Dipo dan teman-temannya merasa percaya diri karena berpikir ada Budi yang mendukung mereka. Dengan sikap seenaknya, Dipo bahkan berjalan mendekati Tirta dan hendak menepuk wajahnya dengan angkuh.Namun Dipo tidak sadar bahwa setelah perkataannya itu, wajah Budi, Joshua, Toby, dan Hendrik menjadi pucat ketakutan."Siapa yang bebaskan kalian?" tanya Tirta dengan nada dingin begitu melihat Dipo dan yang lain keluar dari tahanan. Segera, dia menepis tangan Dipo yang hendak menepuk wajahnya."Aduh!" Dipo sontak merasa seperti tangannya dipukul palu. Dia meringis kesakitan dan emosi karena Tirta yang dia anggap sudah terpojok malah berani melawannya.Dipo memaki, "Sialan! Kamu sudah bosan hidup ya? Hari ini, aku akan menghajarmu sampai ...."Namun sebelum Dipo bisa berbuat apa-apa, Budi melangkah cepat dan menendangnya keras-keras. Dia memarahi, "Kurang ajar! Siapa yang kasih kamu nyali untuk bersikap seperti ini pada Tirta? Aku rasa, kamulah yang sudah bosan hidup. Cepat berlutut dan minta
Setelah menyadari kesalahan mereka, Dipo dan yang lainnya segera berlutut di depan Tirta dan memohon ampun. Salah satu dari mereka berujar, "Tirta, kami salah. Tolong maafkan kami ...."Namun, Tirta hanya menanggapi dengan dingin, "Sudah terlambat untuk minta maaf sekarang. Aku memang orang biasa, tapi nggak akan pernah lupa balas budi dan juga dendam!"Tanpa memberi mereka kesempatan berbicara lebih lanjut, Tirta mengabaikan mereka dan berjalan ke arah Mauri dan lainnya.Tirta tahu bahwa Joshua pasti tidak akan melepaskan Dipo dan yang lainnya begitu saja, jadi dia tidak perlu repot-repot.Mauri terlihat baik-baik saja. Sebaliknya, dia sangat kaget. Tirta pun menghela napas sebelum memperkenalkan sambil tersenyum, "Pak Mauri, perkenalkan ini adalah cucu Pak Saba, Nona Shinta, dan ini adalah Pak Lutfi dari Badan Perlindungan Negara."Mauri segera memberi salam dengan penuh hormat, "Oh. Senang bertemu denganmu, Nona Shinta dan Pak Lutfi ....""Pak Mauri, kamu nggak perlu sungkan. Kamu a
"Minta maaf? Huh! Kalau minta maaf ada gunanya, apa gunanya polisi? Kalau minta maaf ada gunanya, untuk apa negara menetapkan begitu banyak aturan? Kamu rasa kamu bisa bertindak semena-mena dan menindas orang karena dirimu pemimpin ya?"Tirta mendengus dan memaki habis-habisan. Dia menendang Amal hingga Amal berguling-guling di lantai.Amal kesakitan, seolah-olah tubuhnya ditabrak oleh kereta api. Akan tetapi, dia tidak berani menunjukkan amarah ataupun kebenciannya. Dia buru-buru bangkit, menunjuk Joshua serta orang lainnya."Maaf, tapi dengarkan dulu penjelasanku. Sebenarnya bukan aku yang ingin menyulitkan Pak Mauri. Pak Joshua yang menghasutku melakukan seperti ini. Aku sangat puas dengan kinerja Pak Mauri. Bahkan ... aku ingin berteman dengannya!"Usai melontarkan kalimat terakhir, Amal tersenyum menyanjung. Namun, karena merasa bersalah, senyumannya itu terlihat sangat jelek.Niko tidak tahan lagi. Dia maju dan membentak Amal, "Tutup mulut busukmu itu! Kalau kamu ingin berteman d
"Ka ... kamu .... Argh!" Pertahanan mental Amal akhirnya hancur setelah mendengar ejekan Mauri. Seluruh wajahnya tampak merah seperti terkena air panas. Tiba-tiba, dia muntah darah dan jatuh pingsan."Bagus! Bagus sekali! Kalau bisa, aku mau lihat dia mati karena terlalu emosi!" Para petugas polisi bersorak melihat hasil ini. Amarah mereka seolah-olah terlampiaskan.Saat ini, Joshua, Toby, dan Hendrik telah menghajar Dipo dan lainnya hingga babak belur. Selagi Tirta memberi pelajaran kepada Amal, mereka menelepon keluarga masing-masing untuk melapor semua yang terjadi.Dalam waktu singkat, mereka pun mendapat solusi untuk mengatasi masalah ini. Mereka tersenyum sambil berkata kepada Tirta dengan hati-hati."Tirta, kami memang salah karena melakukan semua ini. Kami nggak minta kamu mengampuni kami. Tapi, karena kami sudah bertobat, tolong beri kami kesempatan untuk hidup. Kami akan menuruti semua permintaanmu."Keluarga Dinata bisa membuat keluarga mereka binasa dalam sekejap. Sekalipun
Pada akhirnya, suasana di kantor polisi menjadi sunyi senyap. Dari ibu kota provinsi, yang tersisa hanya Amal yang tidak sadarkan diri dan Budi yang mengikuti di belakang Tirta tanpa mengatakan apa pun sejak tadi.Lutfi menyuruh pengawalnya untuk mengangkat Amal ke tumpukan sampah yang tidak jauh dari sana. Sebentar lagi, Amal akan melewati sisa hidupnya di penjara. Itu artinya, pemecatannya terhadap Mauri tidak berlaku. Mauri tentu ingin melanjutkan tugasnya supaya rakyat bisa hidup damai."Ngapain kamu masih mengikutiku? Pulang sana!" ucap Tirta sambil mengernyit saat melihat Budi masih berdiri di tempatnya. Sebelum ini, Tirta melihat Budi bermain tangan dengan Saad. Makanya, sikap Tirta sangat dingin."Tirta, begini, Pak Chandra berpesan kepadaku. Sebelum dia datang, aku harus terus mengikutimu dan memenuhi semua keinginanmu. Jangan usir aku," sahut Budi dengan tersenyum. Dia tidak berani bersikap lalai sedikit pun."Suruh dia nggak usah datang lagi. Aku nggak ingin melihatnya. Kamu
"Tirta, karena Pak Saba ada di rumahmu, gimana kalau kamu bawa aku menemuinya?" usul Saad."Ya. Kami sangat mengagumi Pak Saba. Suatu kehormatan bagi kami kalau bisa menemuinya," ujar Mauri yang maju dengan wajah tersenyum.Begitu memikirkan mereka punya kesempatan bertemu Saba, mereka pun merasa bangga karena punya kenalan seperti Tirta."Nggak masalah. Aku memang ingin membawa kalian bertemu Pak Saba. Kebetulan, sekarang sudah jam makan. Nanti kita makan bersama saja." Tirta mengangguk sambil tersenyum."Ayo." Shinta mengedipkan matanya dengan nakal. "Aku sudah kelaparan. Kamu harus bawa kami makan hidangan khas tempat ini!""Benar. Sekarang kamu kaya raya. Kamu harus traktir kami makan sepuasnya. Kamu nggak keberatan, 'kan?" canda Lutfi."Haha. Pesan saja sepuasnya. Aku yang bayar!" Tirta menyetujuinya dengan senang hati.....Ketika Tirta dan lainnya hendak kembali ke rumah baru, ruang tamu keluarga Yohardi justru sepi. Jelas-jelas Tabir berulang tahun yang ke-80, tetapi suasana ti
"Hais, pamanmu nggak mungkin bohong padaku." Tabir menggeleng dan mengembuskan napas panjang. "Bukan cuma itu. Baru-baru ini kamu ada dengar soal kerja sama antara Keluarga Manggala dengan Keluarga Purnomo, 'kan?""Ya, aku tahu soal itu. Keluarga Purnomo punya aset senilai ratusan triliun. Keluarga Manggala beruntung sekali bisa kerja sama dengan mereka. Secara logika, Keluarga Purnomo nggak mungkin tertarik dengan aset Keluarga Manggala," sahut Aaris.Tiba-tiba, Aaris menyadari sesuatu. Dia bertanya dengan kaget, "Kakek, maksudmu Keluarga Purnomo bisa kerja sama dengan Keluarga Manggala karena Tirta?""Ya, pamanmu yang bilang. Baru-baru ini, Keluarga Purnomo mengadakan ekspo batu giok di kota. Tirta mewakili Keluarga Manggala dan bersaing dengan Sandy yang diundang oleh Putro. Alhasil, Tirta menang 3 ronde!""Yang paling mengerikan adalah ketiga batu yang dipilih oleh Tirta berasal dari zona kelas rendah. Sementara itu, yang dipilih oleh Sandy berasal dari zona kelas atas. Pada akhirn
Saba tentu tahu alasan mereka terkejut. Setelah melakukan akupunktur dan minum obat buatan Tirta, Saba merasa sekujur tubuhnya sangat segar. Langkahnya juga terasa ringan. Dia tidak terlihat seperti pria tua 100 tahun lagi. Dia dipenuhi energi seperti anak muda."Hehe. Kenapa? Aku nggak mirip dengan yang ada di foto?" Suasana hati Saba sedang baik sehingga dia bercanda seperti ini."Mirip .... Hanya saja, kamu terlihat sangat muda.""Ada perbedaan besar dengan yang ada di foto. Kami jadi nggak yakin ...."Saad dan Mauri bertatapan. Mereka tidak mengerti kenapa Saba menjadi terlihat lebih muda. Namun, reaksi Shinta membuat mereka paham apa yang terjadi.Setelah melihat kakeknya, Shinta mengamati dari atas hingga bawah dengan terkejut. "Kakek, kamu jadi sangat muda. Ilmu medis Kak Tirta memang luar biasa! Jangankan hidup 7 sampai 8 tahun, aku rasa kamu masih bisa hidup belasan tahun!""Tentu saja! Ilmu medis guruku tak ada tandingannya!" seru Bima dengan bangga. Setelah minum obat buatan
"Kasih aku kunci vilamu. Kamu sudah boleh pergi jalan-jalan. Setelah Tirta pergi, kamu baru balik," ucap Aiko dengan gembira melihat Tirta keluar dari kantor polisi."Oh, ya sudah. Ini kuncinya ...." Entah mengapa, Naura merasa tidak nyaman melihat Aiko gembira seperti ini. Jelas-jelas dia mengenal Tirta duluan, tetapi malah Aiko yang punya hubungan istimewa dengan Tirta.Ketika hendak menyerahkan kunci kepada Aiko, Naura tiba-tiba membulatkan tekadnya. Dia lantas menyimpan kuncinya kembali ke saku, lalu berkata tanpa berani menatap Aiko, "Eh, aku baru ingat, ada barang penting yang ketinggalan di vila. Aku antar kamu saja dulu. Setelah ambil barangku, aku baru pergi.""Ya sudah, kita sama-sama saja. Aku kasih tahu Tirta dulu. Aku suruh dia ikut mobilmu dari belakang." Aiko langsung mengangguk menyetujui.Setelah turun dari mobil, Aiko menjelaskan kepada Tirta, lalu kembali ke mobil Naura. Dengan wajah memerah, dia berkata kepada Naura, "Ayo, sudah boleh jalan."....Tidak sampai sejam
Setelah mengantar Mauri dan lainnya, Saad mengajak Tirta untuk makan bersama di kota. Akan tetapi, Tirta menolak dengan lembut karena masih punya urusan lain. Kemudian, dia langsung pergi."Tirta, kami pergi dulu. Sampai jumpa lagi!" ujar Naura. Aiko masih ingin bersama Tirta, tetapi Naura malah menariknya ke mobil."Naura, aku dan Tirta mau ke vilamu nanti. Kenapa kamu malah menarikku?" keluh Aiko dengan jengkel setelah masuk ke mobil."Kakak sepupuku yang bodoh, Tirta saja menolak ajakan ayahku. Pasti karena ada Susanti. Dia pasti bakal ke vila karena sudah janji. Kalau kamu menunggu dia dengan riasan secantik ini, Susanti pasti bakal curiga," jelas Naura dengan ekspresi cemas."Benar juga. Kenapa aku nggak kepikiran ya? Ya sudah, terima kasih," ujar Aiko dengan penuh rasa syukur setelah memahaminya."Hais, aku sudah bosan dengar kamu bilang terima kasih. Aku cuma mau kamu kembali seperti dulu. Jangan buat aku cemas terus." Naura mengernyit sambil mengembuskan napas panjang.....Di
Setelah mengobrol beberapa saat lagi, terlihat dua orang polisi membawa seorang wanita berambut pirang dari koridor. Wajahnya cantik, kulitnya putih, bokongnya sintal, pinggangnya ramping.Meskipun kedua tangannya diborgol yang menunjukkan dia adalah tahanan, aura yang terpancar dari sosoknya terlihat jauh berbeda dari orang biasa. Dia tidak lain adalah Alicia, anggota inti Black Gloves yang dipenjarakan oleh Tirta dan Susanti.Meskipun sudah lama tidak bertemu, wanita berambut pirang dari Negara Martim ini langsung mengenali Tirta. Tatapannya dipenuhi kebencian dan kenakalan. "Bocah, akhirnya kita ketemu lagi!""Ya, kita ketemu lagi. Dasar wanita tua, dilihat dari matamu, sepertinya kamu ingin melahapku?" sapa Tirta sambil maju dan tersenyum ramah. Jika tidak ada orang di sini, dia pasti sudah menendang bokong Alicia."Melahapmu? Benar juga, soalnya darahmu lezat sekali. Aku nggak bakal pernah lupa rasanya. Aku memang ingin melahapmu!" sahut Alicia dengan ekspresi rakus sambil menjila
"Apa itu, Pak? Katakan saja. Kalau ada masalah, bilang saja. Kami bisa membantumu mengatasinya," tanya Tirta yang merasa agak penasaran."Ya. Apa kamu butuh bantuan kami untuk menjaga keluargamu? Kalau benar begitu, serahkan saja kepadaku. Aku pasti akan mengatur semuanya dengan baik," ujar Saad sambil tersenyum.Ketika melihat Mauri akan pergi ke ibu kota provinsi karena dipromosikan, Saad merasa agak iri. Namun, dia tahu dirinya cepat atau lambat juga akan mendapat promosi, asalkan berhubungan baik dengan Tirta. Kalaupun tidak, tetap tidak akan ada yang menyentuhnya karena hubungannya dengan Tirta."Bukan, keluargaku sudah kuatur dengan baik. Masalah ini berhubungan dengan Susanti," sahut Mauri sambil menggeleng."Berhubungan denganku? Apa aku membuat kesalahan?" tanya Susanti dengan heran."Kamu berpikir terlalu jauh." Mauri menggeleng dan menjelaskan, "Menurut rencana awal yang disepakati, setelah aku pergi, Byakta akan mengambil alih jabatanku. Tapi, kemarin Byakta membuat kesalah
Aiko mendongak sambil menatap Tirta dengan penuh cinta. Ketika melihat bibir ranum yang menggoda itu, hati Tirta pun bergetar.Tirta sontak merangkul Aiko dan hendak menciumnya. Namun, Naura yang berdiri di samping buru-buru menghentikan, "Hei, kalian jangan keterlaluan! Kalau mau mesra-mesraan, tunggu setelah Pak Mauri pergi. Aku nggak mau jadi nyamuk di sini!"Entah mengapa, ketika mengatakan ini, hati Naura terasa agak getir.Aiko tidak seperti Tirta yang begitu tidak tahu malu. Dia melirik para polisi wanita itu, lalu mendorong Tirta dengan agak kecewa sekaligus manja. "Sudahlah, ada banyak orang di sini. Kalau kamu punya waktu, kita ke vila Naura saja nanti."Untungnya, ada mobil yang menghalangi mereka. Para polisi wanita itu pun tidak bisa melihat apa yang dilakukan Tirta dan Aiko."Tentu saja aku punya waktu," timpal Tirta setelah berpikir sesaat. "Setelah mengantar Pak Mauri, kita sama-sama ke sana. Tapi, sore nanti cucu Pak Saba punya urusan denganku. Aku harus pulang sore na
Tirta tidak menyangka para polisi wanita ini akan begitu berani. Mereka bahkan menyindirnya."Hehe. Aku pria baik-baik. Aku nggak ngerti apa yang kalian katakan. Kalau sampai Bu Susanti dengar, kalian bakal dihajar lho! Hati-hati!" ancam Tirta sambil bercanda."Tenang saja. Kami cuma menggodamu karena kamu masih muda.""Kami tahu batasan kok. Kami nggak bakal menyebarkan hal seperti ini kepada orang lain."Para polisi wanita itu tertawa makin gembira. Tatapan mereka saat menatap Tirta pun seperti menatap adik sendiri.Tirta sampai merinding ditatap mereka. Dia curiga apakah wanita-wanita ini juga punya mata tembus pandang? Pada akhirnya, dia beralasan harus menelepon Mauri. Kemudian, dia menunggu di mobil.Tidak berselang lama, sebuah mobil mewah berhenti di depan kantor polisi. Begitu pintu dibuka, terlihat dua orang wanita bertubuh tinggi dan ramping berjalan turun.Yang berdiri di sebelah kiri memakai terusan ketat berwarna hijau muda. Tubuhnya yang seksi itu terlihat sangat sempurn
Arum menggigit bibirnya dan mengerlingkan matanya dengan agak kesal."Cih! Aku rasa Bu Yanti punya maksud lain denganmu! Kamu cantik, putih. Kalau dia nggak menyukaimu, mana mungkin setiap hari mencarimu!""Makin kamu melindunginya, makin aku merasa kalian punya hubungan istimewa! Lihat saja kakimu saat jalan. Sini kuperiksa, jangan-jangan kalian melakukan sesuatu yang tak senonoh semalam!" Melati bicara panjang lebar. Usai berbicara, dia mendekati Arum untuk menggodanya."Kak, jangan sembarangan! Kalau nggak, aku nggak bakal sungkan-sungkan lagi ya!" Arum tidak berani membiarkan Melati memeriksanya. Dia buru-buru melindungi diri.Setelah bercanda beberapa saat, Arum berhasil melindungi rahasianya. Selain itu, Melati memberitahunya apa yang terjadi pada Yanti kemarin."Rupanya Bu Yanti nggak sengaja terjatuh dan bajunya robek. Pantas saja, bagian bawah tubuhnya nggak apa-apa. Dia juga pakai baju Tirta. Sepertinya aku berpikir terlalu jauh ....""Sepertinya aku harus mencari kesempatan
"Arum, kenapa tiba-tiba diam? Pikirin apa?" tanya Yanti sambil menggoyangkan tangannya di depan Arum saat melihat Arum bengong."Oh, bukan apa-apa. Aku harus pulang ke klinik untuk masak. Kalau kamu malas masak, datang saja ke klinik untuk makan," sahut Arum yang tersadar dari lamunannya. Dia turun dari ranjang dan merapikan diri."Langit baru terang lho. Sepertinya kamu nggak tidur nyenyak karena tidur seranjang denganku. Otakmu jadi lemot," ujar Yanti yang merasa bersalah. "Aku nggak pergi ke klinik deh. Nanti aku masak yang simpel saja. Tapi, kalau kamu punya waktu setelah makan, temani aku ke kota untuk beli anjing. Aku mau beli dua.""Kalau nggak punya waktu, ya sudah. Kasih tahu saja aku tempatnya. Aku pergi sendiri nanti. Kamu juga nggak usah sempit-sempitan denganku lagi malam ini.""Bu, seharusnya aku punya waktu. Aku balik ke klinik dulu untuk masak. Setelah itu, aku baru kemari," sahut Arum sambil mengangguk setelah berpikir sejenak. Setelah semuanya beres, dia pun meninggal
"Nggak bisa, aku nggak boleh terus mengintip .... Ini nggak bermoral. Aku harus berpura-pura nggak tahu apa-apa dan tidur. Kalau nggak bisa tidur, tetap harus coba!" ucap Farida. Dia merasakan detak jantungnya makin cepat.Farida memaksakan diri untuk menarik pandangan dari vila. Tubuhnya terasa kaku saat dia berbaring di kursi mobil yang sudah disandarkan sepenuhnya.Farida mencoba memejamkan mata dan berharap bisa tertidur. Namun sayangnya, mobilnya diparkir tepat di dekat gerbang vila. Itu hanya sekitar 20 meter dari tempat Tirta dan Susanti bersenang-senang.Di malam yang sunyi senyap, suara apa pun terdengar makin jelas. Saat mereka makin intens, Farida tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Dia terus berganti posisi di tempat duduknya, tapi justru makin merasa gelisah.Farida tidak tahu dari mana kegelisahan ini berasal atau kapan perasaan ini akan mereda. Bahkan setelah Tirta dan Susanti meninggalkan vila untuk kembali ke klinik, kegelisahan itu tetap ada.Hingga sekitar pukul 3