Tirta terkejut hingga sekujur tubuhnya gemetaran. Dia buru-buru mengalihkan kemaluannya ke arah lain. Setelah diperhatikn dengan saksama, ternyata ada seorang wanita yang sedang berjongkok untuk buang air kecil.Paha dan bokongnya terpampang jelas di depan mata. Bukankah orang ini adalah Yanti yang buru-buru pergi tadi?Ternyata, Yanti merasa sakit perut setelah masuk ke sungai tadi. Rumahnya cukup jauh dari tempat ini, sehingga dia terpaksa menumpang di toilet Dhio. Namun sialnya, dia malah bertemu dengan Tirta di sini. Setelah terkena pancuran air seni Tirta tadi, sekujur tubuh Yanti basah kuyup."Ternyata kamu? Memangnya mau bersuara gimana kalau orang lagi buang air kecil? Justru kamu yang seharusnya lihat dulu sebelum masuk ke toilet! Cepat keluar! Masalah ini nggak boleh bilang sama siapa pun atau kamu akan kubunuh!"Tirta berdiri di depan pintu toilet, sehingga tidak sengaja menghalangi cahaya masuk. Setelah beberapa saat, Yanti akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa yang ada
"Pak Tirta, Bu Susanti, itu dia Clara! Putri direktur rumah sakit kota!"Clara dan Aaris tidak turun dari mobil. Mereka hanya membuka jendela mobil dan melihat ke sekitarnya. Namun, Dhio bisa mengenali suara Clara. Karena masalah ibunya dibohongi, kini Dhio sangat membenci Clara yang merupakan putri dari direktur rumah sakit kota."Sialan, banyak sekali kotoran anjing di sepanjang jalan ini! Lingkungannya jelek sekali, apa ini bisa ditinggali orang?" Terdengar suara keluhan Aaris sambil menutupi hidungnya."Kak, pedesaan memang begini. Nggak bisa dibandingkan sama kota. Demi harimau itu, sebaiknya kamu bersabar. Tanpa harimau itu, mau gimana kamu dekatin Tirta?" ucap Clara seraya mengernyit. Meski dia sendiri juga merasa jijik, Clara tetap membujuk Aaris."Benar juga. Ayo, turun dari mobil!" ucap Aaris sambil berjalan turun."Ada banyak yang datang ya. Wah, tenyata ada kenalan lama juga ...," kata Tirta saat melihat Aaris yang berada di dalam mobil.Mendengar pembicaraan kedua orang it
"Orang ini adalah wakil di kantor kepolisian, Bu Susanti. Sepertinya kamu harus ikut ke kantor polisi sama dia.""Benar, Bu Clara. Melakukan tindakan ilegal itu nggak bisa dibiarkan. Dengan adanya kesaksian dari kami berdua, kamu nggak bisa mengelak lagi. Ayo ikut Bu Susanti ke kantor polisi!" timpal Rauf."Apa? Kalian berdua sudah gila ya? Aku nggak kenal sama kalian. Sejak kapan aku suruh kalian tangkap harimau? Jangan memfitnah!""Kak Aaris, ayo kita pergi. Abaikan saja dua orang gila ini!" Clara benar-benar kesal. Dia tidak menyangka bahwa Dhio dan Rauf akan menjebaknya. Kini, bahkan wakil kepala kepolisian juga sudah datang.Hal ini benar-benar membuatnya malu dan ketakutan. Seketika, dia hendak membawa Aaris dan gerombolannya untuk meninggalkan tempat ini."Yah, ternyata nggak ada harimau ya ...." Beberapa pemuda yang mengikuti Clara itu menghela napas lega. Dengan demikian, Clara dan Aaris juga tidak bisa mengambil hati Tirta lagi. Selain itu, mereka juga bisa menyaksikan Clara
"Kak Aaris, bocah ini kelihatannya masih muda, kenapa kamu berlutut sama dia? Memangnya dia siapa ...?" Melihat Aaris berlutut dan memohon, hati Clara langsung mencelos dan muncul firasat buruk.Bagaimanapun, Aaris adalah cucu Tabir. Kalaupun bertemu dengan kepala kepolisian, dia juga tidak perlu setakut itu! Jangan-jangan, pemuda ini adalah anak haram wali kota?"Dasar bodoh, memangnya kamu ini buta ya? Yang berdiri di depanmu ini adalah Tirta sendiri! Kalau nggak, apa aku perlu berlutut sama dia? Tanya apanya lagi? Cepat berlutut dan minta maaf sama Tirta!"Aaris marah besar, dia langsung berdiri untuk memaki Clara di hadapan Tirta. Clara menggunakan nama Tirta untuk mencoba mengintimidasi lawan, tanpa sadar bahwa dia telah menjatuhkan diri ke dalam jurang. Itu bukan cuma cari masalah sendiri, tapi juga penghinaan langsung terhadap Tirta.Aaris yang menyadari hal ini, ingin sekali langsung mencekik Clara di tempat. "Apa-apaan ini? Jadi dia Tirta?!"Mendengar ucapan Aaris, Clara benar
"Apakah benar yang mereka katakan itu?" tanya Susanti."Aku ... Bu Susanti, aku nggak mau dipenjara. Boleh nggak aku kasih kamu uang, tapi jangan penjarakan aku?" tanya Clara dengan terbata-bata sambil mengepalkan tangannya.Mendengar hal itu, Susanti mengerutkan alisnya dan menggeleng. "Clara, aku nggak peduli apa pun yang kamu pikirkan sekarang, mohon jaga sikapmu. Sekarang ini kamu sedang diinterogasi.""Tolong jawab pertanyaanku tadi dengan jujur. Selain itu, menyogok aparat hukum adalah kejahatan besar. Kalau kamu mau dipenjara lebih lama lagi, silakan coba saja. Kita lihat sendiri apa kamu bisa sogok aku atau nggak," lanjut Susanti."Ya, memang aku yang menyuruh Dhio dan aku juga yang memberinya senapan .... Aku melihat Pangeran Dubari memelihara singa, jadi ...."Melihat sikap Susanti yang tegas, Clara akhirnya menjadi patuh. Dia terduduk di lantai dengan tatapan kosong dan memberikan keterangan dengan jujur."Baiklah, karena kamu sudah ngaku, silakan ikut aku ke kantor polisi u
"Ibu, masih ada kasus yang harus kutangani dengan Bu Susanti. Mungkin butuh waktu cukup lama untuk bisa pulang lagi. Kamu harus jaga diri baik-baik. Ingat hubungi aku kalau ada masalah." Langkah kaki Dhio terhenti sejenak dan sudut matanya berkedut. Kemudian, dia memaksakan senyuman di wajahnya sambil bicara."Ya, Dhio lagi dalam masa percobaan di kantor polisi kami. Mungkin butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk bisa diresmikan. Selama tiga bulan ini, mungkin Dhio akan sangat sibuk. Bibi harus jaga diri di rumah." Susanti juga ikut menutupi kebohongan Dhio."Dokter, apa yang dikatakan mereka itu sungguhan? Kalian nggak bohongin aku, 'kan?" tanya ibu Dhio yang masih tidak percaya."Bibi, memang benar yang mereka bilang. Kalau kamu nggak percaya, aku bisa jamin atas namaku," ucap Tirta sambil tersenyum. Tirta juga tidak tega mengungkapkan hal ini pada orang tua seperti ibu Dhio."Ah, begitu ya. Dhio sudah jadi polisi sekarang ya. Baguslah. Kalau begitu, kalian cepat kerja dulu. Kalau a
"Ah ... maaf, Kak Nabila. Aku benar-benar lupa sama masalah ini. Gimana kalau kuantarkan sekarang?" tanya Tirta sambil menepuk kepalanya."Nggak usah lagi. Ayahku beli mobil baru siang ini, dia pulang untuk bantu aku ambilkan dokumennya. Waktu ke klinik juga kamu lagi nggak ada. Sekarang mungkin lagi dalam perjalanan pulang," jawab Nabila."Oh, baiklah. Ayahmu nggak bilang apa pun sama kamu, 'kan?" tanya Tirta dengan merasa bersalah. Dia takut Agus akan mendengar gosip tentangnya dan Melati dari warga desa lainnya."Nggak kok, ayahku nggak bilang apa-apa. Cuma waktu pulang, dia melihat ada beberapa lukisan di depan pintu," kata Nabila mengalihkan pembicaraan."Sepertinya pemberian Pak Tabir, mau diterima nggak? Kalau kamu suka, terima saja. Kalau nggak suka, buang saja atau kasih ayahmu saja." Kini Tirta merasa sangat jijik terhadap Tabir dan cucunya."Sayang sekali kalau dibuang, kasih ayahku saja," jawab Nabila setelah berpikir sejenak.Kemudian, seolah-olah teringat sesuatu, dia men
"Sialan, ini harimau betina tahu! Dia itu cuma terlalu suka main-main. Jangan kira semua orang nggak tahu malu seperti kamu!" Arum buru-buru menarik kembali celananya.Mengingat kejadian Tirta melihat kemaluannya selama belasan menit waktu melakukan pijat, wajah Arum menjadi merah padam."Memangnya kenapa kalau nggak tahu malu? Kak Arum, kamu nggak tahu ya? Kalau pria terlalu jujur, habislah hidupnya. Bahkan tangan wanita saja nggak berani sentuh. Justru semakin nggak tahu malu, wanita akan semakin suka."Tirta malah merasa bangga karena tidak tahu malu. Tirta menggendong harimau kecil itu dan mulai mencubitnya dengan gemas."Cih, teori macam apa itu?" Arum mendengus, lalu berbalik masuk ke dapur.Meski sifat Tirta sangat tidak tahu malu, Arum malah tidak bisa membencinya. Bahkan, dia merasa santai saat berinteraksi dengan Tirta."Oh ya, Tirta, aku sudah hangatkan kemaluan sapi yang nggak kamu makan tadi pagi. Nanti kamu habiskan saja, jangan sia-siakan!" ujar Arum sambil mengeluarkan
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn