Smith menatap Paula, lalu bertanya dengan susah payah, "Paula? Kapan mau datang sama Martin?"Baru saja selesai berbicara, Smith mulai batuk hebat dan batuknya tak kunjung berhenti. Perawat yang panik, buru-buru memasangkan kembali alat bantu pernapasan padanya. Panggilan video itu pun terputus.Martin menatap Paula dengan wajah serius dan berkata, "Kalau kamu nggak pergi sekarang, mungkin kamu nggak akan pernah melihatnya lagi seumur hidup."Paula menoleh ke arah kamera secara refleks untuk melihat reaksi Darwin. Alis Darwin berkerut tajam. Dari segi perasaan pribadi, tentu saja dia tidak ingin Paula pergi. Namun dari sudut pandang Paula, jika Smith benar-benar kakeknya dan Paula tidak pergi untuk mengunjunginya terakhir kali, apakah Paula tidak akan menyesal seumur hidup?Melihat Paula terus menatap Darwin, Martin langsung memutuskan panggilan video dan menatap Paula dengan serius, "Ini urusan pribadimu. Kamu seharusnya buat keputusan sendiri.""Dalam keadaan nggak bisa melindungi di
Darwin mengatupkan bibirnya, lalu akhirnya memutuskan, "Aku temani dia ke sana.""Nggak bisa!" tolak Michelle tanpa ragu-ragu."Kenapa?" tanya Darwin dengan kebingungan."Pertama, masalahmu belum selesai di sini. Kalau Keluarga Bramasta tahu kamu pergi, entah apa lagi yang akan mereka lakukan. Kedua, identitas Paula nggak boleh sampai terekspos.""Kamu mungkin sudah tahu, Tuan Besar Tanadi mencari banyak orang di berbagai tempat untuk diakui sebagai cucunya. Tujuannya adalah untuk mengelabui semua mata-mata," jelas Michelle dengan cemas."Jadi, sebenarnya apa yang terjadi waktu itu?" tanya Darwin. Masalah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan Darwin tidak bisa menemukan jawaban pasti. Keluarga Tanadi dan Keluarga Fonda juga sangat tertutup tentang kejadian itu, sehingga Darwin kesulitan menemukan petunjuk."Paula sudah melupakan kejadian itu, kita nggak seharusnya mengungkitnya lagi. Semakin sedikit orang yang tahu, semakin aman dirinya. Mengerti?" ucap Michelle dengan tegas.
Setelah beberapa saat kemudian, Paula baru menerima pesan balasan Darwin.[ Nggak marah kok, cuma nggak rela. ]Hati Paula terasa hangat. Dia membalas sambil tersenyum.[ Tiga hari lagi pulang, kok. ][ Nggak ketemu sehari rasanya seperti tiga tahun. ][ Pak Darwin akhirnya sudah jago gombal. ]Melihat Martin telah selesai memindahkan kotak-kotak itu ke mobil, Paula menyuruhnya untuk duduk di sofa. Saat ini jarak waktu sebelum keberangkatan masih lama, berangkat tiga atau empat jam lagi juga masih sempat.Darwin membalas.[ Setiap kata yang kuucapkan itu tulus dari hati. ]Entah mengapa, semakin dekat waktu keberangkatan Paula, rasa gelisah dalam hati Darwin juga semakin kuat. Dia selalu merasa bahwa akan ada sesuatu yang berubah di antara mereka setelah kepergian Paula kali ini."Sudah, kalian bukan berpisah selamanya. Memangnya harus sampai segitunya?" Martin melambaikan tangan di depan Paula untuk memutus obrolannya dengan Darwin. Kebetulan Darwin juga sedang sibuk, jadi Paula pun a
Jadi, hanya Harry yang menjawab pertanyaan Paula, "Pak Darwin bilang kamu pergi ke Swiza untuk urusan bisnis, jadi dia suruh kami ikut untuk bantu-bantu."Begitu Harry selesai bicara, Tristan langsung menyerahkan sebuah dokumen. Paula membukanya dan ternyata isi dokumen itu memang merupakan sebuah proyek di Swiza. Harus diakui, persiapan Darwin cukup matang."Padahal kita nggak sedang mengembangkan pasar di sana. Kenapa Pak Darwin tiba-tiba menyuruhmu pergi ke tempat sejauh itu?" Harry agak kesal. Sekarang adalah masa-masa kritis untuk pengembangan proyek baru mereka, tetapi selalu saja ada kendala seperti ini yang mengganggu.Kapan anime impiannya bisa terwujud?"Apa pun yang diperintahkan atasan, kita ikuti saja. Anggap saja ini sebagai kesempatan untuk refreshing," ujar Paula yang merasa sedikit bersalah. Dia tahu betapa pentingnya proyek baru itu bagi Harry. Namun, akhir-akhir ini dia selalu terjebak dalam berbagai urusan sehingga kemajuan proyek sudah agak tertunda.Sekarang, kepe
"Ini aku." Saat Paula baru saja hendak mengeluarkan semprotan ladanya untuk melindungi diri, dia mendengar sebuah suara yang tidak asing. Selanjutnya, Paula jatuh ke dalam pelukan yang terasa akrab.Darwin memeluknya dengan erat, seakan-akan hendak menyatukan tubuh mereka. Dengan begitu, dia tidak perlu khawatir Paula tidak akan kembali lagi.Paula menengadahkan kepala dari pelukannya, lalu menatap dagu Darwin yang berkumis itu dengan matanya yang berkaca-kaca. Dengan hati yang terenyuh, dia bertanya, "Kamu sibuk sekali di sana, kenapa masih sempat pulang? Ada yang menemaniku di sini. Lagi pula, nggak ada bahaya kok."Meski berkata demikian, sudut bibir Paula tak kuasa menahan senyuman.Darwin menunduk memandangnya dengan penuh kasih sayang dan ketidakrelaan. Meski tidak mengucapkan sepatah kata pun, Paula seolah-olah bisa mendengar ribuan kata yang ingin diucapkan Darwin."Tenang saja, aku nggak akan ada masalah. Pulanglah. Cepat selesaikan urusan di sana dan kembali ke ibu kota untuk
Martin selalu mengatakan bahwa Paula bodoh, tetapi nyatanya ada seseorang yang lebih bodoh darinya. Winelli hanya tersenyum samar. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar seseorang mengatakan Darwin bodoh. Siapa yang tidak tahu bahwa Darwin adalah pengusaha paling cerdas di seluruh ibu kota?Setelah naik ke pesawat, Paula duduk di sebelah Martin, sedangkan Harry dan Tristan duduk di baris depan mereka. Harry sudah meminta Martin untuk bertukar tempat berkali-kali, tetapi Martin bahkan tidak meliriknya sama sekali. Hal ini membuat Harry sangat kesal."Tuan Putri, kamu sakit perut, ya? Lama sekali kamu ke toilet tadi," tanya Harry seraya menoleh kepada Paula. Paula langsung teringat interaksinya dengan Darwin barusan dan wajahnya mendadak tersipu.Harry tidak menunggu jawabannya, melainkan langsung bertanya lagi, "Mulut kamu kenapa? Alergi, ya?""Nggak apa-apa," jawab Paula sambil menggeleng dan menggunakan gelas air untuk menutupi bibirnya.Setelah beberapa saat, Paula melihat sekelili
"Gimana kondisinya?" tanya Paula dengan cemas karena mengkhawatirkan kondisi penyakit Smith.Ekspresi Martin tampak serius. Suaranya juga terdengar lebih rendah dari biasanya saat berkata, "Nggak terlalu baik. Sekarang lagi penyelamatan darurat di rumah sakit."Paula menutup rapat bibirnya dan diam-diam berdoa dalam hati. Terlepas dari apakah Smith benar-benar kakeknya atau bukan, Paula tetap berharap semuanya baik-baik saja.Mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Martin memegang pergelangan tangan Paula dan berkata, "Kamu naik mobil di samping. Mereka akan mengantarmu menemui Guru."Paula masih kebingungan saat didorong masuk ke mobil di samping mereka. Hanya dalam sekejap, mobil Martin telah menghilang di antara kerumunan mobil lainnya. Untungnya, Winelli tetap menemani Paula sepanjang waktu."Pak Martin melakukan ini mungkin untuk mengelabui orang lain," jelas Winelli.Paula teringat pada profil Smith yang pernah diperlihatkan Martin kepadanya. Orang seperti
Mendengar kepala pelayan menyambutnya tadi, Paula bisa menyimpulkan bahwa ternyata mereka semua menguasai bahasa negaranya."Nona pasti lelah sudah menempuh perjalanan jauh. Tuan Smith sudah berpesan agar Anda makan terlebih dahulu dan beristirahat sejenak," ujar kepala pelayan sambil memberi isyarat dengan pandangannya. Para pelayan langsung membawakan makanan dan menyusunnya dengan rapi di atas meja makan yang panjang itu.Setelah selesai menyajikan hidangan, para pelayan satu per satu meninggalkan ruangan. Di ruang makan yang luas itu, hanya tersisa Paula, Winelli, dan kepala pelayan. Apakah puluhan hidangan ini semuanya disiapkan hanya untuk mereka berdua?"Nona, silakan duduk," ucap kepala pelayan itu sembari menarik kursi untuk Paula."Pak, aku ingin bertemu Pak Smith dulu," kata Paula. Sebab, tujuan utama kedatangannya adalah untuk menemui Smith.Melihat ekspresi Martin sebelumnya, kondisi kesehatan Smith tampaknya sangat serius. Memangnya mereka tidak terburu-buru untuk mempert