Plak!Wajah Imron terlempar ke kiri saat Elok menamparnya dengan keras."Jangan pernah menciumku lagi! Aku jijik! Aku tidak menyukaimu. Pergi!" Elok meneriaki suaminya dengan suara melengking. Imron terdiam sesaat. Lelaki itu sedang mengendalikan deru napasnya karena menahan emosi."Kalau begitu, mulai sekarang bersikaplah sesuai dengan kebencianmu!" Imron pergi dari ruang tengah dengan wajah marah. Pintu kontrakan dibanting oleh Imron karena rasa marahnya pada Elok. Benar-benar ia tak dihargai sebagai suami dan kini ia merasakan begitu nyeri di dadanya.Imron sebenarnya buka tipe lelaki cengeng. Namun kali ini, air matanya menetes. Ia terduduk menunduk di tangga masjid sambil menunggu waktu magrib tiba. Sekarang ia harus bagaimana dengan pernikahannya?Jika ia melepas Elok, maka wanita itu akan luntang-lantung di jalan bersama Aya. Gadis kecil itu memiliki garis darahnya sebagai
Sepanjang malam, Elok tak dapat memejamkan matanya. Pesan yang dikirimkan suaminya sudah mampu membuatnya tidak bisa memikirkan apa-apa. Benarkah isi pesan itu? Bahwa Imron akan melepas dirinya dan juga Aya. Petuga keamana gang sudah dua kali membunyikan tong yang ia bawa berkeliling saat ronda malam. Itu pertanda sudah pukul dua dini hari. Ekok yang tak juga bisa tidur , memilih mengambil air wudu, lalu melaksanakan salat malam untuk menenangkan hatinya.Lama ia bersujud dan juga mengangkat kedua tangannya. Bibirnya tak henti mengucap bait doa demi doa untuk kebaikannya dan juga Aya. Dirinya juga meminta pada Sang Pemilik Hati, agar memberi padanya petunjuk untuk menetapkan hati. Apakah harus bertahan dalam kebencian ini? Atau melepas saja ikatan yang sudah diikrarkan atas anam Tuhan.Tuhan memang membenci perceraian, tetapi jika di dalam rumah tangga yang dijalani semakin menambah dosa dan mudharat yang tak berkesudahan,
Elok berdiri canggung tak jauh dari bengkel besar Amin. Teman dekat suaminya yang sudah banyak berbuat baik pada suaminya di hari pernikahan mereka. Lelaki itu jugalah adik dari mantan calon istri Imron. Mereka bersahabat. Elok yakin, suaminya ada di dalam bengkel, bekerja bersama Amin. Tak banyak yang sadar akan kehadiran Elok di sana, karena semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lalu-lalang kendaraan silih berganti, keluar masuk bengkel motor dan mobil milik Amin, serta banyak juga para montir yang Nampak sibuk, tetapi ia tak menemukan sosok suaminya.Tempat yang pertama ia kunjungi untuk mencari keberadaan Imron. Ia merasa perlu berbicara pada suaminya itu perihal surat gugatan perceraian yang kemarin ia terima. Matanya sedikit menyipit, saat dari kejauhan seorang wanita cantik mengendarai motor, dengan kerudung sama lebarnya dengan yang ia pakai, serta memakai helem lengkap. Berhenti di depan bengkel Amin. Wanita itu turun dari motor dan memb
Aya sangat senang saat ini. Digendong oleh lelaki yang sudah lama tidak ia lihat. Gadis kecil itu terus saja menggaruk janggut Imron yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Mereka tengah duduk di warung baso yang tidak jauh dari pemakaman Indra. Walau masih belum ada yang bersuara, tetapi Imron tak ambil pusing. Lelaki itu asik bermain bersama Aya yang Nampak merindukan dirinya.“Maaf, saya hanya bisa menraktir makan baso,” ujar Imron sedikit canggung. Mungkin takkan ada yang tahu bahwa mereka adalah pasangan suami dan istri, karena keduanya begitu canggung dan menjaga jarak.“Tidak apa-apa,” jawab Elok pelan. Senyum tipisnya, ia berikan untuk Aya yang tengah kini tengah dipangku oleh Imron.“Hari ini tidak masak?” tanya Imron berbasa-basi mencairkan suasana.“Masak. Setiap hari saya masak. Saya pikir kamu akan pulang,&rdqu
"Mas, ayo pulang. Kepala saya sedikit sakit," ucap Elok canggung di depan Pak Rudi dan suaminya."Eh, iya. Ayo kita pulang. Pak, maaf saya balik dulu ya," ucap Imron sambil mengangguk hormat pada Pak Rudi. Begitu cekatan tangan Imron membantu Elok yang mencoca menggedong Aya yang masih terlelap ke dalam kain gendongan. Imron pun sudah siap dengan ranselnya yang berisi pakaian kerja dan pakaian hariannya.Pak Rudi masih berdiri di depan pintu mes Imron tanpa menggeser tubuhnya. Berkedip pun sepertinya dia enggan. Bola mata coklat Pak Rudi terus saja memperhatikan Elok dengan seksama dan Imron sungguh penasaran akan hal ini."Pak, kami pamit. Besok jam enam pagi saya sudah di sini," pamit Imron sembari mengangguk. Elok tak mau melihat sama sekali. Wanita itu nampak begitu tegang dan berjalan lebih dulu dari suaminya.Saat di atas motor, Elok pun tak bersuara. Namun ada yang aneh, Elok memegang jaketnya denga
"Mas, lelaki itu ... ayah biologis Aya.""A-apa?! Kamu jangan bercanda, Lok? Aya anak abangku. Bukan anak orang lain. Ada apa sebenarnya? Ceritakan semua padaku!" Imron terus saja menatap Elok dengan tajam. Di dalam hatinya takkan pernah percaya dengan pengakuan yang baru saja Elok sebutkan. Tidak mungkin Aya bukan anak Indra, tetapi malah anak Pak Rudi. Bagaimana bisa?"Waktu itu ... S-sa-ya bekerja sebagai tukang setrika di rumah Pak Rudi. Jarak dari panti dan rumahnya tidak terlalu jauh. Istrinya sakit-sakitan dan lelaki itu meminta saya untuk menjadi istri keduanya. Saya tidak mau ... dan dia memaksa. Saat itu saya sudah berpacaran dengan Bang Indra. Saya tidak tahu bagaimana jadinya, saya terbangun sudah tak memakai pakaian dan lelaki itu ...." Elok tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Ia terisak sampai seluruh tubuhnya bergetar hebat.Imron pun terpaku. Jadi, Aya bukan anak Indra. Lalu, jika benar Pak Rudi adalah
"Kalau naksir bagaimana? Gak papa kali kalau naksir sama suami sendiri," ujar Elok dengan polosnya. Ia tidak tahu saja, kalau saat ini Imron tengah mati-matian menahan lemas kedua kakinya."Lok, kalau gak enak badan, gak usah masak. Istirahat aja biar ngomongnya gak aneh-aneh," ujar Imron sambil memutar bola mata malasnya. Elok bukannya tersinggung, tetapi wanita itu malah tergelak. Tanganya terangkat untuk membetulkan ujung celana panjang yang masih tergulung sedikit saat suaminya tengah memakai kaus kaki tadi."Udah rapi sekarang. Hati-hati ya, Mas," kata Elok lagi sambil menarik tangan Imron, lalu mencium punggung tangan suaminya dengan penuh khidmat. Imron yang baru seumur-umur dikecup tangannya oleh wanita, tentu saja merasa oleng. Tubuhnya limbung, hingga dengan terpaksa ia menahan tubuhnya di tembok rumah."Eh, eh ... kenapa, Mas? Sakit? Kalau sakit gak usah masuk kerja saja," ujar Elok yang memandang khawatir
“Saya lagi kerja, Lok. Tidak bisa pegang HP.”“Ini, buktinya Mas pegang HP.”“Iya, ini karena kamu menelepon.”“Oh, jadi saya gak boleh ganggu di jam kerja gitu? Bolehnya telepon aja?”Imron menyeringai sendiri di dalam toilet yang kebetulan sangat sepi. Benar-benar Elok berubah tiga ratus enam puluh derajat dan ai benar-benar tak mengenalinya.“Mas, kok gak jawab?”“Eh, iya. Boleh telepon, tapi gak boleh sering-sering, nanti dimarahi kordinator satpamnya.”“Kok satpam, Mas? Bukannya petugas keamanan? Security?”“Ha ha ha … sama aja, Neeng. Ya satpam, ya sekuriti, ya petugas keamanan. Intinya jagain rumah sakit. Udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Saya mau kerja lagi. Jangan lupa parang dan goloknya.”“Ya udah, Mas. Iya. Saya tutup ya. Assalamualaykum.”