit penasaran, tetapi pengalaman terakhir kali membuatnya bisa menebak sesuatu. Dia keluar dari kamar setelah menyerahkan bahan obat-obatan dan jarum kepada Tirta."Susanti, aku nggak mengambil keuntungan dari wanita lain. Aku cuma membantunya, kamu nggak boleh marah padaku," kata Tirta. Dia melihat Susanti yang sedang tertidur, lalu mencium dahinya yang mulus dengan lembut.Kemudian, Tirta keluar dari kamar untuk memasak obat. Sementara itu, Marila t
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,