Aya sangat senang saat ini. Digendong oleh lelaki yang sudah lama tidak ia lihat. Gadis kecil itu terus saja menggaruk janggut Imron yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Mereka tengah duduk di warung baso yang tidak jauh dari pemakaman Indra. Walau masih belum ada yang bersuara, tetapi Imron tak ambil pusing. Lelaki itu asik bermain bersama Aya yang Nampak merindukan dirinya.“Maaf, saya hanya bisa menraktir makan baso,” ujar Imron sedikit canggung. Mungkin takkan ada yang tahu bahwa mereka adalah pasangan suami dan istri, karena keduanya begitu canggung dan menjaga jarak.“Tidak apa-apa,” jawab Elok pelan. Senyum tipisnya, ia berikan untuk Aya yang tengah kini tengah dipangku oleh Imron.“Hari ini tidak masak?” tanya Imron berbasa-basi mencairkan suasana.“Masak. Setiap hari saya masak. Saya pikir kamu akan pulang,&rdqu
"Mas, ayo pulang. Kepala saya sedikit sakit," ucap Elok canggung di depan Pak Rudi dan suaminya."Eh, iya. Ayo kita pulang. Pak, maaf saya balik dulu ya," ucap Imron sambil mengangguk hormat pada Pak Rudi. Begitu cekatan tangan Imron membantu Elok yang mencoca menggedong Aya yang masih terlelap ke dalam kain gendongan. Imron pun sudah siap dengan ranselnya yang berisi pakaian kerja dan pakaian hariannya.Pak Rudi masih berdiri di depan pintu mes Imron tanpa menggeser tubuhnya. Berkedip pun sepertinya dia enggan. Bola mata coklat Pak Rudi terus saja memperhatikan Elok dengan seksama dan Imron sungguh penasaran akan hal ini."Pak, kami pamit. Besok jam enam pagi saya sudah di sini," pamit Imron sembari mengangguk. Elok tak mau melihat sama sekali. Wanita itu nampak begitu tegang dan berjalan lebih dulu dari suaminya.Saat di atas motor, Elok pun tak bersuara. Namun ada yang aneh, Elok memegang jaketnya denga
"Mas, lelaki itu ... ayah biologis Aya.""A-apa?! Kamu jangan bercanda, Lok? Aya anak abangku. Bukan anak orang lain. Ada apa sebenarnya? Ceritakan semua padaku!" Imron terus saja menatap Elok dengan tajam. Di dalam hatinya takkan pernah percaya dengan pengakuan yang baru saja Elok sebutkan. Tidak mungkin Aya bukan anak Indra, tetapi malah anak Pak Rudi. Bagaimana bisa?"Waktu itu ... S-sa-ya bekerja sebagai tukang setrika di rumah Pak Rudi. Jarak dari panti dan rumahnya tidak terlalu jauh. Istrinya sakit-sakitan dan lelaki itu meminta saya untuk menjadi istri keduanya. Saya tidak mau ... dan dia memaksa. Saat itu saya sudah berpacaran dengan Bang Indra. Saya tidak tahu bagaimana jadinya, saya terbangun sudah tak memakai pakaian dan lelaki itu ...." Elok tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Ia terisak sampai seluruh tubuhnya bergetar hebat.Imron pun terpaku. Jadi, Aya bukan anak Indra. Lalu, jika benar Pak Rudi adalah
"Kalau naksir bagaimana? Gak papa kali kalau naksir sama suami sendiri," ujar Elok dengan polosnya. Ia tidak tahu saja, kalau saat ini Imron tengah mati-matian menahan lemas kedua kakinya."Lok, kalau gak enak badan, gak usah masak. Istirahat aja biar ngomongnya gak aneh-aneh," ujar Imron sambil memutar bola mata malasnya. Elok bukannya tersinggung, tetapi wanita itu malah tergelak. Tanganya terangkat untuk membetulkan ujung celana panjang yang masih tergulung sedikit saat suaminya tengah memakai kaus kaki tadi."Udah rapi sekarang. Hati-hati ya, Mas," kata Elok lagi sambil menarik tangan Imron, lalu mencium punggung tangan suaminya dengan penuh khidmat. Imron yang baru seumur-umur dikecup tangannya oleh wanita, tentu saja merasa oleng. Tubuhnya limbung, hingga dengan terpaksa ia menahan tubuhnya di tembok rumah."Eh, eh ... kenapa, Mas? Sakit? Kalau sakit gak usah masuk kerja saja," ujar Elok yang memandang khawatir
“Saya lagi kerja, Lok. Tidak bisa pegang HP.”“Ini, buktinya Mas pegang HP.”“Iya, ini karena kamu menelepon.”“Oh, jadi saya gak boleh ganggu di jam kerja gitu? Bolehnya telepon aja?”Imron menyeringai sendiri di dalam toilet yang kebetulan sangat sepi. Benar-benar Elok berubah tiga ratus enam puluh derajat dan ai benar-benar tak mengenalinya.“Mas, kok gak jawab?”“Eh, iya. Boleh telepon, tapi gak boleh sering-sering, nanti dimarahi kordinator satpamnya.”“Kok satpam, Mas? Bukannya petugas keamanan? Security?”“Ha ha ha … sama aja, Neeng. Ya satpam, ya sekuriti, ya petugas keamanan. Intinya jagain rumah sakit. Udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Saya mau kerja lagi. Jangan lupa parang dan goloknya.”“Ya udah, Mas. Iya. Saya tutup ya. Assalamualaykum.”
Imron mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikiran buruk bersarang di kepalanya, karena mengkhawatirkan Elok dan juga Aya. Ia juga merasa bersalah karena terlalu suudzon dengan kehadiran Pak Rudi ke rumahnya, sehingga harus mengunci pintu dari luar. Semoga tak ada hal serius yang terjadi pada istri dan juga anaknya.Setelah dua puluh lima belas menit berkendara, Imron pun sampai di depan rumahnya yang sudah banyak orang berkumpul. Imron semakin pucat dan berkeringat.Lelaki itu turun dari motor dan meninggalkan motornya begitu saja. Untunglah ada Pak RT yang kebetulan ada di sana untuk menahan motor Imron."Cepat, Im!" seru Bu Husna dengan tak sabar. Imron mengeluarkan kunci rumah dari dalam tas ranselnya. Dengan tangan gemetar ia memasukkan anak kunci, lalu memutarnya dua kali."Aya!" pekik Imron berlari masuk dan melihat gadis kecilnya sedang terlentang di lantai dapur sambil menangis
"Mas, udah gak ada kayaknya yang jual TV tabung. Udah keliling kita masih gak ada juga. Semua TV layar datar yang mahal harganya," ujar Elok pada Imron yang kini sedang menggendong Aya yang tertidur pulas dalam gendongannya.Sama sekali tak ada rasa malu Imron, saat menggendong Aya di depan menggunakan kain, layaknya ibu-ibu pada umumnya. Justru ia merasa bangga, saat banyak pasang mata memperhatikannya dengan gaya seperti ini."Kita duduk di sana yuk!" tunjuk Imron pada salah satu kursi yang ada di tengah-tengah lorong mal. Di depannya banyak berjejer aneka toko pakaian, aksesoris, dan juga toko sepatu. Mereka duduk berdampingan sambil menikmati pemandangan lalu-lalang orang-orang yang sibuk membawa belanjaan."Kalau gak dapat hari ini, biar besok saya cari lagi," kata Imron dengan senyuman tipis."Emang udah gak ada, Mas. Semua rata-rata TV-nya layar datar seperti bioskop. Pernah nonton bioskop, gak?" ta
Pukul lima pagi, setelah mandi dan salat Subuh, Imron melakukan tugasnya seperti biasa, yaitu mencuci pakaian. Baik itu miliknya, maupun milik Aya dan juga Elok. Piring dan perabotan rumah tangga lainnya sudah dicuci lebih dahulu oleh istrinya tadi malam. Setelah selesai mencuci dan mengeringkannya, Imron mengangkat ember cucian ke depan rumah untuk dijemur oleh Elok. Aya masih terlelap dan Elok belum kembali dari warung sayur. Imron pun bergegas mengganti baju kausnya, lalu celanan pendek yang ia kenakan diganti dengan celana bahan berwarna hitam yang sudah pudar. Dipakainya jaket, laalu mengecup Aya sebentar sebelum berjalan ke teras rumah. DrtDrtPonselnya bergetar. Diambilnya dari dalam saku celana untuk melihat siapa yang mengirimi pesan padanya sepagi ini. “Bang Imron, antar saya ke pasar bisa gak?” Imron mengulum senyum, lalu memb