Kemudian, Tirta tersenyum puas. Dia menyuruh Ayu memejamkan matanya lagi. Namun, kali ini Ayu tidak memejamkan mata sepenuhnya.Ayu diam-diam mengintip. Dia tidak percaya Tirta bisa langsung berpindah dari kamarnya ke kamar Bella. Hanya saja, apa yang terjadi selanjutnya membuat Ayu tercengang. Ayu melihat Tirta melafalkan sesuatu, lalu dia menghilang dari pandangan Ayu.Ayu berseru kaget, "Tirta ... benar-benar bisa sulap! Apa dia bisa melakukannya setelah aku cium bagian itu? Ajaib sekali!"Mendengar ucapan Ayu, Tirta yang sudah menggunakan Teknik Menghilang merasa lucu. Tirta menunggu sampai Ayu tertidur.Sesudah itu, Tirta baru membuka pintu dan kembali ke kamar Bella. Kala ini, Bella belum bangun. Wajahnya masih merona.Tirta berhasrat lagi setelah mengamati Bella. Dia menelan ludah, lalu mulai beraksi lagi sambil berujar, "Aku mau lanjut gunakan Teknik Pasangan. Ini juga untuk meningkatkan kekuatanku!""Tirta, kamu mau lanjut lagi? Sudah pagi ... jangan macam-macam ...," keluh Be
Setelah memakai baju, Tirta mencium Bella dan memuji, "Bu Bella, kamu memang istri yang perhatian. Ke depannya aku pasti sangat bahagia kalau hidup bersamamu.""Dasar gombal! Sudahlah, cepat gosok gigi dan cuci muka," balas Bella. Biarpun terlihat tidak peduli, sebenarnya dia sangat senang. Bella tersenyum lebar.....Setelah selesai mandi, Tirta dan Bella pergi ke kamar Ayu. Mereka mengajak Ayu sarapan. Bella baru tahu hari ini Darwan keluar untuk mengurus bisnis setelah melihat ponselnya. Hal ini membuat Bella lebih rileks.Saat berjalan ke ruang makan, Bella bertanya kepada Ayu sambil tersenyum, "Bibi Ayu, apa semalam kamu bisa tidur nyenyak?"Ayu yang merasa malu melirik Tirta sekilas dan menyahut dengan gugup, "Semalam aku bisa tidur dengan nyenyak. Bu Bella, terima kasih atas perhatianmu. Bagaimana dengan kamu dan Tirta? Dia nggak tindas kamu, 'kan?"Selesai bicara, Ayu baru menyadari ucapannya kurang pantas. Wajah Bella memerah, tetapi dia ingin meminta bantuan Ayu untuk memberi
Melihat respons Camila, tentu saja Tirta bisa menebak apa yang terjadi. Dia melirik Simon dan bertanya, "Pak Simon, seharusnya kamu yang bantu dia tulis, 'kan?"Simon menjawab, "Tirta, memang aku yang tulis. Semalam aku lihat dia nggak kuat lagi, jadi aku bantu dia karena nggak tega. Bagaimanapun, aku juga menyinggungmu. Tentu saja aku harus bertanggung jawab. Makanya ...."Suara Simon makin kecil. Tirta tidak bermaksud menyalahkan Simon. Dia menghela napas dan berkata dengan tulus, "Pak Simon, kamu nggak usah jelaskan lagi. Aku tahu kamu suka dia."Tirta meneruskan, "Aku juga bisa memahami tindakanmu. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku akan bertindak seperti kamu. Tapi, wanita ini benar-benar nggak cocok dijadikan istri. Aku sarankan Pak Simon pertimbangkan hubungan kalian lagi."Sebelum Simon menanggapi perkataan Tirta, Camila mendengus dan menegur, "Aku dan Simon saling mencintai. Kamu itu cuma orang luar, sebaiknya jangan ikut campur urusan kami."Kemudian, Camila menarik Simon berja
Simon menambahkan, "Kamu boleh minta kompensasi apa pun. Aku pasti akan memenuhinya."Mendengar ucapan Simon, wajah Camila menjadi tegang. Dia langsung bersandar di pelukan Simon dan memelas, "Simon, kamu pasti bercanda, 'kan? Ini nggak lucu, jangan takut-takuti aku, ya?"Simon mendorong Camila dengan pelan dan menyahut, "Camila, aku nggak bercanda. Sampai sekarang kamu nggak tahu kesalahanmu. Kamu benar-benar menyedihkan."Simon meneruskan, "Kamu punya nomor teleponku. Setelah memikirkan kompensasi yang kamu inginkan, kamu bisa hubungi aku kapan saja. Jangan salahkan aku terlalu kejam, aku juga terpaksa. Kalau terus bersama, kita berdua harus menanggung konsekuensi yang berat."Selesai bicara, Simon tetap mengantar Camila masuk ke mobil meski merasa tidak rela. Dia berpesan kepada sopir, "Antar Camila pulang ke kediaman Keluarga Arshad. Nanti aku naik taksi ke bandara, aku mau langsung pulang ke ibu kota. Kamu nggak usah pedulikan aku.""Oke, Tuan Simon," sahut sopir. Kemudian, dia me
Siapa sangka, Bella menyipitkan matanya sembari mengancam saat melihat ekspresi Tirta yang tidak beres, "Tirta, apa kamu mau pindah ke sini? Dengarkan baik-baik, kalau kamu berani menolak, aku hajar kamu!"Tirta merasa gugup. Dia belum menemukan alasan yang tepat untuk menolak Bella. Tirta berkata, "Aku ... tentu saja aku mau, tapi ...."Situasi sekarang cukup berbahaya bagi Tirta. Dia tidak boleh membocorkan dirinya mempunyai banyak kekasih.Bella mendekati Tirta dan mendesak, "Apa? Cepat bilang!"Tirta menyahut, "Tapi, sekarang kita belum menikah. Kalau aku langsung pindah ke kediaman Keluarga Purnomo, takutnya akan memengaruhi reputasi Bu Bella."Bella mencubit Tirta dan menegur, "Kamu nggak usah banyak alasan! Semalam kamu nggak bilang begitu! Lagi pula, kabar pertunangan kita sudah tersebar. Dengan status kita berdua, siapa berani komentar biarpun kamu pindah ke sini?"Tirta mencari alasan lain, dia menanggapi, "Aku ... Bu Bella, sebenarnya aku agak konservatif. Aku merasa seperti
Sebuah mobil Mercedes melaju di jalan tol. Camila yang duduk di kursi belakang tampak putus asa. Bahkan, dia tidak sadar ponselnya berdering.Saat ponselnya berdering ketiga kali, Camila baru menjawab panggilan telepon. Ibunya Camila bertanya, "Camila, kenapa kamu nggak jawab panggilan telepon dariku? Ibu mau tanya, bukannya kemarin Simon sudah beri tahu kakekmu untuk biarkan kamu yang memimpin Keluarga Arshad?"Ibunya Camila meneruskan, "Tapi, tadi aku baru mendapatkan kabar. Katanya Simon berubah pikiran lagi. Dia meminta Bella yang memimpin Keluarga Arshad. Apa kamu membuat Simon marah?"Ibunya Camila bernama Davina. Camila berucap sambil menangis, "Bu, aku sudah putus dengan Simon .... Dia mencampakkanku!"Davina yang terkejut menimpali, "Camila, kenapa ... Simon tiba-tiba putus denganmu? Sebenarnya apa yang terjadi? Jangan menangis, kamu ceritakan pada Ibu dulu. Biar Ibu bantu kamu pikirkan cara. Siapa tahu kamu bisa mendapatkan Simon kembali."Camila mengomel, "Bu, ini salah Kak
Setengah jam kemudian, Bella, Tirta, dan Ayu sampai di rumah sakit pusat ibu kota provinsi. Ini adalah rumah sakit terbaik di ibu kota provinsi. Setiap hari, banyak pasien yang datang berobat di rumah sakit ini.Sebelum masuk ke rumah sakit, Tirta tiba-tiba mendengar suara seorang pria yang aneh. "Kak Fasahat, menurutmu ucapan Bryan benar, nggak? Naushad itu sudah mencapai tingkat semi abadi dan termasuk master terkenal di dunia misterius. Mana mungkin dia dihabisi oleh pemuda dari dunia fana? Ini benar-benar konyol!"Tirta mengernyit dan menghentikan langkahnya. Dia diam-diam melihat ke arah pria yang berbicara tadi. Pria itu berusia sekitar 28 tahun. Tubuhnya kekar dan cara berjalannya sangat tenang.Tirta melihat dengan mata tembus pandang. Dia bisa merasakan pria itu menyimpan energi berwarna kuning di bagian perutnya.Seharusnya pria itu juga merupakan pesilat kuno yang berasal dari dunia misterius. Tirta merasakan kekuatan pria itu masih kalah dari Bryan.Pria berusia sekitar 30
Fasahat menambahkan, "Jangan sampai omonganmu didengar pesilat kuno lain. Kalau Guru tahu, dia pasti akan menyalahkan kita. Ke depannya, jangan ungkit hal ini lagi!"Lior langsung tersenyum canggung dan mengakui kesalahannya, "Iya. Aku memang salah, Kak Fasahat. Ke depannya aku nggak akan bicara sembarangan lagi."Tirta mendengar percakapan mereka dengan jelas dan melihat mereka berjalan masuk ke rumah sakit. Tirta bergumam, "Turnamen bela diri ... mereka juga pesilat kuno dari dunia misterius. Sepertinya, turnamen bela diri yang mereka bicarakan diikuti oleh pesilat kuno dari dunia misterius.""Aku sudah berjanji kepada Genta untuk bantu dia cari 10 ribu pesilat kuno supaya bisa menyerap energi mereka. Mungkin ini kesempatan bagus. Aku harus cari cara untuk ikuti turnamen bela diri ini sekalian cari tahu keberadaan Bryan. Aku harus habisi dia," lanjut Tirta.Tirta sedang memikirkan cara untuk mendekati Fasahat dan Lior. Dia ingin mencari tahu alamat turnamen bela diri dan keberadaan B
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila
Saat itu, hati Tirta dipenuhi kebingungan dan detak jantungnya juga tak terkendali. Meskipun dada Marila datar, dia tetaplah seorang wanita!Perut putih mulusnya datar, kulitnya sehalus giok, ekspresinya yang malu-malu tampak menggoda. Semuanya membuat hati Tirta bergetar tanpa bisa dikendalikan!"Pak Tirta, tentu saja maksudku ... maksudku ...." Melihat Tirta hanya bengong tanpa melakukan apa-apa, bahkan menatapnya dengan heran, wajah Marila semakin merah. Namun, dia benar-benar malu untuk mengatakan permintaannya secara langsung.Jadi, dia hanya melirik pelan ke arah dadanya, berharap Tirta bisa mengerti maksudnya."Bu Marila, kamu ingin aku bantu ... bantu ... apa ya?" Tirta salah paham dan cukup kaget. Pikirannya mulai liar. Bukannya Marila itu tipe yang kalem? Masa iya wanita ini memintanya memijat dadanya? Mungkin dia merasa kurang nyaman jika melakukannya sendiri?"Benar, Pak Tirta. Aku memang ingin kamu bantu aku .... Tolong segera dimulai ya ...." Melihat Tirta tampak ragu, Ma
"Ada apa sih, Kak? Kok suaramu kayak lagi ngumpet-ngumpet gitu? Jangan-jangan Paman nggak dengarin nasihat Kakek lagi ya?" Suara ceria Shinta terdengar dari seberang telepon, dengan nada penuh rasa penasaran."Bukan soal Paman ...." Marila menahan rasa gugup dan malu dalam dirinya, lalu berbisik pelan, "Aku cuma mau tanya, waktu itu gimana caranya kamu buat Pak Tirta bantuin kamu besarin payudara?""Apa? Kakak bicara apa sih? Suaramu kecil banget, aku nggak dengar jelas ...." Shinta terdengar makin bingung.Wajah Marila pun langsung merah padam. Dia terpaksa mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras, meskipun merasa malu. "Aku bilang, aku mau tanya, gimana caranya kamu bisa buat Pak Tirta bantu kamu besarin payudara ....""Hahaha! Wah, kamu ini ya! Aku benar-benar nggak nyangka! Waktu itu kamu marahin aku habis-habisan, sekarang kamu malah mau besarin juga!""Yah ... sebenarnya sih aku bisa saja kasih tahu, tapi kamu harus minta maaf dulu sama aku. Kalau suasana hatiku baik, aku bi
Ternyata setelah Shinta kembali ke ibu kota, Marila mulai menyadari ada yang aneh dengan perubahan di tubuh adiknya itu, khususnya di area payudara.Meskipun biasanya tertutupi pakaian dan tidak mudah terlihat oleh orang luar, Marila dan Shinta adalah kakak beradik. Tentu saja mereka kerap bersentuhan secara fisik.Suatu kali, Marila tanpa sengaja menyentuh tubuh Shinta dan terkejut mendapati payudara adiknya yang dulu rata telah berubah menjadi seperti buah pir besar!Karena itu, Marila curiga bahwa Shinta diam-diam melakukan operasi pembesaran payudara. Dia langsung memarahi sang adik habis-habisan.Shinta yang masih berjiwa muda dan sensitif, tentu tidak terima dituduh macam-macam tanpa alasan. Akhirnya, mereka bertengkar. Dalam perdebatan itu, Shinta keceplosan.Dari situ, Marila baru tahu bahwa Tirta memiliki kemampuan medis yang begitu ajaib! Melihat adiknya kini justru lebih "berisi" dibanding dirinya, Marila langsung merasa tertekan dan minder.Dia pun bertekad, kalau suatu har
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr
Namun, tentu saja semua pertanyaan itu tidak diucapkan oleh Selina. Yang dia ingin tahu hanyalah keberadaan Tirta."Bu Selina, jangan khawatir! Pak Tirta baik-baik saja. Tapi, sepertinya Bu Susanti syok berat. Tadi Pak Tirta sudah membawa Bu Susanti naik helikopter untuk kembali ke kota dan istirahat dulu.""Sebelum pergi, beliau secara khusus memintaku untuk menunggumu di sini. Tunggu sebentar ya. Setelah menjemput orang tua Bu Susanti, aku akan mengajak kalian semua menemui Pak Tirta!"Idris yang jeli dalam mengamati bisa menangkap nada penuh kekhawatiran dari suara Selina. Dia pun bisa menebak bahwa hubungan antara Selina dan Tirta pasti tidak sederhana, makanya dia bersikap semakin sopan dan ramah.Tak lama kemudian, dia memerintahkan Vendi dan Sutomo untuk pergi ke Desa Benad, menjemput Anton dan Yuli."Baiklah, aku akan menunggu di sini." Mendengar ucapan Idris, Selina pun merasa lebih lega dan mengangguk setuju.Dalam hati, Selina berpikir, 'Ternyata Tirta masih pikirin aku, sam
Dia bersikeras ingin bertemu dengan Tirta, bahkan tidak peduli pada Idris. Tidak peduli bagaimana Sutomo dan Vendi mencoba menghentikannya, dia tetap bersikeras ingin masuk ke Desa Benad."Apa sih yang dia omongin? Dewa? Mana ada dewa di dunia ini ...." Idris melihat si sopir paruh baya melantur, jadi langsung tidak menggubrisnya dan merasa muak.Dia ingin menyuruh Sutomo dan Vendi untuk mengusir si sopir secara paksa, tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Bukankah barusan Sutomo dan Vendi juga bilang Tirta itu seperti dewa?Menyadari hal itu, Idris langsung melupakan perbedaan status dan melangkah cepat ke arah sopir taksi itu, mencoba memastikan."Tunggu sebentar, Pak. Apa dewa yang kamu sebut itu adalah seorang pemuda? Rambutnya lurus ke atas, bajunya compang-camping?""Ini Pak Gubernur ya? Ya, benar, orang yang kumaksud memang masih muda. Tapi, bajunya sama sekali nggak sobek, rambutnya juga nggak berdiri seperti yang kamu bilang. Sepertinya kita nggak ngomongin orang yang s
"Ini ... ini nggak mungkin!"Ketika Idris sampai di gerbang Desa Benad dengan perasaan cemas dan gelisah, dia melihat pemandangan mengerikan. Puluhan tubuh bersimbah darah, bagian tubuh berserakan di mana-mana. Jantungnya seakan-akan berhenti sejenak karena terkejut!Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana cara Tirta menjatuhkan puluhan bawahan Hafiz dengan tangan kosong! Padahal, mereka semua memiliki senjata api!Yang lebih gila lagi, Tirta bahkan masih memeluk seseorang di dalam pelukannya saat itu! Jadi, apakah artinya dia menghabisi semua orang ini hanya dengan satu tangan? Itu benar-benar mustahil!"To ... tolong bunuh aku .... Kumohon, bunuh saja aku ...." Di tengah genangan darah, Bayu yang masih hidup melihat kedatangan Idris dan para bawahannya. Dia langsung menyeret tubuhnya yang penuh luka, berusaha merangkak mendekat. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hanya ingin mati demi bebas."Cepat! Kalian berdua hentikan pendarahannya! Aku harus tanya sendiri, apa yang
Tentu saja, Tirta tidak lupa menjelaskan asal mula kejadian tersebut, mengapa semua itu bisa terjadi. Dia juga sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanya membela diri, meskipun sedikit berlebihan."Oh, jadi memang begitu ya? Vendi, Sutomo, cepat pergi periksa, lihat apa masih ada yang selamat!"Mendengar penjelasan dari Tirta, Idris sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tirta bisa mengalahkan mereka seorang diri, bahkan membunuh puluhan anak buah Hafiz yang semuanya adalah preman berbahaya.Namun, karena mempertimbangkan Keluarga Dinata, Idris tidak memperlihatkan keraguannya secara langsung, melainkan segera memberi instruksi kepada dua pemuda yang bersamanya."Bu Marila, yang perlu kukatakan sudah kukatakan semua. Tolong bawa aku ke tempat yang tenang. Aku harus menenangkan kondisi Susanti.""Tentu saja, kalau nanti ada yang perlu kubantu atau butuh klarifikasi lebih lanjut, Pak Idris bisa langsung mencariku." Tirta bisa melihat dengan jelas bahwa Idris tidak sepenuhnya percaya padan