"Ayahnya adalah teman kuliah ibuku dan pernah berusaha mendekati ibuku. Hubungan kedua orang tuaku sangat baik, jadi ibuku menolak ayahnya. Hanya saja, ayahnya masih nggak mau menyerah dan terus mengganggu ibuku. Dia juga bahkan diam-diam bersembunyi di tempat tinggal ibuku dan berniat jahat pada ibuku. Ayahku sangat marah, jadi memukulinya habis-habisan dan mengirimnya ke kantor polisi." Sambil menyesap teh, Darwin memapah Paula untuk duduk di sofa.Paula menatapnya dengan kebingungan. Jarang sekali Darwin berbicara panjang lebar seperti ini. Apalagi masalah ini menyangkut tentang ibunya, Darwin juga sebenarnya tidak perlu menceritakan semuanya."Ternyata begitu," balas Paula mengakhiri pembicaraan ini. Tadinya dia hanya sekadar basa-basi menanyakannya, bukan ingin mencari tahu jawabannya.Namun, sepertinya Darwin tidak berpikir demikian. Dia mengangkat alis dan bertanya, "Nggak tertarik sama urusan keluargaku ya?" Nada bicaranya terdengar agak sedih."Itu masalah privasi ibumu, nggak
Usai bicara, Darwin bahkan melirik Paula sekilas. Paula merasa tak berdaya dan kesal. Sikapnya yang manja ini tidak terlihat seperti presdir yang berwibawa sama sekali."Kalau begitu, apa kamu mau istirahat dulu?" tanya Paula dengan sabar karena mengingat Darwin baru pulang dari kantor polisi. Darwin menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan Paula untuk duduk. Paula bahkan bisa membaca dari matanya bahwa jika dia tidak duduk dengan patuh dan mendengarkan ceritanya sampai selesai, mereka semua tidak akan bisa pergi dari sini."Teruskan ceritamu," timpal Paula sambil menyuguhkan teh untuk mereka berdua.Wajah Darwin tampak samar-samar di antara uap itu, sehingga memberi kesan yang lebih lembut ari biasanya. "Ceritanya sampai mana tadi?" tanyanya sambil menyeruput teh bak seorang pendongeng handal.Paula tidak kuasa menahan tawa melihat sikap Darwin yang tidak biasanya itu. Dia menjawab, "Sampai ayahmu membuat ayahnya dipenjara."Jika hanya masalah pertikaian asmara antara ayah m
Darwin mengangguk, "Memang sudah kejadian lama. Saat itu aku baru berusia sekitar 4 atau 5 tahun. Istri orang itu membawa anak-anaknya berlutut di hadapan ibuku dan memohon ibuku untuk menampung mereka. Kalau nggak, mereka pasti akan mati dipukuli oleh pria itu. Ibuku berhati lunak dan akhirnya menampung mereka. Kami membiayai hidup mereka selama tiga tahun dan bahkan memberi sejumlah besar uang kepada pria itu agar dia nggak datang untuk mencari masalah lagi dengan istri dan anaknya."Mata Paula berkaca-kaca menatap Darwin. "Setelah itu pasti ada sesuatu yang terjadi, 'kan?"Darwin menghindari tatapannya, lalu mengangguk dan melanjutkan, "Saat itu Keluarga Fonda masih di ibu kota dan bertetanggaan dengan Keluarga Sasongko. Ibuku sangat menyukai Cindy dan sering menyuruhnya untuk main ke rumahku. Suatu hari, aku berkelahi dengan anak orang itu demi Cindy. Pembantu di rumah menyadari luka di tubuhku dan langsung mengurung anak itu. Wanita itu awalnya sangat jujur dan lemah lembut, tapi
Jadi, itulah alasannya mereka langsung kepikiran untuk membalas dendam terhadap Darwin begitu memiliki kemampuan?"Ceritanya sudah selesai," timpal Darwin. Melihat Paula tidak bereaksi, dia berdiri dan berkata, "Ini adalah cerita pertamaku kepada anak-anak ya? Bisa dibilang ini pendidikan prenatal?"Paula terkejut hingga tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Masa Darwin menyebut cerita ini sebagai pendidikan?"Pendidikan prenatal? Apa yang mau kamu ajarkan pada anak-anak?"Darwin menjawab dengan malu-malu, "Mengajarkan mereka untuk bersyukur karena memiliki orang tua yang mencintai mereka."Paula benar-benar kehabisan kata-kata. Siapa yang bisa mengerti? Anak-anak bahkan belum lahir tapi sudah harus tahu bersyukur. Paula sendiri yang memutuskan untuk melahirkan anak ini, mereka adalah hadiah dari langit untuknya. Seharusnya Paula yang harus merasa bersyukur dengan kehadiran anak-anaknya, bukan sebaliknya.Saat Paula baru saja hendak mengoreksi Darwin mengenai hal ini, dia melihat Darwin
"Benaran mau pindah?" tanya Darwin sambil menatap Paula, seakan-akan ingin menebak isi hatinya. Namun, Paula hanya menunduk untuk menghindari tatapannya. Paula bisa merasakan bahwa pertanyaan Darwin kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, nada bicaranya menyiratkan perasaan yang tidak bisa diungkapkan antara kedua orang itu.Paula yakin bahwa perasaan ini bukan hanya khayalannya semata, juga bukan karena dia bertepuk sebelah tangan. Darwin juga pasti bisa merasakannya, tetapi Paula tidak yakin perasaan ini akan bertahan lama. Karena itulah, dia memilih untuk mundur."Ya," jawabnya pelan.Setelah cukup lama tidak ada tanggapan, Paula bisa merasakan bahwa Darwin sedang menatapnya dengan intens. Perasaan yang membuatnya tertekan itu membuat Paula tidak berani mendongak untuk melihat Darwin. Dia hanya bisa menunduk dan meminum supnya dengan diam.Suara keramik yang saling berbenturan terdengar sangat nyaring dan memecahkan keheningan di ruangan itu."Aku ingin tahu, kamu nggak memben
"Ya." Paula merasa tidak bisa menetap lebih lama lagi di ruangan ini sehingga dia beranjak ingin pergi. Namun, Darwin malah mencengkeram pergelangan tangannya. Paula mengerutkan kening dengan erat. Apa lagi yang ingin dilakukan orang ini? Tadi Darwin tiba-tiba menciumnya saja sudah cukup membuatnya canggung dan malu, apa Paula masih harus bertahan di sini dan mendengarkan Darwin mengatakan mereka bukan teman?"Lepaskan aku!" Nada bicara Paula terdengar sedikit marah. Jika Darwin masih tidak mau melepaskan tangannya, Paula benar-benar akan murka."Maaf, aku terlalu gegabah tadi. Karena kita ini teman, aku seharusnya tahu ke mana kamu akan pindah, 'kan? Jangan pergi dulu, kamu makan saja di sini, aku yang pergi. Darwin berbicara panjang lebar karena takut Paula tidak mau mendengarnya.Paula juga tidak tahu apakah dia harus merasa malu atau marah. Mana ada orang yang mengatakan ingin berteman setelah mencium seorang wanita? Selain itu, wajah Darwin terlihat sangat kasihan seolah-olah Paul
Setelah itu, Wilda memberi jaminan dengan menggunakan reputasi Keluarga Fonda untuk membersihkan nama baik Darwin. Semua orang memuji sikap Keluarga Fonda yang setia kawan ini. Bahkan Paula juga merasa kagum pada Keluarga Fonda yang berani memihak pada Darwin di saat-saat seperti ini. Tindakan ini memang membawa risiko yang cukup besar.Bagaimanapun, selama tuduhan terhadap pria bermarga Churia itu belum ditetapkan dan kejahatan ini belum dipublikasikan, opini publik terhadap Darwin dan Grup Sasongko masih belum akan mereda."Tuan dan Nyonya Sasongko datang!" Kerumunan yang mengelilingi Wilda langsung berlari ke arah sebaliknya. Wilda juga ikut melangkah dengan anggun ke arah kerumunan tersebut. Setelah itu, Paula melihat sepasang suami istri yang sangat rapi dan elegan dari layar televisi.Dari kemiripan wajah pria itu dengan Darwin, Paula bisa menebak bahwa mereka adalah orang tua Darwin. Rhea pernah memberi tahu Paula bahwa orang tua Darwin saling mencintai. Setelah Darwin beranjak
"Tapi, cara ini sepertinya nggak terlalu etis, 'kan?"Wajah Devina menjadi pucat mendengarnya. Dia langsung membentak, "Nona Fonda bukan orang seperti itu, jangan menebak sembarangan." Dalam ingatannya, Cindy adalah gadis polos yang sangat imut, tidak seperti yang dikatakan oleh mereka.Melihat istrinya marah, Yoda berdeham sejenak, "Kami akan hubungi kalian kalau ada kabar baik. Tolong jangan hancurkan reputasi seorang gadis yang nggak bersalah.""Ya, kesehatan kakakku kurang baik. Sampai saat ini dia masih dirawat di rumah sakit, tolong jangan sakiti dia," pungkas Wilda ikut menjelaskan.Namun, Devina malah melihatnya dengan dalam, lalu berjalan dengan cepat ke dalam gedung. Langkah kakinya terlihat jelas sedang marah. Begitu mereka pergi, para wartawan mulai saling berdiskusi."Ternyata Nona Fonda itu penyakitan. Kalau begitu sudah pasti akan sulit menikah.""Orang tua Darwin begitu protektif pada gadis itu juga karena ingin mendekati Keluarga Fonda, 'kan?""Sepertinya pernikahan ke