"Kalau naksir bagaimana? Gak papa kali kalau naksir sama suami sendiri," ujar Elok dengan polosnya. Ia tidak tahu saja, kalau saat ini Imron tengah mati-matian menahan lemas kedua kakinya.
"Lok, kalau gak enak badan, gak usah masak. Istirahat aja biar ngomongnya gak aneh-aneh," ujar Imron sambil memutar bola mata malasnya. Elok bukannya tersinggung, tetapi wanita itu malah tergelak. Tanganya terangkat untuk membetulkan ujung celana panjang yang masih tergulung sedikit saat suaminya tengah memakai kaus kaki tadi.
"Udah rapi sekarang. Hati-hati ya, Mas," kata Elok lagi sambil menarik tangan Imron, lalu mencium punggung tangan suaminya dengan penuh khidmat. Imron yang baru seumur-umur dikecup tangannya oleh wanita, tentu saja merasa oleng. Tubuhnya limbung, hingga dengan terpaksa ia menahan tubuhnya di tembok rumah.
"Eh, eh ... kenapa, Mas? Sakit? Kalau sakit gak usah masuk kerja saja," ujar Elok yang memandang khawatir
“Saya lagi kerja, Lok. Tidak bisa pegang HP.”“Ini, buktinya Mas pegang HP.”“Iya, ini karena kamu menelepon.”“Oh, jadi saya gak boleh ganggu di jam kerja gitu? Bolehnya telepon aja?”Imron menyeringai sendiri di dalam toilet yang kebetulan sangat sepi. Benar-benar Elok berubah tiga ratus enam puluh derajat dan ai benar-benar tak mengenalinya.“Mas, kok gak jawab?”“Eh, iya. Boleh telepon, tapi gak boleh sering-sering, nanti dimarahi kordinator satpamnya.”“Kok satpam, Mas? Bukannya petugas keamanan? Security?”“Ha ha ha … sama aja, Neeng. Ya satpam, ya sekuriti, ya petugas keamanan. Intinya jagain rumah sakit. Udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Saya mau kerja lagi. Jangan lupa parang dan goloknya.”“Ya udah, Mas. Iya. Saya tutup ya. Assalamualaykum.”
Imron mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikiran buruk bersarang di kepalanya, karena mengkhawatirkan Elok dan juga Aya. Ia juga merasa bersalah karena terlalu suudzon dengan kehadiran Pak Rudi ke rumahnya, sehingga harus mengunci pintu dari luar. Semoga tak ada hal serius yang terjadi pada istri dan juga anaknya.Setelah dua puluh lima belas menit berkendara, Imron pun sampai di depan rumahnya yang sudah banyak orang berkumpul. Imron semakin pucat dan berkeringat.Lelaki itu turun dari motor dan meninggalkan motornya begitu saja. Untunglah ada Pak RT yang kebetulan ada di sana untuk menahan motor Imron."Cepat, Im!" seru Bu Husna dengan tak sabar. Imron mengeluarkan kunci rumah dari dalam tas ranselnya. Dengan tangan gemetar ia memasukkan anak kunci, lalu memutarnya dua kali."Aya!" pekik Imron berlari masuk dan melihat gadis kecilnya sedang terlentang di lantai dapur sambil menangis
"Mas, udah gak ada kayaknya yang jual TV tabung. Udah keliling kita masih gak ada juga. Semua TV layar datar yang mahal harganya," ujar Elok pada Imron yang kini sedang menggendong Aya yang tertidur pulas dalam gendongannya.Sama sekali tak ada rasa malu Imron, saat menggendong Aya di depan menggunakan kain, layaknya ibu-ibu pada umumnya. Justru ia merasa bangga, saat banyak pasang mata memperhatikannya dengan gaya seperti ini."Kita duduk di sana yuk!" tunjuk Imron pada salah satu kursi yang ada di tengah-tengah lorong mal. Di depannya banyak berjejer aneka toko pakaian, aksesoris, dan juga toko sepatu. Mereka duduk berdampingan sambil menikmati pemandangan lalu-lalang orang-orang yang sibuk membawa belanjaan."Kalau gak dapat hari ini, biar besok saya cari lagi," kata Imron dengan senyuman tipis."Emang udah gak ada, Mas. Semua rata-rata TV-nya layar datar seperti bioskop. Pernah nonton bioskop, gak?" ta
Pukul lima pagi, setelah mandi dan salat Subuh, Imron melakukan tugasnya seperti biasa, yaitu mencuci pakaian. Baik itu miliknya, maupun milik Aya dan juga Elok. Piring dan perabotan rumah tangga lainnya sudah dicuci lebih dahulu oleh istrinya tadi malam. Setelah selesai mencuci dan mengeringkannya, Imron mengangkat ember cucian ke depan rumah untuk dijemur oleh Elok. Aya masih terlelap dan Elok belum kembali dari warung sayur. Imron pun bergegas mengganti baju kausnya, lalu celanan pendek yang ia kenakan diganti dengan celana bahan berwarna hitam yang sudah pudar. Dipakainya jaket, laalu mengecup Aya sebentar sebelum berjalan ke teras rumah. DrtDrtPonselnya bergetar. Diambilnya dari dalam saku celana untuk melihat siapa yang mengirimi pesan padanya sepagi ini. “Bang Imron, antar saya ke pasar bisa gak?” Imron mengulum senyum, lalu memb
“Katakan, Lok! Apa mau lelaki itu ke rumah ini?” tanya Imron tak sabar.“Mm … dia gila, Mas! Dia mengatakan bahwa Aya adalah anaknya dan meminta saya berpisah dari Mas Imron,” ujar Elok sangat pelan. Imrin nampak menghentikan suapan terakhirnya. Lalu dengan tergesa berdiri dari duduknya untuk berjalan ke arah wastafel.“Mas, mau apa?” Elok menyusul Imron berdiri di dekat suaminya.“Aku akan membuat perhitungan dengan lelaki itu! Enak saja dia menyuruh seorang istri bercerai dari suaminya. Gak bisa dibiarkan ini!”“Mas, jangan buat masalah! Inget saya dan Aya,” rengek Elok sambil mencoba menahan lengan suaminya. Namun Imron hanya menoleh sekilas, lalu dengan hati-hati melepas cengkeraman tangan Elok.“Saya gak papa. Kamu tenang aja.
Imron mendapati Elok masih menunggunya pulang. Wanita itu bangun dari duduknya untuk menghampiri Imron. Memperhatikan suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “saya gak apa-apa,” lkata Imron seakan mengetahui maksud dari tatapan istrinya.“Saya buatkan teh ya, Mas?” tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Elok langsung bergegas menuju dapur untuk membuatkan minuman. Setelah motor masuk ke dalam rumah, Imron pun menutup pintu dan memutar anak kuncinya dua kali. Bergegas ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian.Elok sudah menunggunya di ruang depan dengan sedikit cemas. Wanita itu ingin segera tahu apa yang terjadi pada suami dan juga lelaki yang bernama Rudi. Sungguh takkan bisa tidur nyenyak ia malam ini, jika Imron tidak berniat menceritakan apapun.“Bagaimana, Mas? Apa yang terjadi? Kamu gak diapa-apain sama lelak
Sore ini juga, Imron dan Elok pindah ke kontrakan baru. Lelaki itu menguras semua uang di tabungannya demi memberikan tempat tinggal yang layak untuk anak dan juga istrinya. Beberapa orang tetangga sempat menyesali kepindahan Imron dari tempat mereka, karena Imron termasuk penduduk tetap selama delapan tahun di sana. bahkan identitas kependudukan Imron juga sudah sesuai alamat kontrakan. Namun, Imron harus menyelamatkan keluarganya dari bahaya lelaki hidung belang yang nekat dan punya kekuasaan juga uang untuk merampas apa yang kini menajdi miliknya. Imron tak kau sampai itu terjadi. Walau bagaimanapun ia tetap akan menjaga Elok dan Aya sampai kapan pun.Elok dan Aya naik ke dalam mobil bak. Duduk bersama sang sopir. Sedangkan Imron naik motor bersama salah seorang temannya yang bersedia membantu kepindahannya. Langit semakin gelap dan mereka harus bergegas. Tak enak bila harus berisik mengangkat barang disaat
Sepekan sejak Imron mengutarakan isi hatinya pada Elok. Selama itu juga intensitas interaksi mereka berkurang. Imron sibuk mencari duit sebagai ojek online, sedangkan Elok di rumah saja mengurus Aya. Setiap harinya Imron berangkat pukul lima Subuh dan kembali pukul sepuluh malam. Keduanya hidup satu atap, tetapi bagaikan orang asing. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki pernikahannya karena memang Elok tak mencintainya. Ia harap maklum tak tidak bisa memaksa. Saat ini tugasnya hanya berusaha sebaik-baiknya agar Elok dan Aya tidak kelaparan.Pukul sepuluh malam, saat lampu semua rumah mati, Imron pun sampai. Ia mematikan mesin motor agar tidak mengganggu tetangga ataupu Elok yang kini sudah pasti tengan terlelap. Sangat disukuri, sejak bergabung dengan salah satu aplikasi ojek online, keadaan ekonominya lebih baik. Paling tidak, Elok bisa ia beri jatah lima puluh ribu dalam sehari untuk urusan dapur. Sedangkan sebagi